Rutinitas Vanko masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Dia sedang asik dengan dunia liburannya yang cosplay menjadi tukang jual es cappuccino cincau. Tapi sepertinya, Vanko bukan hanya sedang hobi berjualan saja. Tapi dia juga dilanda hobi tidur di luar rumah. Benar, Vanko menyewa satu kamar indekos di dekat minimarket. Bahkan kadang Vanko baru pulang ke rumah setelah dua hari tidak pulang. Ketika dia merindukan Becca, baru Vanko pulang.
Seperti hari ini, Vanko berencana akan pulang sebentar karena memang badannya terasa lelah sekali. Dia sudah dua hari tidak pulang ke apartemen dan meninggalkan Becca seorang diri di sana. Bukan karena Vanko tidak ingin bertemu Becca. Tapi dia ingin memupuk rasa rindunya supaya setiap bertemu Becca pun dia tetap merasakan kerinduan.
"Es cappuccino rasa lecinya satu, Mas."
Suara seorang lelaki menyapa Vanko yang sedang asik bermain gim di ponselnya. Namun ketika Vanko mendongak, ternyata yang memesan minuman tadi adalah Arka. Sekretarisnya yang berdiri di depannya.
"Ish... Lo ngapain di sini?"
Jangan kaget. Gaya bicara Vanko dan Arka memang seperti ini kalau tidak sedang di kantor atau dalam lingkup pekerjaan resmi. Tanpa kata, Arka langsung menyodorkan beberapa map pada Vanko.
"Gue ke sini mau ngasih ini semua dan sekaligus gue diminta sama Ibu buat nengokin lo ngejalanin hobi baru lo." dengusnya seperti orang ogah-ogahan melakukan ini semua.
"Ish... Lo harusnya ngehubungin gue aja, biar kita bisa ketemuan di luar." Vanko pun ikut mendesah seraya menerima beberapa map yang dibawa Arka tadi.
"Gue baca dulu nanti, besok baru gue kasih ke lo."
Cekrek!
Cekrek!
Cekrek!
"Aish.... Lo bilang-bilang dong kalau mau ngefoto gue. Kalau tiba-tiba 'kan gue belum siap gaya."
"Namanya motoin tukang dagang ya ngapain harus nunggu lo bergaya segala?" tanpa takut, Arka mencibir Vanko sembari memasukkan ponselnya ke dalam saku jas yang masih melekat di tubuhnya.
"Nih pesenan lo, sepuluh ribu."
"Njirrr... Biasa gue beli di deket kantor aja cuma goceng. Mahal amat lo jualan ceban." masih sempat-sempatnya Arka mengeluh tentang harga, padahal dia sudah menyesap cappucino cincaunya.
"Suka-suka gue lah, orang gue yang dagang. Lo gak mampu bayar? Ya gak usah beli, repot amat."
Tersentil rasanya kedua ginjal di dalam tubuh Arka mendengar perkataan Vanko barusan. Namun akhirnya dia juga akan membayarnya karena sudah merasa kesal pada anak majikan serta atasannya sendiri di kantor.
"Tandatangani semua dokumennya sekarang juga baru nanti gue bayar. Enggak ada besok-besokan." Arka kembali meminta Vanko agar segera menandatangani dokumen yang dia bawa barusan.
"Lo gila ya! Ya mana bisa gue baca di sini dengan leluasa?"
"Gue males mampir ke sini dulu besok pagi sebelum ke kantor." Arka terang-terangan saja menjawab ini.
Arka mengambil satu bolpoinnya dari dalam saku jas dan dia berikan pada Vanko. Itu artinya, Vanko benar-benar tidak bisa mengelak buat memberikan dokumen itu besok.
Vanko mengumpat saat itu juga, dan semua umpatan yang keluar dari bibir Vanko, disertai dengan terjangan angin khayangan bagi Arka.
Hingga akhirnya, mau tak mau, bisa tak bisa, fokus tak fokus, Vanko tetap harus meluangkan waktunya buat membaca beberapa dokumen tadi dan bahkan sudah ada yang dia tandatangani.
"Kata gue juga apa, lo bisa meski di sini super bising." Arka mengapresiasi usaha Vanko sekarang ini.
Ekor mata Vanko melirik tak santai ke arah Arka sambil membubuhkan tandatangan terakhir di dokumen paling bawah. Dengan rasa kesal, Vanko menutup bolpoin Arka sekuat tenaga.
"Nih... Udah beres. Pergi sana." tak segan-segan Vanko mengusir sekretarisnya seraya menyerahkan dokumen di tangannya.
Lega sudah rasanya bagi Arka, tandatangan dan foto sudah didapatkan. Jadi dia tidak akan mendapat masalah lagi. Dia pun mendesah sambil memasukkan dokumen tadi ke dalam tas lalu memberikan selembar uang berwarna ungu ke Vanko.
"Duitnya juga mirip kayak yang punya." Vanko bergumam ketika dia melihat uang yang baru dia terima dari Arka.
"Maksud lo?"
"Sama-sama lecek."
Tanpa merasa berdosa Vanko mengatakan hal barusan sebelum dia akhirnya memasukkan uang dari Arka ke laci uang. Sementara Arka, dia sudah siap memukul Vanko tapi dia urungkan.
"Daripada lo, punya hobi gak jelas. Cosplay jadi kasir lah, jadi tukang jamu lah, jadi tukang bangunan lah, jadi kang dagang lah, dan gak tahu udah jadi apa lagi lo. Berasa semua bidang bisa dan harus lo lakuin." Arka tak mau kalah, dia balik mencibir Vanko.
Bola mata Arka kini melihat Vanko memegang pisau dan tak segan-segan dia menusuk papan gerobak kecilnya seraya menatap tajam ke arah Arka. Tatapan mengintimidasi itu berhasil membuat Arka pamit dan pergi dari sana.
"Dia siapa?"
Baru saja Arka pergi, sudah ada pengganggu lain yang datang ke kehidupan Vanko. Siapa lagi kalau bukan Trisa. Gadis itu melihat Arka pergi terburu-buru seolah takut dimakan Vanko.
"Kebetulan lo ke sini, gue mau pergi bentar"
Vanko baru teringat, kalau tadi Becca meneleponnya karena masalah barang belanjaan yang katanya tidak sesuai. Entah tebakan Vanko benar atau salah, tapi dia menebak Becca akan komplain tentang orderan yang tidak ada warna pink karena habis.
"Lo mau ke mana lagi?"
"Mau ke markas bentar, terus balik ganti baju."
Trisa hanya diam, tapi dari tatap matanya bisa Vanko tebak kalau temannya itu menyesal datang ke sini sekarang.
"Gak akan lama, bentar doang. Lagian semalam gue udah begadang." lanjutnya.
Sakit yang Trisa rasakan saat Vanko menepuk-nepuk bahunya berulang kali. Tapi dia juga tidak bisa menghindar, dan akhirnya Trisa hanya diam saja seolah dia tidak kesakitan.
"Kalau ‘ntar hujan, gue gak mau tahu pokoknya lo harus ke sini. Gue gak mau ngeberesin dagangan."
Pelan tapi pasti, Vanko mengambil kunci mobilnya dan berjalan mundur selangkah demi selangkah. Dia nyengir kuda ke arah Trisa.
"Kalau gak ada halangan. Bye...!"
Vanko langsung berlari begitu saja meninggalkan Trisa berjualan sendirian. Namun tak lama, Trisa seperti melihat orang yang dia tunggu keluar dari sebuah gang. Tanpa pikir panjang, Trisa segera mengemasi semua uang di laci dan meninggalkan dagangannya begitu saja.
***
Becca sedikit marah saat melihat barang pesanannya ada satu yang beda warna. Ditambah lagi, warna yang datang sangat berbeda dengan ekspektasinya. Dia sudah memendam amarahnya ingin segera memarahi penjual yang dikiranya salah mengirimkan warna.
"Vanko mana sih? Katanya bentar lagi sampai." dengus Becca seraya mondar-mandir menunggu kedatangan Vanko.
Tiitttt!
Suara pintu dibuka terdengar oleh Becca, cepat-cepat dia berlari menghampiri Vanko. Saat akan menodong ponsel kekasihnya, Becca jadi tidak tega karena melihat wajah kelelahan yang tercetak jelas di wajah Vanko.
"Ini, diminum dulu."
Segelas air putih dingin diterima Vanko, dan meski hanya seperti ini, sudah membuatnya amat bahagia.
"Barang belanjaan udah sampai?" tanyanya kembali memastikan.
"Iya udah, tapi ada masalah kecil jadinya gue mau komplain ke seller-nya. Jadi mau pinjem HP." Becca menjelaskannya agar Vanko mau memberikan ponselnya kepadanya.
"Kesalahan apa?"
Walau Vanko sudah tahu, tapi dia hanya ingin memastikan saja, kesalahan apa yang dibuat seller sampai membuat Becca kesal dan emosi.
Bibir Becca tak dapat bicara. Dia malu kalau harus mengatakan apa keluhannya ke Vanko. Dan itu membuat beberapa kata yang sudah dia siapkan jadi tertahan di tenggorokan. Becca merasa seperti ada yang mengganjal di kerongkongannya.
"Ya, ada pokoknya." dengan gugup Becca menjawab.
Kening Vanko mengerut, dia melihat gelagat aneh dari Becca namun dia pun memilih diam saja. Tangannya kini merogoh saku jaketnya, memberikan ponselnya kepada Becca. Belum sampai dua detik, Becca langsung membawa kabur ponsel itu ke kamar. Dan Vanko semakin yakin kalau Becca akan komplain tentang bra yang tidak ada warna pink.
"Lo mau komplain tentang apa?" Vanko dengan santainya mengikuti Becca ke kamarnya.
"Hah?"
Becca memekik kaget sembari mengemasi barang belanjaannya. Padahal Vanko sudah tahu apa yang Becca beli. Sekarang Vanko hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah Becca.
Dengan tenang, Vanko berjalan mendekati Becca perlahan. Dia menggerakkan setengah badannya ke kanan, melirik apa yang Becca sembunyikan di belakang badannya. Wajah gadis itu tampak gugup sekarang.
"Lo ngapain ikut ke kamar?" tanyanya masih dengan suara gugup.
"Kenapa? Ini kamar gue." tanyanya balik dan itu membuat Becca jadi tidak bisa menjawab.
"Ya gue mau foto barangnya, buat bukti komplain. Kalau lo ada di kamar, makin lama gue mau ngefotonya."
Tanpa memikirkan kegugupan Becca yang tampak begitu jelas, Vanko langsung duduk di samping Becca. Tangannya bergerak cepat mengambil barang yang disembunyikan di belakang tubuh gadisnya.
Mata Becca melotot sempurna saat tahu bahwa barang belanjaan yang dia sembunyikan sudah berpindah tangan. Dia juga merasa bahwa tubuhnya dibanjiri keringat dingin sekarang. Dalam hati, Becca berdoa agar Vanko tidak membuka dan melihat isinya.
"Kayaknya gue tahu apa yang lo beli." gumamnya membuat Becca semakin gelagapan bak orang tenggelam dalam air di lautan.
"Vanko balikin!"
Becca tak bisa diam begitu saja, dia memutuskan buat berdiri dan mencoba merebut barang belanjaannya dari tangan Vanko. Sebisa mungkin Becca mencobanya tapi Vanko tetap bisa menghindar dan menjauhkan barang itu dari Becca.
"Jangan dimainin, balikin sini!" sentaknya lagi.
"Ambil kalau bisa, wle..."
Tak habis pikir lagi, Vanko juga bukannya mengembalikan dan menjelaskan tapi malah menggoda Becca. Dia bahkan sampai berdiri di ranjang agar Becca semakin kesulitan untuk mengambil kardus di tangannya.
Tak mau kalah, Becca ikut naik ke ranjang dan masih mencoba merebutnya. Kegondokkan dalam hati Becca semakin saja menjadi-jadi. Dia maju dan mengikut gerakan Vanko ke mana lelaki itu menghindarinya.
"Van, sini balikin. Ini gak lucu asli." rengeknya meminta dengan baik-baik.
"Gak mau..."
Lagi dan lagi, Vanko malah menjulurkan lidahnya meledek Becca. Hal itu semakin membuat Becca kesal dan dia mendorong tubuh Vanko sekuat tenaga. Tapi bukannya Vanko yang jatuh, malah dirinya yang terjatuh karena menurutnya Vanko terlalu kokoh saat berdiri meski di atas ranjang sekalipun.
Merasa dirinya terancam jatuh, Becca refleks menarik kerah kaos Vanko berharap kalau dia tidak jadi jatuh. Namun nyatanya, ekspektasi Becca tidak jadi kenyataan. Tubuhnya ambruk ke ranjang dan lebih parahnya lagi, Vanko pun ikut jatuh menindihnya. Untung saja, Vanko sigap jadi dia tidak benar-benar menindih badan kecil Becca. Vanko bisa dengan cepat membuat pertahanan menggunakan lengannya.
Pipi Becca memanas ketika tahu bahwa wajah Vanko begitu dekat dengan mukanya. Bahkan dia bisa merasakan embusan nafas Vanko yang hangat. Mata mereka saling bertemu pandang.
Vanko pun merasakan hal yang sama seperti apa yang dirasakan Becca. Dia merasa tak karuan, dadanya bergemuruh. Ada gejolak di dalamnya yang membisikkan agar dia semakin dekat dari ini. Susah payah Vanko menelan ludahnya sendiri.
Pandangan Vanko jatuh pada bibir Becca yang terkatup. Hasrat ingin mencicipi bibir kekasihnya muncul tanpa diminta. Perlahan-lahan, dia mendekatkan bibirnya ke bibir Becca dengan harapan, semoga kali ini dia tidak mendapatkan penolakan seperti yang sudah-sudah di waktu dulu mereka masih sama-sama berseragam sekolah.
Becca menahan nafasnya. Dia juga bukan gadis polos yang tidak tahu apa yang akan dilakukan Vanko padanya sekarang. Becca sudah sering melihatnya di drama atau mendengar cerita dari temannya ketika di Los Angeles. Kalau laki-laki sudah mendekatkan wajahnya ke wajah pasangan, pasti akan ada kejadian adu mulut. Tapi adu mulut yang memabukkan.
Uhukk... Uhukk...
Tanpa aba-aba, Becca terbatuk dan menghancurkan suasana romantis mereka. Dia pun mendorong badan Vanko agar terbangun dari badannya. Becca sudah tidak bisa menahan gatal di tenggorokannya lagi. Kali ini dia benar-benar batuk karena memang tenggorokannya gatal, bukan karena dia ingin menghindar. Cepat-cepat Becca ke dapur mencari minum. Sementara Vanko, dia tersenyum kecut saat tahu dia tetap mendapatkan penolakan meski mereka sudah bukan anak di bawah umur seperti dulu lagi.
Tanpa memikirkan isi dalam paket tadi lagi, Vanko langsung menyusul Becca ke dapur. Dia melihat kekasihnya masih terbatuk-batuk.
"Gue gak terima ditolak lagi, Bec." ujarnya tegas seraya menggenggam tangan Becca.
"Gue seriusan batuk, Van." ujarnya sambil menahan batuknya.
Vanko tidak lagi peduli kalau semisal dia tertular batuk oleh Becca. Dia langsung mendorong tubuh Becca sampai menempel mentok dengan meja pantry. Dikecupnya bibir Becca singkat lalu beralih menatap Becca yang diam saja.
Tindakan Vanko tidak berhenti begitu saja. Dia menarik pinggang Becca pakai tangan kirinya dan tangan kanannya dia gunakan buat menahan tengkuk Becca agar gadisnya tidak lagi bisa mengelak.
Nafas Becca serasa tercekat ketika bibir tebal Vanko kembali bertemu bibirnya. Kenyal, geli, manis dan menggoda. Itu yang Becca rasakan dalam ciuman mereka. Tanpa sadar, Becca memejamkan matanya karena dia juga menikmati pagutan bibir mereka.
Perlahan-lahan, Becca tidak lagi tegang seperti tadi. Dia pun melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Vanko dan menunggu lelakinya menghentikan perang bibir yang masih terjadi.
Becca terus merasa bibirnya dimainkan dan digoda oleh Vanko. Tapi berbeda dengan Becca yang hanya bisa diam. Dia tidak tahu harus bagaimana membalas kecupan Vanko. Ini pertama kalinya dalam sejarah hidup Becca selama dua puluh lima tahun dia baru merasakan yang namanya ciuman.
Alunan nafas Vanko memburu membuat Becca semakin tergoda. Hingga tiba di mana Vanko menghentikan ciuman mereka. Lelaki itu menatap wajah Becca lekat-lekat. Begitu pula Becca yang membuka matanya perlahan. Wajahnya semakin memerah saat bertatap muka dengan sang kekasih. Jelas saja, rasa malu melanda Becca.
"Sorry kalau gue masih amatir, ini ciuman pertama gue."
Becca tidak menyangka kalau dia akan mendengar kata-kata ini dari Vanko. Padahal dirinya yang lebih pasif dan tidak membalas sedikitpun karena keburu bingung. Becca takut menggigit Vanko kalau dia tadi ikut bermain.
"Ini juga first kiss gue." sahut Becca disertai senyuman manisnya.
Cup!
Melihat Becca tersenyum, hal itu membuat Vanko gemas dan kembali mengecup singkat bibir Becca. Rasanya membuat Vanko ketagihan dan dia ingin lagi. Tapi Vanko sadar diri, dia juga tidak ingin menjadikan Becca sekedar pemuasnya saja.
Wajah sepasang kekasih itu sama-sama dihiasi senyuman malu-malu. Akhirnya, setelah berulang kali ditolak, Vanko bisa juga merasakan manisnya bibir tipis Becca. Dia tidak bisa membendung perasaan senangnya yang membuncah di dalam d**a. Bahkan kalau Vanko tidak pandai menahan sedikit lagi, bisa dipastikan perasaannya akan meledak tak karuan.
Hati Becca berdesir merasakan anak rambutnya diselipkan di belakang telinga oleh Vanko. Hanya sentuhan seperti itu, sudah membuat Becca hampir menggila.
"Jangan pernah nolak gue lagi. Cukup tadi yang terakhir." pinta Vanko lembut seraya merapikan rambut keriting Becca.
Senyuman Becca semakin lebar, dia mengangguk mengiyakan. Lagi pula, Becca juga tahu kalau sekarang mereka sudah cukup umur untuk berciuman.
"Gue tadi gak bermaksud nolak, tapi emang tenggorokan gue kadang gatel." ujarnya lagi berusaha meyakinkan Vanko.
Cup!
Wajah Becca semakin memerah saat bibirnya kembali dikecup Vanko secara singkat.
"Yang penting, gue udah dapet gantinya barusan." katanya berbisik di samping telinga Becca sampai membuat gadis itu merinding sebadan-badan.
"Udah ah, gue mau komplain dulu ke seller-nya karena udah salah ngirim warna."
Rasa-rasanya sudah cukup bermesraan dengan Vanko barusan. Becca langsung kembali ke kamar dan mengambil ponsel Vanko yang tadi dia letakkan di ranjang. Begitu pula Vanko yang juga mengikuti Becca lagi.
"Seller-nya gak salah kirim, tapi emang gue yang minta warna hitam." kata Vanko yang mampu membuat Becca jadi syok terapi.
Mata gadis itu melebar, dia bahkan tidak mampu bernafas untuk beberapa detik. Pikirannya blank dalam waktu beberapa menit.
"Warna pink-nya habis. Jadi gue bales aja ganti warna hitam." lanjut Vanko sambil duduk di samping Becca.
"Vankoooo...!!! Lo kenapa ngintipin apa yang gue beli!!!"
Vanko merasa telinganya berdengung usai mendengar teriakan Becca. Dia segera berlari keluar kamar menghindari Becca yang sepertinya akan mengamuk.
Di dalam kamar, Becca guling-guling sendiri di atas ranjang. Rasa malunya beranak-pinak sekarang. Dia tidak tahu kalau ternyata Vanko akan mengetahui barang apa yang dia beli.
"Mau ditaruh di mana lagi muka gue?" tangisnya pelan tanpa air mata.
Selimut di atas ranjang sudah tidak pada tempatnya lagi. Becca juga sampai memukul-mukul guling di sampingnya sekuat tenaga, guna melampiaskan rasa kesal dan malunya.