“Kita kedatangan tamu.”
Suara dekat pintu itu membuat Ailee terjingkat dari posisinya yang terkulai di atas ranjang. Jika ingatannya benar, itu adalah suara Zac, salah satu dari tiga orang penculiknya. Suara itu membawa Ailee dalam kesadaran, menggiringnya pada ketakutan yang hampir dilupakan gadis itu dalam tidurnya.
Tamu? Siapa yang datang? Teman? Atau musuh?
Ailee masih tak bisa menerka jam berapa saat itu. Ia memaksakan tubuhnya untuk bangun, tidak menghiraukan rasa sakit yang menguasai kepalanya. Turun dari ranjang, gadis itu melangkah dekati arah pintu. Mencari celah untuknya mengintip melalui lubang kunci berharap bisa melihat keadaan di luar ruangan.
Telinganya hampir meledak ketika baru saja ia menempelkan alat pendengarannya di permukaan bilik pintu. Suara baku tembak, terdengar seperti kembang api yang menyala tepat di sebelah telinganya setelah keheningan yang hampir membuat Ailee merasa pekak. Ailee segera tersentak mundur dari pintu, menjauh, menatap pintu dengan nanar. Membayangkan di luar sana ada orang yang sedang saling menembak--dengan pistol sungguhan--tentu membuat Ailee ngeri. Membayangkan salah satu di antara penembak itu mendobrak pintu, membuat Ailee terjingkat. Gelenyar dingin menjalari punggungnya Ia tak pernah menyangka akan berharap pintu itu terkunci rapat agar tidak ada salah satu dari tukang tembak itu masuk dan menghabisi nyawanya.
Tembakan-tembakan itu terdengar kurang dari satu menit, tapi terasa begitu lama. Ailee bisa mendengar deru napas seorang pria, langkah berderap ke arah pintu di depannya. Lalu sunyi sesaat. Yang terdengar hanya napasnya sendiri yang memburu. Ailee tak tahu bagaimana ia harus menenangkan napasnya sendiri. Tak bisa memikirkan apa pun, ia menyerah dalam diam, tenggelam akan pikiran-pikiran buruk yang berdatangan dalam kepalanya.
Detik berikutnya, engsel pintu kamar itu bergerak-gerak kasar. Ailee tersentak. Keraguan membuatnya tidak berani mengambil risiko untuk berteriak, dan tetap mengamati gerakan liar engsel pintu itu seperti tokoh malang di film horor yang siap-siap dibunuh. Lari, aku harus bersembunyi dalam kamar mandi. Oh, ide bagus. Dan terkunci dalam sana, lalu ketika ia menemukanku, habislah sudah.
“Nona! Ailee? Apa Anda di dalam?!” teriak sebuah suara. Suara pria yang secara mengejutkan tak asing di telinga Ailee.
“John? Apakah itu kau, John?”
Secercah harapan menyelimuti diri Ailee. John menjemputku kemari! Dia hebat. Ailee yang tadinya duduk terkulai beberapa inci dari pintu, kini berlari mendekat dan membantu John untuk membuka pintunya. Tentu itu sia-sia. Berapa kali pun dan sekeras apa pun ia mencoba membuka pintu itu, tak ada tanda mereka akan berhasil membukanya.
“Nona! Menjauhlah dari pintu!”
Ailee segera tahu John akan memakai cara kasar untuk mendobrak pintu itu. Terdengar bunyi tembakan sekali, dua, tiga kali. Ailee merasa ia takkan pernah merasa terbiasa mendengar suara tembakan. Lubang kunci yang tertembak itu terlihat retak dan sedikit berasap. Berikutnya debuman keras pintu sebanyak dua kali sampai pintu terbuka lebar.
“John!”
“Oh, syukurlah aku menemukanmu.”
John membuka pintu, matanya berbinar dalam kelegaan saat mendapati gadis di depannya baik-baik saja. Namun, kelegaan dengan cepat menguap dari diri Ailee saat melihat wajah John bersimbah darah. Sebelah tangan kirinya tidak ada, buntung. Oh, Tuhan! Lubang di bahunya menganga lebar.
Apakah itu ulah para kriminal itu?
Belum sempat Ailee meraih tangan kanan John yang masih utuh, Ailee menyadari ada seseorang yang berdiri di balik punggung John. Itu adalah Shin, pria Asia yang memiliki aura misterius, terlebih bersama pedangnya yang sedang beristirahat di pinggangnya. Kengerian membuat ujung jari Ailee dingin. Mata perak Shin terlihat kosong dan dingin seperti malam yang tenang di mimpi buruk. Pria itu dengan mudah menghunuskan katananya, lalu membelah punggung John di hadapan Ailee. Ia bisa mendengar besi tajam itu mengacaukan posisi tulang punggung John.
Adegan itu tak terlihat apa pun selain mimpi buruk yang tak berkesudahan. Setengah nyawa Ailee terasa lepas dari tubuhnya saat melihat mata John nanar, dan mendengar pekikan kesakitan lolos dari bibirnya, lalu suara tubuh John jatuh di atas lantai dan membeku di sana. Kakinya lemas, Ailee hampir terjatuh di atas lantai karena syok.
“Hhh ... kupikir ada apa,” ucap Shin dengan santainya, menatap dari atas pada tubuh tegap John ambruk ke lantai yang hitam itu dan tak bergerak di bawah sana. Mata perak itu naik dari jasad di bawahnya, menuju sosok gadis yang sedang membeku di tempatnya berdiri, “Maaf, kauharus melihat itu.”
Shin menyingkirkan mayat John dengan menyeretnya keluar dari ruangan dan menendangnya berguling ke samping. Sedangkan Ailee masih berdiri di tempatnya, membeku ketakutan. Kengerian membuatnya kehilangan daya untuk bereaksi. Bahkan ketika Shin berjalan mendekat.
Ailee memaksakan kakinya untuk bergerak mundur, menjauhi pembunuh berdarah dingin yang sedang mendekatinya itu. Tapi kedua kakinya terasa dingin dan lemas. Ailee menyerah pada hidupnya dalam ketakutan, membayangkan rasa sakit yang akan ia terima saat Shin sudah berdiri di hadapannya. Ailee menutup matanya.
“Cantik sekali,” bisik pria itu tepat di telinga kiri Ailee. “Kau beruntung, Ailee. Muramasa tidak menginginkan darahmu,” katanya sambil terkekeh kecil, dan mengusap percikan darah John di pipi si gadis. Sentuhan sedingin es itu membuat Ailee refleks menutup mata erat-erat. Tidak berani melihat hal kejam lain yang mungkin akan dilakukan Shin. Kemudian Ailee mendengar suara langkah pria itu menjauh. Pergi begitu saja meninggalkan Ailee di sana yang masih belum sembuh dari traumanya dan satu pertanyaan mengganjal.
Siapa itu Muramasa?
“Dia salah satu bodyguard-mu, ‘kan?” lanjut Shin saat ia melewati tubuh John yang tergeletak di antara kakinya.
Ailee membuka mata, berusaha tetap bernapas.
“Aku hafal yang satu ini. Ia menjaga pintu masukmu dengan sangat ketat, sangat merepotkan,” sambung Shin sambil melirik ke arah mayat John yang bergeming di lantai.
Ailee tak menjawab apa pun, tak bisa bergerak. Hanya memandang punggung pria itu dan berusaha untuk tidak menangis ketakutan dan menunjukkan kelemahannya di hadapan iblis berwajah elok ini.
“Matamu mengatakan segalanya, Ailee.” Shin melirik gadis itu dan tersenyum ringan, “Jangan takut. Tidak. Aku tidak akan membunuhmu. Sudah kubilang, Muramasa tidak menginginkanmu,” ucapnya, sambil mengusap ganggang pedang yang ia gunakan untuk membunuh John tadi.
Apakah … Muramasa adalah nama pedangnya?
