16. Rumah

2873 Kata
Di depan televisi, Becca termenung melihat berita yang terus diputar berulang-ulang selama berhari-hari. Pada awalnya, Becca mengacuhkan semua macam berita yang terus mengusut tentang kaburnya dirinya dari acara pernikahan. Karena Becca tahu, sebagian dari kabar yang disiarkan itu dilebih-lebihkan hingga membuatnya muak. Tapi lama-lama, Becca jadi terbawa perasaan jika berulang kali mendengar dari media bahwa dia bukan anak yang berbakti. Saking kesalnya, Becca langsung mematikan televisi dan bahkan dia sampai mencabut kabelnya segala. Sekarang, Becca mengambil jaket dan masker. Tak sampai satu menit, Becca sudah siap dengan sepatunya. Jari telunjuk Becca memencet beberapa angka yang dijadikan sandi apartemen Vanko. Becca sekarang sudah berani keluar sendiri tanpa harus Vanko temani. Dan ini bukan kali pertama Becca keluar sendirian. Seperti yang Vanko katakan, dia harus bersikap biasa saja agar orang-orang tidak curiga padanya. Tapi tetap saja, Becca akan memakai masker namun tidak dengan topi. Langkah kakinya membawa dia masuk ke lift. Kebetulan saat ini di dalam lift hanya ada dirinya seorang. Dia juga tidak tahu, kenapa tumben sekali apartemen sepi. "Mama berhasil banget bikin gue jelek di mata semua orang." katanya lirih sambil menyeringai mengingat apa saja yang sudah dia alami selama delapan tahun hidup di Los Angeles bersama Gina. Hanya itu yang bisa Becca katakan, walau sebenarnya sekarang ini dia sangat ingin berteriak kepada dunia bahwa dia tidak sepenuhnya salah. Becca juga punya hak untuk memilih kehidupan seperti apa yang ingin dia jalani. Ting! Becca segera keluar ketika pintu lift terbuka. Tanpa melihat ke sekitar, Becca langsung saja keluar dari gedung apartemen dan dia berjalan menuju minimarket terdekat. Tak jauh dari sana, ada minimarket yang cukup lengkap. "My Vinky pasti sibuk banget sama kerjaannya." Tiba-tiba saja rasa rindu melanda Becca. Dia ingin melihat wajah Vanko dan memeluk kekasihnya agar kegundahan dan segala macam hal-hal negatif yang sedang menerjangnya ini sirna. "Gue telfon aja lah, namanya juga kangen." Namun saat Becca merogoh saku jaket dan celananya, ternyata dia melupakan ponselnya yang tadi dia letakkan di atas meja ketika menonton televisi. "Heuhhh... Pake kelupaan lagi." Becca mendesah tanpa menghentikan langkah kakinya. Rasa lega menghampiri Becca ketika dia sudah melihat plang bertuliskan Aplashop berwarna ungu. Itulah minimarket yang menjual berbagai macam dagangan. Becca semakin mempercepat langkahnya, dan penuh kehati-hatian Becca langsung menyeberang saat sudah memastikan tidak ada kendaraan lewat. Hah... Adem. Gumam hati kecil Becca ketika dia baru memasuki Aplashop langsung disambut baik oleh AC. Pandangan Becca tertuju ke satu arah, tempat lemari pendingin yang berjajar. Dia mengambil trolley belanjaan dan langsung menuju ke sana. Tanpa segan-segan, Becca langsung mengambil banyak sekali kaleng bir. Benar, gadis itu mengambil minuman beralkohol. Tidak hanya satu sampai lima kaleng saja yang Becca beli, melainkan ada lebih dari dua puluh kaleng. Malam ini, Becca merasa kalau dia hanya ingin menenggak semua minuman itu. Sesudah berhasil memborong semua minuman, sekarang Becca menuju ke