C.1 Tough Decision

2454 Kata
~~ Hidup dimulai saat kau tau dirimu telah dewasa dan tau kapan harus bersikap bijak antara keinginan hatimu, cita-cita, dan target hidupmu. ~~ Asmara Dewi Putra nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku 26 tahun lalu. Pasangan Arta Putra dan Sulia Putra yang kini usia mereka 53 dan 51 tahun. Aku anak pertama dari dua bersaudara adikku laki-laki, Firman Syah Putra usianya terpaut 3 tahun denganku. Setelah memutuskan bekerja 4 tahun lalu di ibukota, aku hidup terpisah dengan kedua orang tuaku dan adikku. Orang tuaku tinggal di kota kecil yang jaraknya sekitar 850 km dari tempat kerjaku saat ini. Adikku sendiri tinggal di ibukota provinsi timur Jawa yang jaraknya sekitar 60 km dari kota tempat tinggal orang tuaku dan 800 km dari tempatku saat ini. Sinar matahari pagi masuk melalui jendela kamarku, aku menyewa sebuah rumah kecil dengan satu kamar tidur, kamar mandi, dapur dan ruang tamu. Ini bukan apartment ya,entah kenapa aku ga begitu suka tinggal di aparment yang menurutku terlalu sunyi dan yang bikin males antri lift tiap pagi,,,hahaha.. Jam dinding masih 5.30, masih ada waktu 2 jam lagi sebelum berangkat ke kantor. Aku cek notif ponselku ‘Sapa tau ada berita penting’ batinku. My Embeb Dev Aku jemput kamu jam 7 ya Hun Me Oke,,mau sarapan di rumah? My Embeb Dev Aku mau kopi dan telor ceplok, boleh Hun? Me Of course, Beb Devio Surya Airlangga – Dev - aku memanggilnya dia adalah kekasihku selama setahun ini. Pertemuan awal kami saat menghadiri pernikahan salah satu temen kantor. Iya lebih tepatnya Dev adalah teman kantor dari mempelai pria. Awalnya biasa saja sampai akhirnya cara berpikir dan sikap Dev yang dewasa membuat aku mulai menerimanya jadi pacarku dalam waktu yang tak sebentar. Dev termasuk orang yang on time dunk, beneran jam 7 dia sudah ada di rumahku. Saking seringnya datang ke rumah ini, Dev langsung masuk tanpa perlu ketok pintu. Datang-datang pun Dev duduk di sofa ruang tamu dan di meja sudah ada kopi dan telor ceplok pesanannya. “Apa rasanya tidak enak ?” tanyaku karena melihat Dev yang diam saja menikmati sarapannya tanpa menyapaku dulu. “No, aku selalu suka dengan rasa masakanmu Hun,” jawabnya yang membuatku merona. “Really ?” dengan wajahku yaang menahan malu. Dev hanya berdehem, kemudian meminum kopinya. “Apa kau sibuk weekend ini, Hun ?” tanyanya padaku. “Apa kau akan mengajakku pergi ?” bukan menjawab aku malah balik bertanya. “Aku harus menemui kedua orang tuamu untuk membahas masalah pertunangan dan mungkin pernikahan kita.” jelasnya membuat tubuhku menegang. Bukankah ini disebut dengan lamaran ? Bener ga sih ? Atau cuma aku yang merasa terlalu PD? Tak bisa dipungkiri sih aku seneng dengan apa yang dikatakan oleh Dev, tapi entah kenapa aku merasa ada yang aneh dalam hatiku. Seperti perasaan yaang bahagia tapi ada rasa ragu karena aku merasa belum mencintai pria ini sepenuhnya. Yahhh,,cinta,,yang aku sendiri ga tau bisa merasakan hal itu lagi mengingat setahun aku bersamanya tapi belum ada perasaan seperti orang jatuh cinta. “Ara, kita sudah menjalani hubungan ini selama setahun. Apalagi yang perlu kita tunggu?, Apa ada sesuatu yang mengganggumu selama bersamaku,, hmmm?” tanya Dev dengan tatapan manik hitam yang selalu membawa perlindungan padaku. Dan tentu saja tatapan ini yang selalu membuatku luluh dengannya. Aku menggeleng. Aku ga sanggup mengatakan kalau aku hanya mencoba bersamanya atau bersama hanya karena aku nyaman dengannya, atau aku dengan tega mengatakan bahwa aku tidak mencintainya. Hhhhh,,, aku masih punya hati untuk tidak menyakitinya, karena jujur setahun ini aku bersamanya dia memang tidak pernah menyakitiku. Bagaimana mungkin aku menyakitinya. “Kita bicarakan ini lagi nanti, sudah waktunya kita berangkat