Van Der Lyn Mansion’s
23 Desember 2016
09.11 PM
____________
“Mom, kata coach Brian, awal tahun depan kami harus karantina. Pertandingan akan digelar awal bulan Maret. Kemungkinan bulan Januari kami harus sudah masuk ke basecamp,” ucap seorang pria muda bermata hazel.
Sambil memainkan rubrik di tangannya, ia memandang sang ibu yang sedari tadi mondar-mandir di depannya. Pria itu mulai bosan. Sepuluh kali menyelesaikan permainan dan sampai saat itu juga, ibunya masih tak memperhatikannya.
“Mommy dengar aku, kan?” tanya pria itu.
Elena bergeming. Wanita yang tengah memeluk tubuhnya itu berbalik. Ia mengulum bibir membentuk senyum simpul. Elena berjalan menghampiri putra bungsunya itu.
Sudah dua jam mereka berada di depan perapian. Salju turun tanpa henti. Angin yang berembus sedikit kencang seakan mengirimkan sesuatu yang langsung membuat Elena merasa begitu cemas. Sedari tadi ia mondar-mandir di depan jendela kaca.
“Elena!” seru Lucas. Adik ipar Elena itu baru turun dari lantai dua.
Elena menunda langkahnya yang hampir tiba di depan putranya. Wanita itu langsung berbalik dan menghampiri Lucas. Sementara di tempat duduknya, Lenox mendengkus. Pria itu sedikit kesal. Sudah seharian ini dia mencari waktu untuk berbicara dengan ibunya, tapi ibunya tak kunjung memperhatikannya.
Setelah menghias pohon natal, Lenox pun memilih untuk beristirahat di ruang keluarga. Ibunya ada di sana dan waktunya begitu pas. Sebentar lagi dia akan mengikuti pertandingan baseball tingkat nasional yang diadakan antar sekolah di New York, dan Lenox tak ingin ketinggalan.
Fredrick ayah Lenox sudah berjanji, jika besok dia akan membawakan tongkat baseball yang baru agar putranya itu bisa berlatih dengan baik.
“Mom ….” Lenox memanggil ibunya dengan sedikit menaikkan nadanya.
“Sebentar, Sayang.” Elena tetap menyahut dengan lembut
Ketika kakinya hampir berada tepat di depan Lucas, Elena lalu menoleh ke belakang. Memberikan atensinya kepada sang putra.
“Ada yang harus Ibu tanyakan pada Paman. Kau pergilah ke ruang makan. Bibi Marry membuat coklat hangat untukmu. Ibu akan ke sana setelah bicara dengan Paman,” ujar Elena. Ia mengedipkan mata, sekadar untuk membujuk putranya itu.
Lenox mendengkus. Ia bangkit dari tempat duduknya. Pria itu mengambil kamera yang ia titipkan di atas meja.
“Willow, come here.” Lenox memanggil anjing kesayangannya. Satu-satunya teman bermain saat tak ada yang memperhatikan dia. Dengan wajah masam, Lenox mulai mengambil gambar Willow.
“Bibi!” teriak Lenox.
“Lenox, jangan berteriak, Sayang.”
Bukannya mendengar, Lenox malah menambah volume suaranya. Ia kembali berteriak, “BIBI ….”
Elena mendengkus sambil menggelengkan kepalanya. Beginilah putranya. Dia sudah biasa dimanja sejak kecil. Lenox menjadi kesayangan kakak-kakaknya dan juga ayahnya. Mereka tak pernah memarahi pria itu. Hanya saja, kadang kala Elena yang memarahi pria muda itu. Elena tak ingin membela putranya jika dia terbukti salah. Namun, hari ini Elena juga harus memaklumi Lenox. Ia paham jika putranya butuh perhatiannya, tapi pikiran Elena tak bisa tenang sedari tadi.
Setelah mengembuskan napas panjang, Elena kembali membawa atensinya pada Lucas. Tampak pria itu sedikit cemas.
“Sepertinya Angelie dan Cana akan merayakan Natal di Denmark,” ucap Lucas membuka percakapan.
Elena mengangguk. “Lalu, bagaimana dengan Fredrick, kapan dia akan datang?” tanya Elena penasaran.
Lucas menghela napas lalu membuangnya dengan cepat. Pria itu berdecak membuat Elena makin khawatir. Terlebih, ketika adik iparnya itu hanya menunduk dan sekarang menggelengkan kepala, semua itu membuat Elena makin khawatir.
“Apa semua ini berhubungan dengan sindikat itu lagi?” tanya Elena sinis.
Lucas tidak menjawab dan lebih memilih untuk makin menundukkan kepalanya. Elena mendesah kesal lalu melayangkan kedua tangan ke udara.
“Sebentar lagi malam Natal dan tak ada satu pun dari keluarga kita yang berkumpul. Letty juga tidak bisa dihubungi. Hatiku gelisah. Aku berharap firasatku salah, tapi sepertinya ada yang tidak beres. Tidak biasanya Letty tidak berkunjung apalagi di hari Natal.” Elena menggelengkan kepalanya. “Lalu Leonard, di mana dia? Apakah tak akan ada yang datang?” Elena berdecak kesal. “Bahkan suamiku hanya mementingkan sindikatnya dibandingkan keluarganya sendiri. Ini malam natal, Luke!” Elena melayangkan kedua tangannya ke udara sembari memutar bola mata malas.
Lucas menghela napas sambil memandang kakak iparnya. ‘Kau tidak tahu jika suamimu sedang berjuang, Elena. Kau juga tidak tahu seberapa cemasnya aku sekarang. Bisakah kau berdoa untuk keselamatan suamimu?’ batin Lucas.
“TUAN!”
BOOM
Elena dan Lucas tersentak saat mendengar suara ledakan. Belum sempat otak mereka memikirkan apa yang barusan terjadi, ledakan kedua kembali terdengar. Refleks, Elena dan Lucas menutup telinga dengan kedua tangan.
Alam bawah sadar Elena langsung memberitahu sesuatu membuat tubuh wanita itu berputar.
“MOMMY!” Lenox berseru dari dining room.
“Lenox.” Elena menahan pening yang tiba-tiba menyambar telinganya. Ia mengerjap berulang kali untuk mengumpulkan kesadaran.
“MOMMY!”
Elena bisa melihat langkah kaki putranya yang berlari sambil memeluk kamera. Anjing kesayangan Lenox ikut menemani pria itu. Elena membuka kedua tangannya.
“Mommy.”
“Lenox.” Elena memeluk Lenox dengan erat.
“Nyona,” panggil Marry. Seluruh pegawai rumah ikut panik dan hal pertama yang terpikirkan oleh Marry adalah keselamatan majikannya. Marry terlihat panik.
Elena memaksa otaknya untuk bekerja. Tubuhnya harus kuat. Alam bawah sadarnya sudah mengirim alarm bahaya. Sambil menarik napas, Elena mencoba untuk memikirkan sesuatu.
“Ayo,” kata Elena. Sambil memegang tangan Lenox dengan erat, Elena berlari mencari tempat untuk menyelamatkan diri mereka.
Sementara itu di beranda mansion, telah terjadi kekacauan hebat yang memaksa Lucas untuk keluar.
Di luar bangunan mansion, tampak seluruh anak buah sedang berbaris membuat tameng. Seorang dalam balutan setelan jas hitam datang menghampiri Lucas.
“Tuan, Anda harus segera pergi dari sini. Tempat ini sudah dikepung.”
“Apa?!” pekik Lucas. Pria itu berdecak kesal. “Sial!” umpatnya.
“Tak ada waktu lagi,” kata anak buah Lucas.
Pria Van Der Lyn itu mendengkus. Ia kembali berlari ke dalam mansion untuk menjemput Elena dan Lenox. Namun, ketika pria itu baru melangkahkan kakinya, tembakan beruntun pun datang dari berbagai arah.
Suara dari kaca yang pecah dan porak-poranda pun menggema. Dalam perpindahan detik selanjutnya, beberapa orang berpakaian serba hitam masuk dari berbagai arah. Mereka memecahkan jendela kaca, loteng dan bahkan melempar bom untuk meruntuhkan bagian belakang mansion.
Dalam satu detik, suasana yang sebelumnya begitu sunyi berubah menjadi kacau. Lucas dan seluruh anak buahnya panik. Mereka ingin bergerak, tetapi telinga mereka pening. Ledakan barusan memberikan efek samping pada rungu dan penglihatan mereka.
“Sial!” umpat Lucas. Suaranya menggema. Pria itu terduduk dengan lutut sebagai tumpuannya. Ia mengerjap berulang kali, berusaha menghilangkan pening yang menggema di dalam kepalanya.
“Put your hands up,” ucap suara bass berat di belakang tubuh Lucas.
Wajah Lucas bergetar, tapi ia tetap berusaha untuk mendongakkan kepalanya. Tepat saat itu juga, sebuah benda yang begitu familiar di matanya melekat di dahinya.
“Put your hands up!” kecam pria yang sedang menodongkan mulut senapan di dahi Lucas.
Lucas menghela napas. Wajahnya berubah merah padam. Tak ada pilihan lain. Ia telah tersudut.
DOR
“HEI!”
Secara spontan Lucas bangkit dari lantai. Ia menunjuk seorang pria yang baru saja melepaskan tima panas dan langsung membunuh salah seorang anak buahnya. Lucas geram. Rahangnya mengencang bersamaan dengan tangan kanannya yang mengepal dengan kuat. Sementara telunjuk tangan kirinya bergetar menunjuk punggung seseorang di depannya. Punggung pria di depan Lucas mulai bergerak. Lucas bisa melihat sudut mata pria itu yang seperti berkilat melemparkan nyala api.
Kelopak mata Lucas mengecil ketika visual di depannya makin jelas terlihat. Lucas masih mematri tatapan. Napas pria itu bergemuruh di d**a. Sementara alam bawah sadarnya masih mengutuk ketidakberdayaannya.
Ketika tubuh pria di depannya telah berputar, bersamaan dengan itu, tangannya terangkat dan dalam hitungan detik, pria itu kembali melepaskan tembakan.
“Argh!” Lucas meringis. Ia kembali terjatuh dengan kedua lutut yang menabrak lantai dengan kasar. Pria itu memegang kaki kirinya lalu ia mendongakan wajahnya. Pemandangan pertama yang dilihat oleh Lucas adalah seringain.
“Pecundang McLean,” gumam Lucas.
Seorang pria bertubuh kekar dengan pakaian tentara berdiri tepat di depan lucas. Langkah kaki yang berbalut sepatu boots itu mendekat ke arah Lucas. Ia menunduk lalu meraih rambut Lucas.
“Kau bilang apa?” tanya pria itu dengan suara pelan, nyaris berbisik.
“Pecundang McLean,” ucap Lucas lagi. Wajahnya makin kuat bergetar.
BUK
Wajah Lucas terlempar saat pria itu mengayunkan tangan yang memegang pistol ke wajah Lucas.
“Cuh!” Lucas membuang cairan kental merah dari dalam mulutnya. Ia kembali memandang pria di depannya dengan tatapan penuh kebencian.
“Hah!” Pria di depan Lucas terkekeh. Ia menelengkan wajahnya ke samping kemudian menggeleng. “Padahal aku datang dengan segala persiapan, tapi … apa yang aku dapatkan, hah?” tanya pria itu. Dia kembali mengayunkan tangan lantas mengempaskan kepala Lucas bagai melempar tongkat golf.
Sudut bibir Lucas terangkat membentuk senyum iblis. Ia kembali mendongakkan kepalanya.
“Benedict McLean, sebegitu pengecutkah dirimu hingga kau tidak berani menghadapi kami tanpa bantuan pasukan pengecutmu?”
PLAK
Lucas kembali menerima tamparan dari pria di depannya. Tak mau tinggal diam, pria itu langusng menarik rambut Lucas lalu mendorong kepala Lucas.
Benedict membanting kepala Lucas. Membenturkan wajah pria itu ke lantai berulang kali. Darah mengucur dari hidung dan mulut Lucas, tapi pria itu tetap tertawa. Benedict mengempaskan kepala Lucas membuat pria itu ambruk.
“Hahh ….” Benedict berdiri lalu mengibaskan kedua tangannya. “Kau bukan tandinganku,” kata pria itu. Dia meludahi wajah Lucas. Benedict mengangkat pandangannya lalu pria itu mengedikkan kepala. “Bungkus dia.”
Lucas benar-benar tidak berdaya. Kesadarannya mulai tenggelam. Hal terakhir yang dilihatnya adalah sebuah kain berwarna hitam yang kemudian dipasangkan di kepalanya. Penglihatannya gelap bersamaan dengan kesadarannya yang tenggelam.
Sementara itu, Benedict McLean melanjutkan perjalanannya. Langkah kakinya kini sedang menaiki anak tangga menuju lantai dua. Lantas, seorang pria bertubuh kekar mengedikkan kepalanya menunjuk sebuah pintu yang tertutup rapat.
Benedict memberikan gesture yang langsung membuat pria di depannya mendobrak pintu tersebut dengan kakinya.
Suara pintu yang menabrak dinding menggema. Dua orang yang sedang bersembunyi di dalam lemari tampak begitu ketakutan.
“Ayo … tunjukan dirimu anak manis,” ucap Benedict.
“Pssst!”
Benedict menoleh ke samping. Ia mengerutkan kening saat pria di sampingnya mengedikkan kepala menunjuk lemari pakaian berukuran besar. Benedict menyeringai.
Sementara di dalam lemari itu, Elena dan Lenox saling berpelukan. Mereka memejamkan mata sambil mengulum bibir rapat-rapat. Bahkan Elena sampai membungkam mulut Lenox sambil menahan napasnya sendiri berharap agar mereka tak bisa mendengar napas keduanya.
BRAK
Namun, semua itu sia-sia saat salah seorang dari mereka membuka pintu tersebut.
“Gotcha!”
Elena mendongak. Dia menggelengkan kepalanya. “Kumohon, jangan sakiti kami,” kata Elena dengan wajah memelas.
Benedict menyeringai. “Andricko,” panggilnya. Pria bertubuh kekar yang sejak tadi bersama Benedict lalu mendekat.
Tanpa aba-aba lagi, dia langsung menarik rambut Elena. Wanita itu meringis kesakitan.
“MOMMY!” teriak Lenox.
“LARI!” teriak Elena dengan mata nyalang.
“No!” Lenox menggeleng. Dia menatap Benedict lalu tangannya dengan cepat meraih tongkat baseball yang berada di dalam lemari. Tanpa berpikir lagi, Lenox langsung mengarahkan tongkat besi itu pada Benedict, akan tetapi dengan mudahnya pria itu menangkis pukulan Lenox.
“Argh!” Lenox meringis saat Benedict menarik rambutnya dan menyeret pria itu keluar.
“JANGAN SAKITI DIA, b******k!” Elena berteriak. Ia bangkit, tapi langkahnya terhenti saat Andricko kembali menarik rambutnya. Pria itu mengayunkan tangannya.
PLAK
“MOM!” Lenox berteriak dengan mata nyalang. “JANGAN SAKITI IBUKU!” teriak Lenox.
PLAK
“HEI!” Kali ini giliran Elena yang berteriak saat melihat Benedict menampar putranya. Elena tidak perduli dengan rambutnya. Dia langsung bangkit dan beralih menampar Benedict.
PLAK
Wajah Benedict terlempar.
“Jangan pernah sakiti putraku,” ucap Elena dengan bibir bergetar.
“Mommy.”
Elena menunduk. Ia langsung menangkupkan wajah Lenox dengan kedua tangannya. Elena menangis saat melihat pipi Lenox yang merah. Seumur hidup Lenox tak pernah ditampar. Dia bahkan tidak pernah digigit semut. Elena memang tegas, tapi dia tak pernah memukul anak-anaknya.
Benedict terkekeh sinis. Ia memegang pipinya yang merah. Merasa harga dirinya telah dilucuti, ia langsung mengambil tongkat golf milik Lenox lalu mengayunkan tangannya.
BUK
“MOMMY!” teriak Lenox. Bola mata Lenox membesar. Dilihatnya mulut Elena terbuka. Tangan Elena terangkat hendak meraih kepalanya. Namun, belum sempat tangannya menyentuh kepala, tubuh Elena langsung ambruk.
“Mommy, bangun Mommy!” Lenox menggoyangkan tubuh ibunya. Sambil berderai air mata, pria itu memanggil-manggil nama ibunya. “Mommy, please ….”
Benedict menoleh pada Andricko. Mereka menyeringai.
“Hubungi yang lain,” titah Benedict. Pria di sampingnya mengangguk. Dia menekan earpiece di telingannya.
“Kirim orang ke lantai dua sekarang,” ucap Andricko.
“Mommy … Mommy, bangun. Aku takut, Mommy,” lirih Lenox. Dia terus menangis. Pria itu sangat ketakutan dan berharap akan ada orang yang akan menolong mereka.
Tak berselang lama dua orang pria berpakaian serba hitam datang ke lantai dua. Mereka langsung menyergap Lenox dan juga Elena.
“LEPASKAN AKU!” teriak Lenox. Pria itu menggeliat. Namun, usahanya untuk bisa lepas dari pria-pria itu sia-sia saat seorang pria membungkam mulut Lenox dengan sapu tangan yang sudah diteteskan cairan kloroform. Seketika pria itu pingsan.
Setelah melukai Elena dan Lenox, Benedict dan Andricko pun keluar dari kamar pribadi Elena.
“Masukkan dia,” titah Benedict. “Marry J akan menjemput kalian di Pelabuhan.”
“Lalu bagimana dengan pria ini?” tanya Andricko sambil memandang Lucas yang sudah tidak berdaya.
“Kita serahkan dia pada Dante. Dia sudah lama mengejar pria ini,” ucap Benedict.
“Baiklah. Kalau begitu negosiasi kita berakhir di sini. Kuharap kita tak akan pernah bertemu lagi,” ucap Andricko.
Benedict mengangguk. “Hem. Jangan lupa untuk membersihkan jejaknya. Aku tak ingin ada kesalahan sedikit pun,” kata Benedict.
Andricko mengangguk. Dia menjulurkan tangan hendak menjabat tangan Benedict sebagai tanda kesepakatan telah berakhir dan sekaligus tanda perpisahan.
“Baiklah. Marry J, kapal Texas. Negosiasi berakhir. Ci vediamo.”
Dengan mengucapkan kalimat tersebut, dua orang itu lalu meninggalkan kediaman Van Der Lyn bersama anggota keluarga mereka yang berhasil diculik.