Putranya sakit?
Seseorang terluka?
Jingga mengingat dua kata yang selalu melekat di hatinya beberapa hari ini.
"Dia baik-baik saja, tadi? "Jingga menggeram menahan amarah. Rima menenangkan, mengelus pundak dengan sikap keibuan.
Pria tambun tampak sedih. Bibir bergetar seperti ingin menangis.
"A-aku memang jahat padamu, ta-tapi memukul putraku sendiri itu tidak masuk akal. Apa kau pernah melihatku memukulnya sekalipun emosiku tinggi, aku tidak pernah menyakitinya."
Sangat menjiwai perannya. Namun, yang dikatakan pria itu benar. Ia belum pernah memukul Aldebaran.
Jingga panik, putranya sakit. Masalah melarikan diri untuk sementara lupakan dulu.
“Bu, Rima aku pulang dulu.” Berpamitan pada Rima. Wanita paruh baya itu, mengangguk dengan cemas.
Pria tambun mengikuti langkah Jingga keluar parkiran. Motor tua Amos sudah menunggu di pinggir jalan. Amos tersenyum licik. Wanita ini sangat mudah di bodohi. Sejak dulu sampai sekarang. Wanita ini tidak pernah berubah.
Polos dan ... bodoh.
Amos mengengkol motor bututnya, suaranya bising. Memalukan, bikin kesal. Pria ini memang keterlaluan. Motor sejak ia lahir masih dipakai.
Jingga enggan naik, motor itu seperti pemiliknya.
Tua dan menyebalkan.
Jingga melirik sana sini, semakin hari semakin malu mengakui Amos suaminya.
Pria itu tidak mengurus diri, rambutnya mulai panjang tak beraturan ditambah jambang lebat beruban. Mulut selalu berbuih saat bicara. Tidak enak dipandang dan mengundang rasa jijik.
Mau tak mau Jingga naik, tubuh mungilnya tenggelam di belakang pria itu.
Motor butut melaju, mengundang para mata ke arah mereka. Lajunya lambat, kalah dengan pengguna sepeda yang tidak sengaja melewati mereka.
Suara motor itu ... bahkan Jingga kesal mendengarnya. Nyaring, memekakan telinga. Bikin naik darah.
Amos lebih suka menghabiskan uangnya di meja judi ketimbang mengganti motor yang sama tua dengannya.
Astaga memalukan! Harusnya aku lebih baik naik ojek saja.
Biasanya naik angkot hanya lima belas menit tapi, motor butut Amos menghabiskan waktu tiga puluh menitan. Motor itu memang tidak layak pakai.
Jingga turun, berlari membuka pintu memanggil nama putranya. Putranya sedang mengenakan piyama sehabis mandi, dan tampak baik-baik saja.
"Al ...," Jingga berlari, berjongkok menyamakan tinggi. Memeriksa suhu putranya, mencari apa yang membuat putranya sakit.
"Kau sakit, sayang?" Aldebaran menaikkan kedua alis, bingung melihat sikap cemas Ibunya.
"Aku baik-baik saja, Mama." tangan kecil menyentuh pipi pucat Ibunya. Memberi senyum terbaiknya.
Jingga menelan ludah.
Merasa sial, tua bangka itu telah menipunya. Jingga lega, setidaknya putranya baik-baik saja.
"Apa dia memukulmu?" bisik Jingga sambil memeluk erat. Jingga mendongak sedikit, tanpa menyadari putranya sudah lebih tinggi saat posisi begini.
Fisik putranya tumbuh dengan baik tapi, mentalnya? Entahlah.
"Aku berada dalam kamar saat dia berteriak dan tertawa bersamaan. Mama, Al sangat takut." Ujar Aldebaran. Jingga mengetatkan pelukannya. Usia putranya sembilan tahun. Sudah sangat terlambat menyadari sorot tenggelam putranya.
"Al, kemarilah." pria tambun bersandar di kusen pintu. Melipat tangan di d**a. Jingga menoleh, masih memeluk Aldebaran.
"Mau apa? Kau butuh sesuatu?" Terbata-bata.
"Aku ada perlu sama putraku, apa tidak bisa?"
Putraku?Hah? Pria ini, benar-benar membuatnya gila. Ia bahkan tidak peduli dengan Aldebaran dan sekarang mengaku putranya.
Takut-takut Aldebaran melepas pelukan Ibunya, mendekat pada pria tambun.
Ia sangat benci pria ini. Sejak lama, sejak melihat tangan kasarnya memukul Ibunya. Pria ini sangat kejam dan jahat pada wanita yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya untuknya. Pria tambun, mengusap kepala lembut. Mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan dari saku celana.
"Belikan rokok untuk Ayah. Sisanya untuk jajan." katanya.
Aldebaran menolehkan kepala pada Ibunya sedetik kemudian mengangguk dan keluar dari kamar.
Suara pintu terdengar, terbuka lalu menutup artinya pria kecil itu sudah berlalu.
Amos tertawa, menatap wanita yang masih duduk di lantai.
"Mau melarikan diri?" Amos tergelak, memenuhi ruangan, mengingat bagaimana wanita ini bersembunyi di balik wanita tua tadi. Benar-benar menggelikan. Namun, perannya sangat baik hingga wanita ini ikut pulang dengan sendirinya.
"Kau menipuku," gemetar, tangan besar kini mencengkram lengannya.
"Uhhh, kau sering terluka saat kita bertengkar tapi kenapa tidak pernah jerah. Patuhlah, jika tidak ingin terluka lebih parah lagi."
Amos meremas luka jahitan Jingga di lengan hingga wanita itu meringis kesakitan.
Jingga menekan kejam gigi pada bibir bawahnya, memberi bekas disana. Menahan sakit yang luar biasa.
"Kalau masih kembali bekerja, aku akan merobek luka ini hingga menganga." Tegas, mengancam dengan tatapan keji, lalu di hempaskan. Amos keluar dan berhenti di depan pintu, lalu berbalik.
"Hari ini, Aldebaran masih baik-baik saja, tapi besok? Aku tidak bisa janji." sudut bibir tersenyum, begitu jahat.
Jingga mendelik mendengar ancaman Amos sembari menahan sakit. Jingga harus menahan perih dan tidak boleh menangis. Aldebaran tidak boleh melihat air matanya.
Jingga merasakan basah, hangat. Ia terkejut, darah mengalir. Lukanya terbuka.
"Satu bulan, hanya satu bulan. Aku janji akan keluar. " Jingga memegangi tangannya yang sakit. Pria tambun diam, mengabaikan. Artinya tidak boleh.
Jingga meninggalkan kamar Aldebaran menuju kamarnya. Jingga mengambil Rivanol dan kapas. Duduk di tepi ranjang membersihkan lukanya.
.....
Subuh-subuh Jingga terjaga dari tidurnya, semalam sengaja tidur di sofa menghindari Amos. Pelan masuk ke dalam kamar, sangat hati-hati. Amos begitu nyenyak, terbukti dari suara dengkurnya.
Jingga membuka lemari, mengambil pakaian dan memasukkan kedalam tas. Melihat dompet pria itu di atas meja. Ia menjaga langkahnya, mendekat. Mengambil dan membuka isinya.
Jingga tersenyum kecut, pantas saja tidak keluar dan berfoya-foya.
Isi dompetnya memprihatinkan.
Jingga meletakkan kembali lalu membawa tas meninggalkan kamar beralih ke kamar putranya. Mengambil beberapa lembar pakaian Aldebaran dan memasukkan ke dalam tas. Putranya masih nyenyak. Jingga membangunkan pelan.
"Al, bangun sayang. Ayo kita pergi." Jingga menguncang pelan bahu sang anak. Pria kecil pemilik lesung pipit bangun. Melihat ibunya dengan mata menyipit.
"kita harus pergi." bisik Jingga, pria kecil mengangguk cepat, turun dari ranjang.Tujuan mereka tempat kerja Jingga.
.....
Hagena ingin menemui Jingga dan meminta maaf. Ia benar-benar kepikiran wanita itu. Hagena menyetir dan memasuki Restoran AG.
Seperti biasa tempat itu sangat ramai namun, kali ini berbeda. Tempat itu ramai bergerombong
Hagena menautkan alis penasaran. Ternyata seorang pria membuat keributan dan kini sedang diseret dua security keluar Restoran.
"Dia istriku, jangan ikut campur. Lepaskan!" Teriaknya, berusaha melepas diri dari cengkraman dua security. Pelanggan bubar setelah pria itu di bawah jauh, Hagena melihat Jingga dipapah dua temannya.
"Astaga!" Terkejut, ia menghampiri dengan langkah lambat dan hati-hati.
"Tunggu!" Katanya, menghentikan langkah Jingga dan dua orang yang membantunya. Jingga Menoleh kan kepala melihat ke sumber suara.
"Dokter," beberapa pelanggan masih melihat pada Jingga dan merasa prihatin atas kejadian yang menimpa Jingga. Diperlakukan buruk oleh suaminya di depan umum.
"Silahkan Nyonya." seorang pria berkulit hitam manis mengijinkan. Dia manager di restoran itu.
Hagena mengikuti langkah mereka masuk ke ruangan khusus karyawan. Duduk di salah satu meja.
“Masih tidak ingin melaporkannya?” Tanya Hagena, melihat pipih Jingga yang memerah. Pria itu sudah pasti menampar dengan tenaga. Jingga menunduk lemah.
"Aku akan mendampingimu," Hagena memengan tangan Jingga yang di atas meja. Wanita itu bergetar. Tangan Hagena begitu hangat.
"Aku juga mau jadi saksi. Lukamu, dan rekaman cctv di tempat ini cukup untuk menjeratnya." Tambahnya menyakinkan.
"Apa aku bisa melakukan itu?"
"Tentu saja," wanita mata biru mengangkat kepala melihat Hagena.
"Kekerasan dalam rumah tangga hukumnya bisa lima tahun. Pria itu pantas mendapatkannya, kau berhak dilindungi negara." Hagena menjelaskan.
"Aku, aku akan pikirkan. " gugup dan terbata. Ia tidak mengerti hukum.
Beberapa saat yang lalu pria itu menampar dan menyeretnya dengan kejam.
Pria itu tidak takut sekalipun di tempat umum. Amos seorang monster menakutkan.
Kalap dan tidak bisa mengendalikan emosinya.
Setelah bebas apa yang akan terjadi? Apa akan aman? Atau sebaliknya?
Pikirannya tidak jernih.
Jingga menggeleng cepat, menatap Hagena. Ia menjadi takut.
"Terima kasih sudah memberi saran. Maafkan saya, jam istirahatku sudah berakhir." Buru-buru bangun dari duduknya. Merendahkan kepala sebagai rasa hormatnya.
"Baiklah," Hagena bangun perlahan sambil menopang pinggangnya dengan satu tangan. Berjalan ke arah pintu, mengingat sesuatu yang menjadi tujuannya ke tempat ini. Hagena berbalik.
"Masalah uang kemarin, aku minta maaf kalau sudah membuatmu tidak nyaman."
Jingga menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum. Ia tidak ada masalah mengenai itu.
"Tidak masalah, Dokter." Bibir keringnya melengkung.
"Datanglah ke klinik dan periksakan lukamu." Hagena memperhatikan sudut bibir Jingga yang robek.
Jingga kembali mengangguk, Hagena keluar ruangan.
Jingga mengingat putranya belum makan siang, sejak subuh mereka sudah berada di taman Restoran. Jingga juga meninggalkan Aldebaran di sana bermain sendirian. Terkadang Aldebaran masuk ke dalam Restoran meminta minum pada Jingga.
"Ini, berikan pada putramu. Temani dia makan." Rima menyerahkan kotak nasi dan air mineral.
Jingga menerima dengan bulir air mata yang terjatuh. Setelah ini, ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Suaminya membuat keributan sehari setelah ia bekerja di Restoran ini.
"Terima kasih, Ibu." Rima mengangguk, prihatin.
“Pergilah, putramu menunggumu dia pasti lapar.” Jingga mengangguk, mengusap pipi yang basa air mata.
Aldebaran sedang membaca buku, duduk di bangku panjang terbuat dari besi. Ia tak mengeluh sekalipun isi perutnya berontak minta diisi. menghabiskan waktu membaca buku pelajarannya di bawah bunga kertas yang tumbuh rimbun.
"Al ...." Ibunya berlari kecil, dengan gerak riang. Menenteng kantong berisi kotak makan.
Pria kecil tersenyum melihat kedatangan Ibunya.
"Maafkan mama sayang, kau pasti lapar." Membuka tutup botol minum, memberikan pada putranya.
"Apa Mama menangis?" Aldebaran menerima, lalu meminumnya. Pria kecil ini sangat teliti.
"Tidak," cepat, tegas dan berpura-pura.
"Masih ada air mata di sudut mata, Mama." Jingga buru-buru menyeka.
"Ah ... ini hanya keringat." Berbohong.
"Pria itu melukai mama." Jingga mengenyit, menggeleng cepat. Ia tak mengerti apa maksud putranya.
Pria siapa maksudnya?