kerja.” jawabnya yang membuyarkan lamunanku. “Oke, ayo,” aku cuma bisa mengangguk. Kami berjalan menyusuri jalanan ibukota yang mulai terlihat padat di jam kerja seperti ini. Kantor kami hanya berjarak kurang dari 10 km dan searah, itulah sebabnya Dev selalu antar jemput aku setiap hari. “Kabarin aku saat kamu mau pulang ya, aku usahakan untuk menjemputmu.” Dev membelai pipiku dan mengusap pelan rambutku yang sudah aku tata rapi. “Aku turun dulu ya, makasih sudah mengantarku.” kataku sambil melepas seatbelt. “I love U Ara with all my life” tatapnya penuh cinta. Dan aku cuma bisa tersenyum sambil mengangguk. ‘Kenapa pintu hati itu susah untuk ku ketuk meskipun hanya sekali’ lirih Dev. Sampai di lobby kantor aku tersenyum dengan beberapa rekan kerja yang datang bersamaan denganku. Aku menuju lift dan menekan angka 3. Aku bekerja di salah satu perusahaan otomotif sebagai Buyer, posisi biasa ya,, bukan sebagai pemilik, bos, manager atau apapun itu. Tapi aku begitu menyukai pekerjaan yang sudah aku tekuni selama 4 tahun terakhir. Dan hal menyenangkan berikutnya karena disini teman-teman kerja sangat baik dan penyayang, bisa jadi karena sama-sama rantau ya, jadi ada rasa saling menyayangi. Tiing!! Lift berhenti di lantai 3, aku pun berjalan keluar lift dan kulihat kondisi kantor udah rame banget. Kebanyakan dari teman-temanku memang datang lebih pagi karena sekalian sarapan di kantor. Tapi aku lebih seneng dateng mepet jam kantor. “Paaagiiiii,,,semua…” sapaku sambil menuju tempat duduk biasa aku kerja. “Tumben, cepet, biasanya pas ato telat.” komen Astri yang duduk tepat di depanku sekaligus bestie in crime di kantor. “Kapan lagi lo aku rajin begini” cengirku. Mataku menatap bingung dengan undangan yang ada di meja. Dengan penuh penasaran aku pun membuka undangan tersebut dan ternyata undangan pesta ulang tahun perusahaan salah satu supplier kantor. Saat k*****a lokasi dan tanggal acara tepat weekend ini di Surabaya, kota yang selalu kurindukan. “God,, apa ini pertanda aku memang harus ke rumah menemui orang tua dan bahas soal pernikahan” gumamku. “Sapa yang mau nikah?” selidik Astri. “Kerja dulu ya ntar aku ceritain” sahutku. “Sekarang aja napa, penasaran nih” Astri sewot ga mau kalah. “Maksi ntar aku janji, karena ada report yang mesti ku kerjain,keburu madam Santi nagih” elakku. “My bestie,,, yukk,,aahh,,maksi,,laper nih” rengek Ratna sambil berdiri di samping mejaku dan Astri. Aku dan Astri sontak menoleh. “Cuss,,” Astri berdiri. “Tunggu,, tunggu,, tanggung 2 menit” jawabku. “Astagah,, lama Ra, kan kamu janji mau cerita ma kita” protes Astri. “Bawel sista,, kamu protes mulu ga jadi 2 menit nih.” Sungutku. Ratna yang ga tau ada urusan apa menoleh ke Ara dan Astri bergantian. “Jadi aku ketinggalan cerita apa nih?” tanya Ratna. “Let’s go to eat” kataku langsung menggandeng kedua temanku menuju kantin kantor di lantai 2. Dan di luar ekspektasiku, saat Astri dan Ratna tahu rencana Dev yang mengajakku menikah, mereka berdua jerit-jerit happy, lah aku malah bengong tau ekspresi mereka begitu. “Kok kayanya kamu ga happy gitu sih? Napa?” Ratna yang sadar akan ekspresiku tidak menunjukkan raut kebahagiaan. “You know lah the answer” jawabku mengedikkan bahu. “Astagah,, Ara are u okay? untuk urusan begini aku setuju sama Dev, kalo masalah cinta, liat aku sama suami pun ga pernah bahas soal cinta tapi kita sampe sekarang happy2 aja kan.” Cerocos Astri. Yaa,, harus akui Astri memang udah nikah dan punya anak perempuan, setauku mereka menikah cuma karena udah umur dan nyaman aja bersama, ga ngerti deh apa karena cinta juga atau bukan. “Kadang emang ga perlu rasa cinta untuk memutuskan berumah tangga Ra” giliran Ratna yang bijak, memang daripada Astri yang gesrek, Ratna lebih sopan dan bijak diantara kami. “Sebenarnya