jajaran snack. Gadis itu juga memborong banyak sekali snack. Setelah trolley dipenuhi oleh minuman kaleng dan snack, Becca segera menuju kasir. Beberapa pengunjung lain yang sedang ikut antre juga, mereka kebanyakan fokus ke barang belanjaan Becca yang begitu banyak. "Mau dikardusin atau diplastikin aja, Mbak?" dengan sopan, penjaga kasir bertanya pada Becca. "Diplastikin aja enggak apa-apa, Mbak." jawabnya disertai rasa percaya diri tinggi. Lima menit sudah waktu berlalu, dan Becca masih menunggu. Tapi tak lama, petugas kasir tadi memberi tahu jumlah angka yang harus dibayar oleh Becca. Pembayaran selesai sudah, Becca langsung membawa dua keresek bertuliskan Aplashop. Cara Becca membawa keresek itu pun berbeda, dia peluk satu kereseknya yang berisi kaleng bir agar tidak bolong atau jebol, sementara keresek berisi snack dia jinjing seperti biasa. "Hah... Gue mau mabuk besar-besaran hari ini." Tanpa banyak kata lagi, Becca langsung kembali ke apartemen. Karena jaraknya juga tidak terlalu jauh, jadi bagi Becca dia masih mampu membawa beban dari kaleng-kaleng minuman beralkohol di pelukannya. Becca tidak menghiraukan orang-orang yang sengaja melihatnya ketika mereka tak sengaja melihat apa yang sedang dia bawa sekarang. Di pikiran Becca sekarang hanyalah, dia ingin melepaskan beban yang bersarang di otaknya. Pundaknya terasa begitu berat walau tidak ada sesuatu yang tampak dipikulnya. "Ini emang pilihan terbaik. Lagian mau minum di bar juga, gue gak tahu apa-apa tentang daerah sini." desah Becca sebelum dia akhirnya memasuki lift menuju lantai lima belas. Semerbak aroma parfum mahal menyambut Becca ketika dia baru saja masuk ke dalam lift. Dan di sana tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan seorang perempuan paruh baya. Becca tidak terganggu oleh aroma parfum dari orang di sebelahnya. Tapi Becca terganggu karena tatapan wanita itu yang tidak berhenti memandanginya secara diam-diam. Sampai tibalah, Becca memberanikan diri menoleh ke arah wanita paruh baya itu. "Ah... Benar." Kening Becca mengerut, dia tidak paham apa yang dimaksud oleh wanita itu. "Ya?" "A'ah... Kamu gadis yang tinggal di unit 520 'kan?" tanyanya penuh percaya diri. "Ya." meski ragu, tapi Becca menjawabnya disertai anggukan kepala. Becca juga sedikit bingung, kenapa orang itu masih bisa mengenalinya padahal dia sudah memakai masker. Suasana hati Becca sudah tak karuan sekarang. Dia sedikit kurang nyaman setiap kali bertemu dan diajak mengobrol oleh orang baru. Tapi sebisa mungkin Becca menahannya. Lagi pula sebentar lagi juga dia keluar. "Kamu istrinya?" tanyanya tiba-tiba. Tampak jelas wajahnya dipenuhi rasa penasaran dan keingintahuan yang tinggi. Tapi Becca rasa, dia tak ingin serta tidak perlu menjawabnya. Becca tahu, budaya Indonesia tidak seperti di Los Angeles yang bebas tinggal dengan kekasihnya. Becca hanya tidak mau mempermalukan Vanko kalau dia menjawab hanya pacar. Ting! Becca langsung mengucap permisi karena dia sampai di lantai lima belas. Tetapi ternyata, wanita paruh baya itu juga ikut turun di sana. Awalnya Becca sedikit kurang nyaman dan merasa bahwa dia sengaja diikuti. Namun tak lama, pikirannya berubah saat melihat wanita itu masuk ke unit 522 yang tak jauh dari