“Tapi itu akan menjadi berbeda jika kau berpikir untuk kabur, mengerti?” Shin kemudian mengulurkan tangannya pada Ailee. Sekali lagi.
Tangan besar dengan bercak darah itu membuat Ailee menanyakan pertanyaan pentingnya. Lagi dan lagi. Apa yang pria ini inginkan darinya?
Ailee mundur selangkah, tak ingin tersentuh oleh tangan yang sama dengan yang yang merenggut nyawa seseorang dengan cara yang kejam itu. Secara mengejutkan, tak seperti sebelumnya; Shin menyerah degan mudah, kali ini pria itu menangkap lengan Ailee, menaiknya untuk mendekat dan meremasnya erat. Mata kelabu itu semakin indah saja, andai tubuh pria ini tak berbau anyir darah. Ailee berusaha keras tidak menangis saat melihat mata dingin itu menyiratkan banyak hal yang tak dapat diartikan dengan tepat oleh Ailee. Mata itu seakan sedang menginterogasinya. Menanyainya dengan banyak pertanyaan dan memberinya perintah.
“Jangan menyentuhnya ... Shin.”
Suara parau yang menakutkan itu kembali tertangkap indra pendengaran Ailee. Bulu romanya meremang seketika. Itu adalah si pria ketiga. Si penembak yang beberapa waktu lalu diamankan oleh Zac. Shin membalikkan badan hingga Ailee bisa dengan jelas melihat pria tinggi yang bertubuh tidak lebih besar dari Shin itu, mengacungkan pistolnya ke arah rekannya sendiri.
Oh, tidak dengan adegan tembak menembak lagi!
Shin tersenyum dan mengangkat kedua tangannya, melepaskan Ailee, menyerah dengan mudahnya. Ini sangat aneh, Ailee sangat tahu itu. Ailee sendiri sangat dikejutkan dengan kenyataan ada sedikit rasa sesal saat tangan Shin, tangan pembunuh yang tadi ia hindari, melepaskannya.
Bodoh! Kenapa aku ini?!
“Zac seharusnya menyembunyikan pistol-pistol itu darimu, Stoner Kecil.”
Jadi, pemuda itulah seseorang yang mereka sebut Stoner?
“Jangan ... kurung ... dia.”
Pria bernama Stoner Kecil itu kelihatan sulit untuk bicara, tapi ada pandangan aneh yang dengan lancar yang ia komunikasikan pada Ailee secara searah. Pandangan posesif yang tak wajar. Ailee tidak merasa asing dengan cara seseroang memandang padanya demikian, karena ia selalu melihat itu di mata Sebastian. Atau para penggemar fanatiknya. Sekali lagi, pandangan posesif, versi yang sangat tidak wajar, mengingat pandangan bersumber dari seseorang yang benar-benar asing.
Perangai pemuda itu, sekali lagi, benarlah sangat abnormal. Bibirnya sedikit menganga saat ia mendapati Ailee balas menatapnya. Detik berikutnya, dengan cepat, dia mengarahkan pandangan ke arah lain; tubuh John. Namun tak berselang lama, sesekali dengan ragu-ragu, pemuda itu berusaha kembali mencuri pandang ke arah Ailee, kemudian fokus ke arah tubuh John lagi. Lalu, pemuda itu menurunkan pistolnya.
“Shin ... buang ... itu.” Si Stoner Kecil menunjuk mayat John dengan pistol yang ia bawa
“Baiklah,” jawab Shin dengan sikap dan nada bicara yang menjadi jauh lebih santai. “Sepertinya Zac tertembak. Bisakah kau menjaga Ailee saat aku sibuk, Stoner?”
Ailee termenung sejenak. Ada sesuatu yang janggal dengan cara bicara Shin pada pemuda yang dipanggil Stoner itu. Shin bicara seperti ia sedang berhadapan dengan anak TK atau SD. Ailee pikir, nada bicara itu terdengar sangat tidak wajar, jika ditujukan pada pria yang terlihat beberapa tahun lebih tua darinya itu. Namun, seperti sama sekali tidak merasa aneh dengan perlakuan Shin padanya, si pria ketiga mengangguk lemah, lalu lagi-lagi mencoba melirik Ailee dengan mata hijau gelapnya. Mata yang seharusnya sangat indah.
“Berjanjilah padaku, kau tidak akan melubangi tubuh indah gadis ini dengen pistolmu. Deal?”
Oh, tidak, Ailee. Tidak boleh ada kupu-kupu di perutmu saat ada penculik kejam yang baru melakukan hal keji, memujimu. Bagaimana pun tampannya dia.
Pemuda itu lagi-lagi hanya mengangguk.
“Aku tidak mendengarmu,” ulang Shin sambil mengangkat sebelah alisnya.
“Deal ...” jawab si pria ketiga dengan suaranya sangat berat. Lebih menggemaskan dari sebelumnya.
Astaga, bukan menggemaskan, Ailee!
Oh, Tuhan! Apa yang terjadi padaku?!
DEMI TUHAN, dia menembakku dua kali tadi, dan aku hampir mati karena pistol yang sedang ia bawa itu!
Shin menoleh pada Ailee yang menggelengkan kepalanya dengan keras seperti gadis itu baru saja terbentur sesuatu.
“Kau baik-baik saja?”
“Setelah semua itu kau menanyai aku apa aku baik-baik saja? Jika itu bercandaan, aku tidak merasa ada yang lucu di sana.”
Shin, di luar perkiraan Ailee, tersenyum. Itu sama sekali tidak baik bagi kesehatan jantungnya.
Suara langkah menjauh, Ailee melihat pemuda kurus dengan pistol di tangannya itu kembali ke dalam kamarnya.
“Namanya Stoner. Dia tidak berbahaya. Tidak, asal kau tidak melakukan gerakan-gerakan tiba-tiba, tidak mengambil pistolnya atau melakukan hal bodoh lainnya. Kau mengerti?” Shin melanjutkan kata-katanya, bahkan sebelum Ailee mencerna apa yang barusan ia katakan. “Mintalah makan padanya, dia akan mengantarmu ke dapur. Atau apa pun yang kaubutuhkan selain usaha untuk keluar dari sini.”
Shin mengatakannya dengan lembut, seperti sedang berusaha menenangkan Ailee. Yang dilakukan pria itu hanya membuat Ailee semakin bingung saja. Ia menyuntikkan kengerian yang luar biasa padanya, kemudian menenangkannya dalam dingin dan tenangnya pandangan mata itu.
“Ka—kau mau ke mana?”
Ailee segera menutup mulutnya saat ia baru menyadari bahwa ia baru saja merengek pada pria asing itu. Ia bahkan hampir menampar pipinya sendiri dan berlari ke dalam kamar saking malunya atas perbuatan terbodoh dalam sejarah per-tawanan-an.
Shin melempar senyum pada Ailee, seakan ia selalu terhibur dengan reaksi Ailee yang manis meski gadis itu berusaha keras menangani rasa takut akan dirinya.
“Ruanganku. Kalau ada waktu, aku akan membawamu ke sana. Andai kau tidak terus menolakku.”
Shin mengakhiri percakapan itu dengan membopong tubuh John ke atas pundaknya dan berjalan menjauhi Ailee. Sedangkan Ailee masih berdiri di tempatnya, lalu baru menyadari di arah ke mana Shin pergi, Zac terbaring di sisi lorong. Remang di lorong itu membuat Ailee tak dapat melihatnya dengan jelas, tapi ia yakin, di kaki kanan Zac, Ailee bisa melihat darah.
“Zac? Apa kau mati?” tanya Shin, sembari menggoyangkan tubuh Zac dengan sebelah kaki..
“Sayangnya belum, Shin,” jawab si pria besar tanpa menggerakan tubuh. Bahkan ia tak membuka mata.
“Bagus, kutunggu di ruanganku. Aku harus mengeluarkan peluru-peluru itu dari tubuhmu.” Shin menegakkan badannya, dan membetulkan posisi John di pundak lalu berjalan menyusuri lorong gelap menuju sebuah pintu di ujung ruangan dan menghilang di baliknya.
Zac terbangun dengan menggeleng-gelengkan kepala. Saat pria itu bisa berdiri di atas kedua kakinya, ia mengatur napas. Ailee tak tahu apa yang harus ia lakukan saat melihat Zac seperti itu. Harusnya lari, tentu saja. Tapi Ailee tetap diam di sana, entah bagaimana ia tahu, lari saat ini tidak akan membawanya ke mana pun selain ke tempat yang sama karena sepertinya, Ailee punya firasat ketiga pria ini akan menemukannya dengan mudah.
“Kau tidak terluka, bukan?” Zac terengah saat bertanya pada Ailee.
Ailee tak menjawab, menatap ngeri pada luka tembakan yang ternyata bukan hanya ada di kaki kanan Zac, tapi juga di pundak kirinya.
“Oh, ini?” Zac menoleh pada lukanya saat mendapati Ailee sedang mengamatinya dari jauh dengan simpatik, “Sungguh baik kau mau mengkhawatirkanku, tapi percayalah, aku bisa selamat dari yang lebih parah dari ini.”
Ailee tak ingin membayangkan luka lainnya, tapi ia sedikit bersyukur bahwa tidak ada lagi korban. Bahkan jika itu adalah penculiknya. Karena meski mungkin mereka adalah kriminal, tidak berarti mereka bukan manusia juga yang masih bernapas, sama sepertinya.
“Oh, kau mengalahkan pria itu, Gadis Kecil?” tanya Zac saat melihat Shin menghilang di balik ruangannya.
“Aku bukan gadis kecil, dan aku tidak membunuh bodyguard-ku sendiri, Zac.” Ailee berusaha menjawabnya dengan nada kesal, tanpa rasa takut. Andai Zac tidak mendengar suaranya yang bergetar karena sisa kengerian tadi.
Zac memutuskan untuk tidak membuat gadis itu lebih kesal. Pria itu berjalan terhuyung-huyung meninggalkan Ailee sendirian setelah mengikuti ke mana perginya Shin.
Tunggu. Mereka menelantarkanku sekarang?
Ketika Ailee melepaskan pandangannya dari Zac, ia mulai berpikir untuk mencari jalan untuk keluar dari sana, menimbang risikonya. Namun, sebelum Ailee sempat menyapukan pandangan ke seluruh ruangan yang terlihat kosong dan gelap itu, matanya lagi-lagi bertatapan dengan mata hijau gelap milik Stoner. Kepala pemuda itu miring dengan posisi aneh.
“Kemarilah ...,” katanya tak jelas.
Ailee mengerutkan alis. Ia tidak perlu menuruti ucapan pemuda menakutkan itu. Ia tidak terikat dan tidak terkurung, jika beruntung, ia mungkin bisa lepas jika hanya menghadapi satu dari ketiga penculiknya. Pemuda itu, Stoner, tak terlihat lebih kuat dari Si Besar Zac atau lebih hebat dari Si Tampan Shin.
Baiklah!
Di detik yang sama seperti saat ia akan bergerak menjauhinya, seakan Stoner bisa membaca instruksi otak Ailee dengan tepat, dengan kecepatan yang sama, Stoner sudah mengacungkan pistolnya pada Ailee sekali lagi.
Bayangan beberapa waktu lalu saat pemuda ini menembak kasurnya, kembali terbayang. Ailee sontak menghentikan segala pergerakannya. Ia bahkan menahan napas.
“Kemarilah ...,” ulang Stoner sekali lagi dengan nada bicara yang sama persis dengan sebelumnya.
Ailee harusnya tahu, Stoner ini akan menjadi musuh yang tak kalah berbahayanya dari Zac atau Shin. Atau mungkin … jauh lebih berbahaya?[]