Aldebaran …,” Jingga menengadah, memecah bening yang ingin keluar dari dalam netranya.
"Mama ... hanya merasa bersalah karena sudah membuatmu hidup begini." Akhirnya menangis juga, bahu gemetar, kedua lutut menyentuh tanah. Menatap mata putranya yang turut sedih.
Sangat sedih, hatinya hancur berantakan.
Perih luka di seluruh tubuhnya tidak sebanding dengan luka hatinya.
Ia merasa tidak pantas menjadi seorang Ibu. Membiarkan putranya terlantar di taman ini. Terkena sinar matahari,haus, lapar seperti anak jalanan. Jingga gagal memberi yang terbaik untuknya.
Anak ini, sangat tampan juga pintar. Sama sekali tidak cocok menjadi putra dari seorang Ibu bodoh sepertinya.
Anak ini harusnya terlahir dari rahim seorang wanita kaya. Bukan dirinya, miskin dan tidak berpendidikan. Tak satupun dari dirinya yang dapat di banggakan.
Andai saja anak ini bisa memilih terlahir dari rahim perempuan lain yang mampu memberikan kehidupan layak. Andai saja.
"Jangan berbohong, aku melihat pria jahat itu tadi masuk ke sana." Tangan kecil, menyentuh luka di sudut bibir sang Ibu. Sangat pelan dan lembut.
Jemari putranya seperti obat. Rasa perih seketika lenyap.
Namun hatinya sangat sakit seperti diremas lalu dicabut dari tempatnya. Melihat putranya menjalani hidup menderita karenanya.
Aldebaran tahu sejak Amos masuk dan keluar di seret dua pria. Pria kecil ini bersembunyi ketakutan.
"Mama tidak apa-apa, sayang. Jangan khawatirkan apapun.”Jingga mengusap kepala Aldebaran lalu tersenyum manis. Menyerahkan kotak nasi, Ayam crispy bagian d**a menarik perhatian Aldebaran.
“Sekarang, Al harus makan. Isi perut sampai membesar,” ujar Jingga dibarengi kekehan, tangannya menggelitik perut putranya. Aldebaran terkikih.
"Apa mama sudah makan?” Tanya Aldebaran setelah menghentikan tawa-tawa mereka. Jingga mengangguk, mengambil daging lalu menyuapi putranya. Aldebaran melahapnya, tampak wajah pria kecil riang. Sangat jarang memakan makanan seperti ini.
......
"Ibu Jingga, maafkan saya. Sebenarnya saya sudah berusaha menjelaskan pada pimpinan atas kejadian tadi. Tapi, beliau merasa tidak nyaman memperkerjakan Ibu lagi. Beliau merasa jika Anda terus bekerja di sini, suami anda akan kembali membuat masalah. Tapi beliau memberi gaji full walaupun Ibu baru bekerja tiga hari ini.” tutur Leo, sebagai manajer di restoran itu. Ia menyerahkan amplop berisi uang untuk Jingga.
Jingga menekan gigi kua-kuat pada bibir bawah, ia sudah menduga hal ini terjadi.
“Saya minta maaf atas kejadian tadi pak, sungguh itu diluar dugaan saya. Restoran ini tidak perlu membayarku full.” Jingga mendorong kembali amplop ke hadapan Leo.
“Ibu Jingga, tolong di terima, ini sudah menjadi kesepakatan dari Restoran ini.” Leo memberikan kembali amplop itu pada Jingga.
“Terima kasih, Pak.”
“Sama-sama.”
Jingga keluar dari ruang Manajer, dengan wajah sedih. Bukan salah pemilik Restoran memecatnya.
"Bagaimana, Nak?" Rima bertanya yang masih menunggunya di balik pintu. Jam kerja mereka sudah habis.
"Di keluarkan," Rima menghela napas berat, turut sedih dengan apa yang dirasakan Jingga.
“Lalu bagaimana dengan kalian? Kembali ke rumah suamimu?”
Jingga menggeleng, ia menutup wajah dengan kedua tangan. Menahan bulir yang siap tumpah.
“Sudah, sudah, jangan menangis.” Rima memeluk Jingga.
“Ibu, kenapa hidup begitu susah?” Tanya Jingga, suaranya bergetar.
“Jangan mengeluh sayang, kau harus kuat.” Rima mengusap punggung Jingga lembut.
“Ini sangat sakit, Ibu. Aku tidak tahu kenapa, nasib buruk selalu setia bersamaku.” Jingga masih dalam pelukan Rima. Melegakan dadanya yang sesak dengan cara menangis.
“Sudah sayang, semua orang pernah mengalami hidup susah. Banyakin berdoa dan menyerahkan segala perkaramu pada Tuhan.” Jingga menarik dirinya dari pelukan Rima. Mengusap wajah yang sembab, menarik nafas panjang.
"Untuk sementara tinggalkan bersamaku," Rima menyentuh lengan Jingga,tiba-tiba Jingga meringis kesakitan.
“Ada apa?" Tanya Rima panik.
"Tanganku sakit Ibu," Menahan rasa sakit, Rima memapah, mendudukkannya di bangku. Mengangkat lengan kemeja Jingga.
"Astaga Tuhanku ...." Rima terkejut, lengan yang dibalut dengan kasa berdarah.
"Kau harus ke rumah sakit," Rima membantunya kembali bangun dan memapahnya keluar Restoran. Pria kecil sudah menunggu di pintu keluar dengan tas jinjing yang dititipkan Ibunya padanya.
Berlari cepat, menjatuhkan tas saat melihat Ibunya tidak berdaya.
"Mama ...." khawatir bercampur takut.
"Tidak apa-apa sayang, kita ke rumah sakit." Rima mendudukkan Jingga di bangku.
"Klinik Ibu dan Anak," Lirih Jingga, menahan sakit.
"Sebentar." Rima berlari kecil ke security.
“Pak tolong pesan taksi online tujuan klinik Ibu dan Anak.” ujar Rima tampak buru-buru pada Security.
Security melihat ke arah Jingga yang ditemani putranya. Lalu memesan taksi online.
“Ditunggu saja, lokasi taksinya tidak jauh dari sini.” kata Security.
“Terima kasih, pak.” ucap Rima kemudian menghampiri Jingga.
sepuluh menit mobil berwarna hitam datang, berhenti tepat di hadapan mereka.
Rima membantu Jingga masuk dan di ikuti Aldebaran dengan tas di tangan.
Mobil melaju meninggalkan area parkiran. Pria tambun melihat dari jarak jauh. Tersenyum kecut, lalu mengikuti dengan motor butut. Ia sudah menunggu Jingga sadari tadi di pintu masuk parkir.
Mobil berhenti di depan klinik, Rima membayar. Mereka keluar dan masuk ke dalam klinik.
Hagena melihat saat berdiri di bagian informasi.
"Bawa ke ruangan saya," perintah Jingga pada perawat yang ada di dekatnya, ia sendiri berjalan mengikuti dari belakang. Tiba-tiba Jingga pingsan.
Rima panik, menopang tubuh kurus. Pria kecil menangis memeluk tas berisi pakaian.
Perawat , memanggil security yang berjaga di pintu masuk untuk membantu mengangkat tubuh Jingga duduk di kursi roda.
“Mama ….” Aldebaran terisak, memeluk tas kecil dan tetap berada di belakang Rima. Setelah Jingga di bawah ke ruang Hagena. Jingga dibaringkan ke bangsal dan dilakukan pemeriksaan.
.....
Elesh Altair, mengemudikan mobilnya ke Restoran AG. Sejak semalam, sejak kembali dari Restoran AG. Elesh kepikiran terus mengenai wanita yang sekelebat memberi bayangan Jingga padanya.
Masuk ke Restoran, ia bukan penyuka makanan siap saji tetapi harus rela antri untuk mencari tahu tentang wanita yang mencuri perhatiannya sejak kemarin. Elesh berada di antrian ketiga. Berdiri, memperhatikan satu persatu pramusaji lalu mengarah pada perempuan muda berseragam cleaning service.
Elesh keluar dari antrian dan menghampiri gadis itu.
"Ehem," gadis itu menoleh, kaget. Pria tampan menyapa. Matanya sedikit melebar, seperti ia didatangi seorang malaikat. Bersinar menyilaukan.
"Mmm … ah, itu … saya itu ... mau tanya. Apa pegawai disini ada yang bernama Jingga?" Bicara tidak jelas sembari garuk-garuk tengkuknya yang ditanya melayangkan pikirannya entah kemana. Tertegun.
Elesh menunggu jawaban. Beberapa mata tertuju pada pemandangan ini. Mengagumi si pria berkharisma.
"Ehem," berdehem lagi, menyadarkan gadis yang terdiam tanpa gerak.
"Ada yang bisa saya bantu pak?" Leo si manajer menghampiri, manusia ini terlalu menarik perhatian para remaja yang sedang antri.
“Kenalkan, nama saya Elesh Altair.” Elesh mengulurkan tangan dan pria hitam manis menyambut.
“Leo, manager di Restoran ini.” Mereka berjabat tangan. “ Silahkan duduk.” Leo membawa Elesh duduk di salah satu meja bersih.
“Jadi apa ada yang bisa saya bantu pak?” Tanya Leo ramah.
Elesh menggaruk belakang kepalanya. Ia mengedarkan tatapannya ke seluruh ruangan. Masih mencari keberadaan Jingga.
“Apa karyawan, Anda. Ada yang bernama Jingga Nirwana?”
"Maksud Anda Jingga pemilik mata biru?"
Pria jangkung berkulit putih bersih seketika terkejut mendengarnya. Jantungnya berdegup, jadi gadis yang ia lihat kemarin itu adalah Jingga?
“Jingga Nirwana, apa dia bekerja disini?” Tanya Elesh memastikan.
“Baru saja saya mengeluarkan pekerja saya yang bernama Jingga Nirwana.”ujar Leo.
“Tunggu, dikeluarkan? Apa perempuan itu memiliki manik biru?” leo mengangguk.
“Kenapa dia keluarkan?”
Elesh mengepal kedua tangan di bawah meja. Merasa tidak berguna, mencari satu wanita dengan keistimewaan mata biru yang jarang dimiliki wanita Indonesia pun tidak berhasil.
Bahkan mereka sangat dekat dan berada di tempat yang sama kemarin.
Apa yang dia kerjakan selama ini?
Hanya merindu? Merana? Kesepian Menyesali.
Elesh melipat bibir hingga lesung pipi nya tertarik dalam.
“Suami perempuan itu membuat keributan di restoran ini.” Leo mengingat bagaimana Amos memperlakukan Jingga dan seketika pria itu bergidik ngeri.
Suami? Artinya Jingga sudah menikah. Membatin dan juga merasa kecewa.
“Apa yang terjadi?” Tanya Elesh penasaran.
“Suaminya menampar dan menyeretnya di depan umum..” Leo menautkan kedua alisnya, ia menjadi penasaran pada pria di hadapannya ini.
“Kenapa dia melakukan itu?”
“ Jingga bilang, suaminya tidak setuju dia bekerja.”jawab Leo. “Tunggu. Kau mengenalnya?” Tanya leo, kenapa dia harus menceritakan itu pada orang lain.
“Aku tidak yakin, tetapi apa bisa saya minta alamatnya?”
Leo tampak berpikir, memperhatikan detail penampilan pria ini. Rapi, ketampanannya didukung segala aksesori mahal dan bermerek di tangan.
Sudah pasti dari kalangan atas tapi, apa hubungannya dengan Jingga? Manajer, memainkan jemari telunjuk di dagu sembari berpikir.
Apa pria ini bisa di percaya? Jingga sudah banyak masalah, jika pria ini datang untuk menambah?
Wanita itu akan ..., sangat malang.
“Dia bukan lagi karyawan kami, maaf tidak bisa membantu.”Katanya, Elesh memejam.
“Kumohon,” meminta dengan sangat. Manajer, mengusap wajah.
“Berikan alasanmu,”
“Saya sedang mencari seseorang yang berharga dalam hidupku. Kemarin, saya melihatnya sekilas di tempat ini. Saya sangat penasaran hingga kembali.” Elesh menarik napas panjang.
“Wanita bermata biru, nama yang sama dan memiliki keistimewaan yang sama. menurutmu apa itu sebuah kebetulan? Mungkin Jingga mantan karyawan anda adalah Jingga yang aku maksud, aku ingin memastikannya.”
“Seseorang yang berharga?” Mengulang dalam hati, Leo mematuk dua kali, menghela nafas panjang.
“Berikan kartu nama, Anda. Akan saya kirim lewat pesan.” Ujar Leo.
Elesh mengeluarkan dompet dari saku celana, mengambil kartu tipis bertulis tinta emas.
"Ini, terima kasih sebelumnya sudah membantu." Elesh menyerahkan kartu namanya.
Manajer membaca dengan jelas disana kedudukan Elesh. Pria jangkung itu seorang dokter di salah satu rumah sakit elite di kota Jakarta.
......
Tidak lama setelah meninggalkan Restoran, Elesh menerima pesan berisi alamat rumah Jingga. Ia menepikan mobil lalu membalas pesan Leo.
[Terima kasih.] Posisi Elesh saat ini tidak jauh dari alamat yang dikirim Manajer.
“Apa benar ini kau, Jingga?” Pria jangkung, menegakkan tubuh bersandar di jok menatap lurus ke depan.
“Apa yang harus aku lakukan? Jika itu dirimu.” Elesh bingung, ia tidak tahu harus bagaimana jika bertemu Jingga, perempuan yang ia rindukan selama ini.
.
.
.
.
.
Tbc