apartemen tempatnya tinggal. "Hah... Gue kira dia penguntit." Segera Becca masuk dan dia membawa semua bir serta snack ke atas meja depan televisi. Dia melepas jaketnya dan mengambil ponselnya yang tertinggal. Dia rindu pada Vanko yang sudah tidak pulang selama satu hari. "Apa dia gak nyaman setelah gue ikut tinggal di sini? Kenapa dia jarang pulang?" desah Becca yang terus memikirkan di mana Vanko tidur kalau kekasihnya tidak pulang ke apartemen atau rumah. Beberapa Hari Lalu. "Wah... Masakan lo emang paling the best." tak segan-segan Vanko mengacungkan kedua jempolnya ke arah Becca yang tersenyum puas saat melihat Vanko memakan masakan Becca dengan lahap. Padahal Becca hanya memasak makanan sederhana ala rumahan pada umumnya. Ada tumis buncis dicampur bakso, telur balado dan sayur asem. Mungkin terdengar tidak nyambung, tapi memang itulah yang Becca masak hari ini. "Jangan dilebih-lebihkan. Gue masak biasa aja kok." Melihat Vanko memakan habis nasi dalam piring keduanya, membuat Becca tersenyum bahagia. Dia tidak bisa berbohong kalau hal-hal kecil begini sudah bisa membuatnya tertawa. Orang bilang, berada di samping orang tua lebih membuat bahagia ketimbang orang luar. Memang iya, itu yang gue rasain sebelum Papa meninggal. Desah hati kecil Becca mengingat betapa sulitnya dia tertawa ketika hidup bersama Gina di Amerika. "Gue gak melebih-lebihkan, tapi emang bener." "Cis... Pinter banget gombalnya." kekeh Becca. "Padahal gue masaknya juga pakai bumbu biasa kayak yang dipakai orang-orang." lanjutnya lagi. "Ada satu bumbu yang beda." "Jangan ngarang, gue yang masak." Becca masih tetap saja berusaha mengelak kalau bukan itu yang dimaksud Vanko. "Masakan ini, udah lo tambahin bumbu cinta yang gak ada di masakan orang lain." Ruang apartemen milik Vanko cukup luas dan tidak akan membuat pengap meski diisi sekitar dua puluh orang. Tapi entah kenapa Becca merasa kalau dadanya sedikit sesak setelah mendengar kata-kata Vanko yang memabukkan. Perutnya seolah dipenuhi kupu-kupu beterbangan riang ke sana kemari. "Ngomong-ngomong, selama ini lo pulang ke rumah?" Becca memang mengalihkan pembicaraan, tapi dia juga kepikiran tentang keberadaan Vanko saat tidak pulang ke apartemen. Kepala Vanko menggeleng berulang kali. Dia menatap Becca lekat-lekat lalu mengambil satu kaleng soda dan meminumnya. Hal ini malah membuat Becca merasa sedikit bersalah. Becca takut kalau dia terlalu merepotkan Vanko. "Gue kerja." sahutnya. Becca yang awalnya sedang membereskan hidangan jadi terhenti. Dia membalikkan badan dan menatap Vanko meminta penjelasan yang sebenarnya. Jujur saja, Becca tidak tahu kenapa Vanko bekerja begitu giat sampai tidak pulang ke apartemen atau rumah. "Ya terus lo tidur di mana kalau lo kerja? Lo gak pulang ke sini atau ke rumah?" Terdengar kekehan tawa dari bibir Vanko. Tangannya terulur, dia usap pipi halus Becca beberapa kali lalu dia tarik lagi tangannya ke tempat semula. "Lo gak perlu khawatirin gue, pokoknya gue akan baik-baik saja." katanya mencoba menenangkan Becca. Kali ini ganti Becca yang terkekeh. Dia tidak tahu kenapa rasanya masih ada sesuatu yang disembunyikan Vanko darinya. Hanya saja, Becca tidak tahu itu tentang apa. "Apa sebaiknya gue nyari rumah lain? Biar lo bisa kembali nyaman berada di rumah ini." tanyanya mencoba meminta usul, siapa tahu Vanko akan menyetujuinya. "Oh... Rumah? Gue suka kata-kata rumah yang lo bilang." Bola mata Becca bergerak, dia menatap Vanko dari dekat. Keduanya saling melemparkan senyuman, seolah sama-sama menunjukkan rasa bahagia mereka. "Eung... Besok gue cari rumah buat pindah." "Bukan itu." Kening Becca mengerut, dia tidak mengerti apa yang sebenarnya Vanko bicarakan. Bukankah mereka membahas tentang rumah pindahan? Lalu kenapa tiba-tiba Vanko mengelaknya. "Terus?" "Gue suka denger lo bilang kalau ini rumah." katanya. Becca mengingat-ingat lagi tentang apa yang barusan dia ucapkan dan tak sampai dua menit dia sudah ingat. "Ah... Apartemen maksudnya?" Vanko menggeleng cepat seraya menggerakkan jari telunjuknya seakan memberi isyarat tidak. "Gue lebih suka bilang kalau ini rumah, bukan apartemen. Karena ini tempat gue pulang. Di mana ada lo, di situlah rumah gue berada. Lo tempat gue pulang dan rumah gue itu lo." Becca terdiam. Hatinya bergejolak kegirangan mendengar Vanko mengatakan bahwa dia adalah rumahnya. Senyuman merekah di wajahnya. Becca bahagia. "Lo rumah gue, dan lo sumber kebahagiaan gue, Becca." Sekuat tenaga Becca menekan dadanya agar Vanko tidak bisa mendengar suara jantungnya yang berdetak tak karuan. "Emang, kebahagiaan gue ada di sini. Bukan di sana." katanya lirih. Becca kembali mengambil kaleng ketiga dan menenggaknya sampai tersisa setengah. Dia sudah menghabiskan dua kaleng bir dingin dalam waktu kurang dari lima menit. Malam ini, Becca hanya ingin bersenang-senang sendiri. Niat awalnya ingin menelepon Vanko, hanya untuk mendengar suaranya. Tapi Becca mengurungkan niatnya. Dia tidak ingin membuat Vanko mendengar suaranya yang seperti orang mabuk walau Becca yakin seratus persen, dia belum mabuk. "Tapi gue kangen sama dia." Lagi-lagi Becca mendesah. Dia diserang virus dilema, antara menghubungi atau tidak. Tangannya memainkan ponsel pemberian Vanko di hari itu. Tidak ada kontak siapa pun di sana selain nomornya Vanko. Bahkan nomor Zulla atau Lingga pun tidak ada. "Hah... Terserah. Gue kangen sama dia." Becca tak lagi menghiraukan tentang kebimbangannya lagi. Dia hanya ingin mengungkapkan perasaan rindunya ke Vanko. "Ah... Mending gue chat aja. Kalau nelfon, nanti dia bisa denger suara gue." Sebelum benar-benar mengirim pesan ke Vanko, gadis itu lebih dulu membuka kaleng bir keempatnya. Mungkin saja Becca akan menghabiskannya sendiri malam ini. *** Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sementara Vanko masih sibuk berdiam diri di depan jendelanya yang terbuka. Lelaki itu seolah tidak takut terkena angin malam. Pandangan Vanko terus lurus ke depan seolah dia sedang memandangi satu objek yang begitu menyenangkan. "Hah... Leher gue rasanya kek mau patah." Vanko menggerakkan lehernya ke kanan dan kiri serta memijatnya pelan supaya tidak terlalu merasa pegal. Lelaki itu menguap lagi, dan setiap dia selesai menguap pasti Vanko akan langsung menyesap seteguk kopi yang terletak di sampingnya. Kali ini, belum sampai Vanko mengambil cangkir kopi, dia lebih dulu melihat ponselnya menyala. Ketika dilihat, itu adalah pesan dari Becca. Tanpa berpikir lebih lama, Vanko segera membaca pesan dari sang kekasih. Vanko And Becca Chat Room. Di mana? Kenapa? Gue tanya di mana? Gue masih kerja, My Pinky Gue laper, lo gak ada cita-cita pulang sambil bawain gue makanan gitu? Gue orderin dari sini ya. Lo gak pulang? Lo mau makan apa? Jawab dulu pertanyaan gue! Enggak. Lo mau makan apa? Nasi maut. Nasi maut apaan? Itu nasi yang gak karuan bentuknya tapi enak. Nasi mawut anjir, ya kali nasi maut. Emang tu nasi ngambil nyawa. Ya udah gue orderin. Makasih pacar. Untung sayang. Miss u. Belum sempat Vanko membalas pesan dari Becca, dia dikagetkan oleh pergerakan orang yang jauh di depan sana. Dari balik teropong, Vanko terus mengamati orang tersebut dan tak lama, dia mendesah lega karena tidak ada hal-hal yang membuatnya curiga. Back To Chat Room. Miss u 2. Kok balesnya lama? Kan gue dah bilang kalau gue lagi kerja. Oh... Vankooo...! Apa, Becca? Gak, cuma kangen lo manggil nama gue aja. Jangan gemes-gemes napa jadi orang? Jadi pengen nyubit online kan. Muach... Mau cincin yang kayak gini. Besok kita beli yang kayak gitu. Oke gas. Gue nemenin doang ya. Ih anjirrr, lo gak peka banget sih. Will you marry me? Vanko tersenyum sendiri membaca ulang obrolan mereka melalui pesan singkat. Dan sekarang dia dibuat penasaran akan balasan Becca. "Hah... Giliran dilamar beneran, gak ada jawaban. Dasar Becca." desahnya seraya meletakkan kembali ponselnya ke meja. Yang dilakukan Vanko masih tetap sama, dia melihat orang yang saat ini sedang mengobrol di depan rumahnya. "Apa yang mereka bicarakan di jam segini? Kenapa lama juga?" Tok! Tok! Tok! Cklek! Ketika pintu kamar indekosnya terbuka, Vanko menoleh buat memastikan siapa yang barusan masuk. Tapi tidak ada orang lain selain Trisa yang tahu kalau dia di sini. "Ada apa?" tanyanya langsung pada intinya. "Berkas tentang Reno sudah gue dapetin. Ini kalau lo mau lihat sekarang." katanya sedikit senang. Bola mata Vanko bisa melihat jelas sekarang ini Trisa sedang menyodorkan amplop coklat padanya. Karena penasaran, Vanko pun segera melihatnya. Sementara Trisa, dia memilih membuat kopi seenaknya sendiri bahkan sebelum sang pemilik kamar menawarkan. "Dia pemasok sayuran ke kafe-kafe dan restaurant?" tanyanya pada Trisa. "Gak perlu nanya lagi, semuanya udah tertulis di sana." "Gue udah baca semua." Usai merapikan dokumen yang barusan dia baca, Vanko langsung berdiri dan mengambil ponsel, dompet serta kunci mobilnya. Kebetulan juga Trisa datang tanpa diminta. "Berhubung lo di sini, gue mau balik bentar. Habisin aja kopinya semua gak usah bayar. Bye..." Tanpa mendengarkan jawaban Trisa terlebih dulu, Vanko langsung pergi begitu saja meninggalkan temannya di kamar indekosnya sendirian. "Gue kangen Becca. Kenapa dia gak bales chat gue?" gumamnya sembari berjalan cepat menuju mobilnya yang juga terparkir cukup jauh dari indekos. Di tengah malam begini, jalanan juga sepi dan tidak banyak kendaraan melintas di kanan dan kiri. Vanko memacu kuda besi roda empatnya dalam kecepatan tinggi supaya bisa cepat sampai di rumah. Tak sampai dua puluh menit, Vanko sudah sampai. Dia segera meninggalkan mobilnya di basemen dan menuju rumahnya supaya bisa cepat-cepat memeluk Becca. Sesampainya di depan unit 520, Vanko melihat