bukan cuma itu aja sih. Dengan nafas berat aku mulai bingung bagaimana cara ngomong yang bener. “Ada satu di dalam hati ini yang entahlah terasa ga pas aja, it’s like something bad will happen.” Curhatku yang mulai perih terasa di mataku. Dan entah ada angin darimana tapi memang kadang feeling yang kurasakan bakal terjadi meskipun beberapa lama dan lupa pernah ngerasa punya pemikiran kaya gitu. “Oh,, No,, menikah ga seseram itu darling meskipun tanpa cinta, trust me.” Astri merangkulku yang aku mulai tak bisa membendung air mataku. “Atau kau jujur saja dengan Dev apa yang kamu rasakan, dengan begitu Dev akan membantu dan mungkin akan mencari solusi bersama.” nasehat Ratna sambil membelai punggungku. “No,, Na,, aku ga mau egois dengan mengatakan semuanya dengan gamblang ke Dev. Dia terlalu baik dan aku ga tega melihat dia terluka.” elakku sambil tetap menitikkan air mata. “Oke, sekarang coba kenali lagi dalam diri, hati, pikiranmu. Apa pernah dalam waktu kalian bersama Dev menyakitimu?” Astri berkomentar dan aku menggeleng. “Ada kondisi ga dimana kamu ga nyaman dengan Dev?”tanya Astri dan lagi aku menggeleng. “Apa dia membentakmu or mengatakan hal buruk padamu?” ulang Astri dan ketiga kalinya aku menggeleng. “Berarti dia sayang dan cinta sama kamu Ra, why? karena Dev tidak pernah melakukan hal buruk ke kamu, karena cintanya tulus.” nasihat Astri yang membuatku mendongakan kepala. “Asmara, ga selamanya mencintai seseorang itu mendapatkan kebahagiaan, tapi justru dengan dicintai seseorang kita belajar bagaimana mencintai tanpa tersakiti.” jelas Ratna. Benarkah seperti itu ? Saat kita mencintai bisa aja kita terluka, tapi dengan kita dicintai maka kita bisa belajar mencintai dan yang terpenting kita tidak tersakiti. Haruskah aku belajar mencintai Dev tanpa takut apapun lagi ? Atau menjadi orang yang menyakiti Dev dengan menerimanya ? Jujur pada Dev untuk membuatnya terluka ? 'God,, kenapa memikirkan ini aja lebih sulit daripada membuat laporan untuk Madam Santi.’ batinku putus asa. Kita bertiga pun kembali ke ruangan, dan aku memutuskan untuk menghubungi Dev. Baiklah, aku putuskan untuk belajar mencintai Dev dan menerimanya termasuk masalah pernikahan ini. Me Beb, apa kau bisa menjemputku jam 17.30? My Embeb Dev Baiklah, sepertinya aku juga ga sibuk Me Kabarin aku kalo kamu memang sibuk My Embeb Dev No problem my Hunny, I do it for U Lihatlah balasan yang sweet banget deh, kalau aku beneran jatuh cinta sama Dev mungkin aku bisa pingsan hari ini juga membaca pesannya. Me God,,U are so sweet Beb My Embeb Dev Coz I love U sweetheart. Oke,, apaan nih.. harus ku jawab apa buat masalah begini. Me Thanks 4 loving me. Menurutku hanya itu jawaban yang paling bijak. Sebenarnya ga ada yang buruk dari seorang Dev, pria standar Asia tinggi 175 cm ideal menurutku yang hanya 160 cm. Kulit coklat ga terlalu gelap. Manik mata hitam yang selalu memancarkan aura dewasa dan melindungi. Rambut hitam pendek dipotong dengan rapi. Secara fisik sudah cukup buatku. Pekerjaannya di bidang mesin industri membuat dia terlihat keren saat mengenakan seragam kerjanya. Jabatannya sebagai Asisten Manager di usia muda setidaknya cukup untuk hidup mapan di kota besar. Rumah ada meskipun sederhana, mobil juga punya. Jadi ga ada salahnya kan buatku mencoba dengannya? Yahh… Mencoba bersama dengan Dev mungkin bukan pilihan yang buruk. Daripada aku mencintai seseorang ternyata lelaki itu mencintai orang lain. Ya Tuhan, semoga keputusan ku kali ini benar dan membawa kebahagiaan bagi semua orang khususnya diriku sendiri. * Mendekati jam pulang kantor aku malah merasa cemas yang ga tertahankan, ‘Astaga apa karena aku mau bikin keputusan yang sama sekali ga aku lakukan dengan hati,’ pikirku gelisah dan mulai berkeringat. My Embeb Dev Sayang aku otw ke kantor km Me Tunggu di lobby aja yaa, aku siap2 turun My Embeb Dev As ur wish my love Jawaban yang lama-lama bikin aku amat dicintai oleh Dev, yang semakin membuatku merasa bersalah. “Apa kamu ingin makan sesuatu?” Dev bertanya padaku saat aku memasang seat belt. “Kita ke Pasadena aja sekalian jadi banyak pilihannya” jawabku kemudian. Pasadena adalah salah satu nama food court favorite karena menjual macam-macam makanan. Sekitar berkendara 20 menit, karena jalanan macet kami sampai di tempat tujuan, setelah memarkirkan kendaraan kami memilih tempat duduk agak di pinggir dan sedikit suasana outdoor untuk menikmati pemandangan malam dan lebih rileks berbicara. “Hunn,, kamu mau pesan apa?” tanya Dev setelah aku duduk di hadapannya. “Dimsum komplit aja dan minumnya —“ belum sempat aku jawab, Dev langsung menjawab dengan pasti “Ice green tea” Aku pun mengangguk dan tersenyum. Dev pergi setelah mengelus lembut kepalaku. Beberapa menit kemudian Dev membawa pesananku dan juga makanan pesanannya. Lalu kami mulai menikmati hidangan kami sambil sesekali ngobrol masalah pekerjaan dan obrolan ringan lainnya, tak terasa makanan kami pun habis dan aku meliriknya sebentar untuk memastikan aku bisa mulai berbicara serius masalah tadi pagi. “Mmmm,,, Dev," panggilku lirih saat kuhela nafasku sesaat. Dev yang merasakan ada hal serius pun menatapku. “Ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu soal pembicaraan kita tadi pagi,” aku masih mengatur napasku. “Oke,, and?” Dev pun menimpali. “Bukannya aku ga mau menikah dengan kamu, hanya saja aku takut melukaimu jika aku memaksakan perasaan ini sama kamu,” dan entah kenapa kata-kata itu lolos begitu saja, yang membuatku merutuki kebodohanku karena berkata hal semacam itu. Saat yang bersamaan aku pun takut untuk menatap Dev yang kulihat hanya diam memperhatikanku bicara. “Aku tau,” ucap Dev yang membuatku mendongak dengan pandangan sulit diartikan. Melihat kebingungan yang aku tunjukkan Dev pun melanjutkan kata-katanya. “Aku tau mencintaiku butuh waktu, hanya saja aku ingin menikmati waktu itu bersamamu. Ijinkan aku jadi orang pertama yang sadar akan cinta yang kamu rasakan untukku.” Jujur aku ga bisa membohongi perasaan terhanyut yang Dev ciptakan, dengan tatapan mata penuh perlindungan dan kehangatan yang selalu membuatku tak berdaya. “Apa kamu akan baik-baik saja dengan kondisi yang demikian?” tanyaku dengan perasaan campur aduk. “Aku ga mau kamu terluka Dev, dengan sikap kamu yang selalu baik padaku” jelasku tanpa ingin menyakitinya. Dev tersenyum “Bagiku sudah cukup kamu menerimaku dengan seluruh waktumu, aku tidak masalah jika hatimu memang belum ada namaku di sana” Astaga terbuat dari apa hati Dev ini sebenarnya, kenapa cintanya begitu tulus, dan kenapa wanita di luar sana tidak ada yang melihatnya hingga aku yang harus mengalami dilema ini. “Baiklah, weekend ini kita ke rumah orang tuaku kebetulan aku ada undangan dari relasi kantor, gimana apa kamu keberatan?” Dev menatapku tak percaya dengan kata yang aku ucapkan dan aku hanya bisa tersenyum menggangguk. “Of course Hunny, I will prepare it, thank you my love” jawab Dev dengan penuh semangat. Setelah pembicaraan malam itu, kami menyiapkan semuanya termasuk dengan tiket pesawat yang akan membawa kami ke Surabaya. Aku pun sudah mengabari kedua orang tuaku mengenai hal ini. Dan mereka terliat begitu bahagia yang terdengar dari suara mereka saat aku menelponnya. ‘Semoga ini pilihan yang benar dan awal yang baik untukku mulai mencintai lelaki yang mencintaiku dengan sepenuh hati,’ doaku tulus. Dan pilihan itulah yang membuat kisah hidup Ara tak lagi semudah yang dibayangkan dan Ara harus bisa menjadi lebih kuat dari sebelumnya. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN