Sarah terbangun dari tidurnya saat subuh. Ia mendengar nada dering di ponsel Ailee, berteriak-teriak membangunkannya.
Di layar ponsel itu tertera nama Evans. Sarah yang masih baru saja bangun tidur belum sadar sepenuhnya, berteriak memanggil Ailee yang sepertinya sedang berada di kamar kecil.
“Ailee! Ailee! Si Tukang Selingkuh Tampan menghubungimu. Ailee! Astaga, kenapa ia tak menjawabku, sih?” dengan menggerutu dan mengumpulkan segenap kemampuan untuk bangun, Sarah mengambil ponsel milik sahabatnya itu.
“Halo?” dengan enggan Sarah mengangkat telepon itu.
“Pagi, Bidadariku. Hari ini ada waktu kosong? Aku sangat rindu padamu,” ucap pria di seberang telepon.
“Uhm, hell, yeah! Tidak ada waktu kosong untukmu, Brengsek.”
“Sarah? Kaukah itu? Sial, berikan teleponnya pada Ailee-ku.”
“Tidak, tidak! Ailee sedang bersedih karena kau. Ia ingin menyibukkan dirinya untuk melupakanmu, dan tidak ingin bicara padamu lagi untuk selama-lamanya.”
“Apa? Kenapa?” suara pria itu mulai panik.
“Tanyalah saja pada Tiffany!”
Sarah menutup telepon itu, dan membanting smartphone Ailee ke ranjang. Ia mengamati bantal Ailee yang masih rapi dan mengembuskan napas sedih. “Dia gadis yang berhati lembut. Ya Tuhan, kenapa kau mengujinya seperti ini?” menggelengkan kepala penuh keprihatinan, Sarah menatap sendu bantal itu kemudian menolehkan kepala dan berteriak dengan ekspresi wajah arogannya.
“Ailee! Ayo, keluar dari kamar mandi! Banyak yang harus kita bicarakan dan rencanakan! Kita harus membuat para bodyguard seksi itu bertelanjang d**a, dengan membawa mereka ke pantai.”
Sarah bangun dari ranjang lalu berderap menuju kamar mandi, mencari Ailee yang ternyata tak ia temui di sana. Ia keluar melewati pintu kaca menuju kolam renang, yang terbuka sedari tadi dan mencarinya. Ailee tak ada di sana juga. Rasa cemas mulai meliputi diri Sarah.
Ke mana perginya gadis itu?
Ia menyusuri jalan setapak di taman sebelah kolam renang pribadi Ailee menuju halaman depan rumah, tak menemukan apa pun di sana. Termasuk para bodyguard yang membuatnya merasa keren kemarin malam. Mereka tidak ada di mana pun, bahkan si seksi John juga.
Menghilang tanpa jejak. Ke mana perginya mereka semua?
Sarah berderap kembali masuk ke dalam rumah. Mengelilingi seluruh bagian rumah itu hingga ia melupakan apa yang sedang ia cari saking besar rumahnya rumah Ailee. Di garasi, mobil Ailee masih di sana. Kunci mobilnya pun tetap berada di tempatnya, duduk dengan manis tak bergerak. Sarah berusaha dengan keras mencari Sang Pemilik Rumah dari dalam lemari hingga kolong kasur. Mendongakkan kepala dan mengamati sudut-sudut rumah lekat-lekat. Barang kali Sebastian, Ayah Ailee, datang dan menarik kembali pasukan seksinya dari beserta CCTV dari rumah ini dan membawa Ailee ke suatu tempat. Tapi CCTV masih di tempatnya. Tidak ada tanda-tanda benda itu dirusak atau sebagainya.
Dan Ailee bukan tioe orang yang tidak bertanggung jawab, dengan tidak memberitahukan apa pun ke manajernya saat ia harus menghilang ke suatu tempat. Dia bahkan tidak membawa ponselnya. Bagaimana mungkin Ailee pergi tanpa membawa benda paling penting di muka bumi versinya itu?
Sarah memutuskan untuk memeriksa apa dugaannya benar. Ia bahkan mengambil tangga untuk memanjat ke arah beberapa CCTV yang menempel di ujung ruangan, mencari-cari bekas kerusakan di CCTV yang ia temukan di rumah itu. Kamera rahasia itu masih ada, utuh di tempatnya, meski Sarah tidak bisa menemukan semuanya. Tapi, dugaannya benar. Tidak ada tanda-tanda seseorang berusaha merusak benda itu.
Lalu ke mana mereka semua pergi? Di mana Ailee? Sejak kapan ia bangun dan meninggalkannya begitu saja?
Nada dering di ponsel Ailee kembali terdengar, Sarah dengan cemas, setengah bahagia dihujani dengan harapan, berlari kembali ke arah kamar, dan mengangkat telepon yang tak lain adalah panggilan dari Sebastian.
“Ailee? Kaukah itu? Halo?”
Rasa takut dan khawatir semakin menghantui pikiran Sarah, saat Sebastian menanyakan keberadaan Ailee, alih-alih memberitahunya di mana Ailee berada sekarang.
“Maaf, Tuan. Ailee sedang ... tidak ada ....” jawab Sarah ragu.
“Sarah? Apa kau sudah mencarinya?”
“Seluruh rumah kosong. Bahkan John dan bodyguard lain pun tak ada. Mobilnya juga masih di garasi, sama sekali belum dipakai sejak kemarin.”
Sunyi sesaat. “Batalkan semua jadwal Ailee, Sarah. Bilang ia sedang sakit dan harus rehab.”
“Tuan, tolong katakan di mana Ailee. Apa dia bersama Anda?”
Lagi-lagi sunyi. Baru kali itu, Sarah ingin menonjok pria yang biasanya ia hormati itu.
“Tolong urus pekerjaan Ailee untuk sementara ini, Sarah. Aku hanya bisa memercayakan ini padamu. Dan jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja.” Sebastian menutup teleponnya dan membiarkan Sarah tenggelam dalam rasa khawatirnya sendiri.
Belum selesai Sarah menguasai dirinya dari rasa takut dan khawatir, terdengar derap langkah kaki dari luar kamar. Sarah panik, ia ingat ia tak mengunci pintu depan rumah karena terburu-buru mengangkat telepon Ayah Ailee.
Sarah berjingkat dari tempatnya duduk di ranjang. Ia mengambil laptop milik Ailee, benda terdekat yang bisa jadi senjatanya, lalu bersembunyi di samping pintu kamar yang terbuka. Ia bermaksud akan segera melarikan diri keluar saat penyusup itu sedang kesakitan karena hantaman kotak besi yang ia bawa.
Sesosok pria tinggi tegap memakai kemeja putih masuk perlahan melewati pintu. Kesempatan yang takkan dilewatkan Sarah. Ia memukulkan benda besi keras yang ia bawa, tepat ke wajah si pria. Segera pria itu memegangi wajahnya yang dikira Sarah sudah hancur, karena hantamannya dengan kekuatan penuh yang baru ia ayunkan.
Pria malang itu mundur teratur, sambil memegangi wajahnya. Rambut cokelat keemasannya yang dipotong pompadour rapi itu kini menunduk berantakan, dengan eragan-erangan kesakitan sambil sesekali bersumpah serapah. Saat itu segera Sarah keluar kamar, dan bermaksud kabur sambil menelepon polisi.
“Sial!” umpat pria itu.
Sarah menghentikan langkahnya segera. “Evans?”
“Kau memukul dengan laptop milik Ailee?!” Pria tampan berkulit putih dan bermata biru cerah itu, menutupi hidungnya yang sepertinya meneteskan darah. “Kau tak tahu, berapa banyak dokumen penting Ailee yang belum dijamah di sana? Kau sudah gila?”
“Aku tak tahu itu kau, Evans!”
“Setidaknya pakai senjata yang lebih baik, jangan merusak barang punya orang lain.”
“Baiklah, kembalilah mengendap-endap dan kuyakinkan kau, aku akan membawa pisau untukmu,” balas Sarah dengan juteknya.
Evans menggeleng-gelengkan kepala lalu berjalan ke dapur, mengambil tissue dan menyumbat darah di hidungnya. “Apa yang terjadi padamu? Aku tidak mengendap-endap, aku langsung masuk karena pintu depan tidak terkunci. Kenapa itu tidak terkunci? Bagaimana kalau fans gila Ailee kemari untuk menculiknya?”
Mata Sarah terbuka lebar, setelah mendengar ocehan Evans yang sibuk membersihkan darah dari tangan dan wajah tampannya di sink.
“Bagaimana kalau itu yang sebenarnya terjadi?” gumam Sarah.
“Ha? Apa?”
“Tidak, Evans. Bukan apa-apa. Kau pulanglah.”
“Tidak sebelum aku bertemu dengan Ailee. Di mana dia?”
“Dia sedang ... di ... studio musik. Dia tidak pulang dan tidak menginap di sana.”
“Aku sudah menghubungi Theodore, kemarin malam bahkan ia tak mengunjungi studionya. Berhenti berbohong dan katakan saja. Di mana dia, Sarah?” kini pandangan mata Evans mengarah pada Sarah dengan serius.
“Apa pedulimu?! Kau mengkhianatinya!”
“Hah? Apa yang kaubicarakan?”
“Aku tahu kemarin malam kau tidur bersama Tiffany, kan? Kau mengkhianati Ailee kami yang polos dan tulus mencintaimu, b******k. Sekarang pergilah ke neraka bersama Si b****g Implan itu!” Sarah mendorong punggung Evans ke arah pintu keluar.
Evans mengelak, “Aku tidak mengkhianatinya. Mana mungkin aku begitu, Sarah?! Bukannya kau sangat mendukung hubungan kami?”
“Ya, sampai aku punya video yang merekam kau membawa pulang Tiffany ke apartemenmu. Pria murahan!”
“Tunggu! Itu bisa kujelaskan! Kau tidak mengatakannya pada Ailee, bukan?!” Evans membalikkan badannya menghadap Sarah, yang masih berusaha mendorongnya keluar rumah.
“Tentu saja sudah kukatakan. Dia bahkan tidak melabrakmu, atau memarahimu tentang itu. Dia menunggumu menjelaskannya sendiri, bahkan ia melindungimu dari kehilangan wajah tampanmu karena dipukuli bodyguard ayahnya! Dasar tidak tahu diuntung!”
Sarah terus mencibir Evans yang terdiam, mencerna apa yang dikatakan oleh gadis bertubuh tambun itu. Beberapa detik kemudian, wajahnya menyiratkan kesungguhan dan menghentikan kedua tangan Sarah yang mendorong perutnya mundur.
“Baiklah, katakan di mana Ailee sekarang.”
“Untuk apa? Kau sudah—!”
“Aku serius!” Evans membentak Sarah. Sepertinya Sarah melihat kesungguhan di matanya, ia tak bisa membalas kesungguhan mata itu dan menyerah untuk berbohong.
“Ini rahasia, jangan beritahu pada siapa pun.”
“Aku tidak bisa janji.”
“Kalau begitu pembicaraan kita sele—”
“Baiklah, katakan di mana gadisku?”
“Jadi, semalam kami tidur bersama. Membicarakan bodyguard baru yang dikirim ayahnya Ailee kemari untuk menjaganya. Mereka seksi dan—”
“Sialan, Sarah. Langsung ke intinya saja, tolong.”
“Saat aku bangun, Ailee dan para bodyguard itu sudah tidak ada di mana pun. Tanpa meninggalkan jejak. Kupikir Ailee dijemput mendadak oleh Sebastian, ayahnya. Namun, beberapa saat lalu, ayahnya menelepon ponsel Ailee yang tertinggal di atas nakas. Sepertinya ia tak tahu di mana Ailee berada, dan memintaku untuk merahasiakan ini.”[]