ada kurir makanan yang menunggu di depan pintu sambil membawa sebuah keresek berisi kotak makanan. Vanko jadi bertanya-tanya, kenapa Becca tidak membukakan pintunya. "Mas, ini orderan nasi mawut?" tanya Vanko supaya kurir itu tidak menunggu lebih lama. "Oh iya, Mas. Ini Masnya yang order?" "Ah... Iya, saya yang order buat istri saya. Tapi sepertinya dia sudah tidur." Vanko langsung memberikan uang sesuai harga orderannya dan mengucapkan terima kasih. Dia sedikit bingung, ke mana Becca sampai tidak mau membukakan pintu. Sambil membawa sekeresek berisi kardus nasi mawut, Vanko membuka pintu rumahnya. Betapa kagetnya dia saat melihat ke arah ruang televisi, di sana Becca sudah tak sadarkan diri. Yang paling membuat Vanko kaget, di sekitar Becca ada banyak sekali kaleng bir kosong yang sepertinya sudah masuk ke dalam lambung Becca semua. "Bec, lo kenapa?" Sungguh, Vanko khawatir melihat Becca mabuk begini. Untuk pertama kalinya Vanko melihat Becca seperti orang yang sangat frustrasi. Tidak akan ada alasan abal-abal kalau Becca sudah sampai seperti ini. "Eung... Lo masuk ke mimpi gue?" Becca bangun dan berusaha duduk tegap, dia tersenyum ke arah Vanko sambil membelai pipinya. Wajahnya memancarkan senyuman yang begitu polos. "Lo ngapain mabuk segala?" tanyanya karena khawatir. "Gue gak mabuk." sahutnya khas orang sedang mabuk. Diambilnya kaleng bir yang masih Becca genggam. Vanko langsung menggendong kekasihnya menuju kamar agar Becca bisa segera tertidur. Bau alkohol menyeruak ke hidung Vanko meski Becca tidak berbicara. "Berapa banyak yang lo minum?" tanyanya pelan sambil membaringkan badan Becca ke ranjang secara perlahan. Baru juga Vanko ingin kembali berdiri, dia sudah lebih dulu ditarik oleh Becca. Bibirnya dikecup oleh pacarnya dan itu membuat hati Vanko berjingkrak kegirangan. Dia melumat bibir Becca sebentar dan bisa Vanko rasakan pahitnya alkohol dari bibir tipis itu. Ciuman mereka tak berselang lama, Vanko segera menyudahi lumatan bibirnya. Walau sebenarnya Vanko juga tidak rela melepaskan bibir Becca begitu saja. "Hah... Gue takut lepas kendali kalau gue terusin ciumannya." desahnya sembari menyelimuti tubuh Becca supaya tidak kedinginan. Tubuh Vanko berbalik, dia sebenarnya ingin ke dapur mengambil air mineral lalu membereskan kekacauan yang ada di ruang televisi. Akan tetapi, langkah kaki Vanko terhenti ketika tangannya ditahan oleh Becca supaya dia tetap di sana. "Jangan pergi. Gue mohon." ujarnya lirih tanpa membuka matanya. Karena merasa tak tega, akhirnya Vanko tidak jadi melancarkan niatnya dan memilih duduk di samping Becca. Dia kembali dibuat kaget saat Becca memeluk pinggangnya dan menumpukan satu sikunya di atas pahanya. "Lo gak tahu? Gimana susahnya gue nahan gejolak panas setiap kita bareng kayak gini? Rasanya susah, gue bahkan sampai kesulitan tidur karena ada yang terus terjaga. Tapi sepertinya lo bisa dan nyaman-nyaman aja." gumamnya seraya mengusap-usap rambut keriting Becca. Detik berganti menit sampai akhirnya satu jam berlalu. Vanko sudah ikut tertidur di samping Becca. Lelaki itu memeluk kekasihnya, mencoba menyalurkan kehangatan agar Becca tidak kedinginan dan tetap merasa nyaman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN