Pria paruh baya, menghisap sisa rokoknya dalam. Pikirannya berkecamuk, bagaimana bisa putrinya hamil di luar nikah. Putri satu-satunya, harapannya, masa depannya. Putrinya yang berharga melebihi dirinya sendiri.
"Jadi apa yang harus kita lakukan, Ayah?" lembut istrinya bertanya, menyentuh bahu sang suami yang tampak suram.
"Entahlah, bu. Aku tidak yakin mereka mau menerima Jingga." ujarnya, menghisap kembali rokoknya.
"Ayah, Jingga hamil. Sekalipun harga diri kita taruhannya. Kita harus meminta pertanggung jawaban pria itu."
"Apa yang salah dengan anak itu, wajahnya sangat lugu. Pria itu, pria kota itu pasti memperdaya putriku." Memukul dinding dengan tangan kosong. Meluapkan emosinya. Jingga mendengar dari kamar terkejut, menangis.
"Sudahlah, semua sudah terjadi. Putri kita jatuh cinta, lagi pula kita belum mengenal pria itu." ujar Istrinya, menepuk-nepuk pundah suaminya.
"Pacaran enam bulan, kalau dia pria baik. Seharusnya dia datang kerumah, Bu." Marah, mengepal tangan erat.
"Sabar, Ayah." Menenangkan.
Di dalam kamar, Jingga menelpon Elesh, pria itu tidak mendengar karena asik bermain Playstation.
"Kak El angkat." Bicara sendiri, gugup menggigiti kuku jari.
Pak Dermaga mengenakan jaket.
"Ayo, Bu. Kita bicarakan masalah ini pada Nyonya Altair." Dermaga mengajak istrinya. Sang istri mengikuti langkah suaminya naik ke atas motor dan meninggalkan Jingga sendirian di rumah.
Kediaman Altair.
Elesh, duduk menunduk duduk di sofa tidak sanggup mengangkat kepala melihat kedua orang tua Jingga.
Di ruang tamu, kini sudah berada Renatha ibunya Elesh dan pemilik rumah, Neneknya beserta kedua orang tua Jingga.
Mereka tercengang mendengar kabar mengejutkan dari kedua orang tua Jingga. Elesh mengakuinya, dan mengatakan kalau itu terjadi karena saling cinta.
"Kenapa tidak membawa Jingga kemari?" Wanita tua memulai obrolan memecah keheningan yang sempat tercipta. Renatha mendelik, mendengar ucapan mertuanya.
"Maaf Nyonya, putri kami sedang tidak sehat. Dia terlalu muda untuk mengalami kejadian ini. Usianya belum cukup untuk hamil." Jawab Ibunya Jingga. Memberi tatapan hangat pada perempuan senja itu.
Renatha tersenyum miring, senyum sinis yang tercetak di wajahnya tertangkap oleh mata Dermaga.
Hati pria paruh baya diremas, sakit. Dermaga sudah menduga kehadiran mereka hanya akan menuai kepahitan.
"Anda benar, putri anda belum cukup umur untuk hamil," Renatha angkat bicara, menyilangkan kedua kaki, menatap angkuh kedua tamunya.
"Turunkan kakimu, saya masih hidup." Tegur perempuan tua, tidak suka dengan sikap menantunya yang angkuh.
Menyebalkan, pikir Renatha menurunkan kaki perlahan. Perempuan tua ini selalu menunjukkan permusuhan padanya.
"Jadi saya sarankan demi kebaikan putri anda, Gugurkan." Tambahnya dengan kejam. Semua yang ada di ruang tamu tercengang mendengarnya, lantas menatap Renatha yang menunjukkan raut tanpa dosa seolah apa yang ia katakan bukan masalah.
"Mama!" Hardik Elesh, ia tidak percaya kata-kata itu keluar dari mulut Ibunya.
"Beraninya kau membentakku!" Balas Renatha menghardik, menatap putranya dengan tatapan tajam.
Elesh mengusap wajahnya kesal.
"Nikahkan saja mereka, hubungan mereka terjalin karena saling menyukai. Lagipula anak itu sedang hamil, dan itu cucumu," ujar Nenek Elesh.
"Aku mencintai Jingga, Mama.” Elesh menimpali ucapan neneknya melihat kearah Renatha. Ibunya itu berdecak kesal.
“Aku akan menikahi Jingga paman," Tambahnya, melihat kedua orang tua Jingga.
Dermaga dan istrinya merasa lega mendengar ucapan Elesh.
"Menikah?" Renatha terkekeh, menertawakan ucapan putranya lalu melihat Elesh dengan tatapan kesal.
"Kau berpikir menikah di usiamu ini? Kau berbicara tentang cinta di usia dini. Katakan pada Mama sudah berapa banyak gadis yang kau kencani? Katakan! Hanya gadis itu bukan? Kau akan bosan nanti dan meninggalkannya. Itu akan lebih menyakitkan bagi gadis itu. Jadi sebelum itu terjadi lebih baik kita sudahi malam ini. Gugurkan kandungannya!" Ucap Renatha tegas bercampur emosi.
"Anda keterlaluan Nyonya, ucapan anda menyakiti telinga. Putra anda mencintai putri kami, alasan mereka untuk bersama bukan semata hanya cinta, tapi darah putra Anda kini ada di dalam diri putri kami."Dermaga sedari tadi membisu, angkat bicara. Membela harga diri putrinya.
"Elesh, kau mencintai gadis itu?" Tanya perempuan senja.
"Iya Nek, aku mencintai Jingga. Aku mau menikah dengannya, katakan sama Mama. Supaya mengizinkan kami menikah." Elesh mengambil tangan Neneknya, meminta dengan tatapan memohon.
"Kau dengar ucapan putramu, jangan halangi langkah mereka. Kita semua tahu mereka melakukan kesalahan, sudah melewati batas menjalin hubungan. Tetapi, cucuku berniat memperbaikinya. Jangan mempersulit keadaannya, menantuku." Perempuan tua melihat menantunya.
"Tidak bisa, aku tidak setuju." Renatha tidak perduli, ia tetap menolak.
"Kau ini. Apa yang membuatmu keras kepala." Suara rentan itu menghardik.
"Dia putraku, Ibu. Hanya aku yang berhak atas dirinya. Hanya restuku yang berlaku." sahutnya dengan raut datar. Renatha berdiri, hendak meninggalkan ruangan itu.
"Renatha!" Perempuan senja menggeram. Ia merasa dirinya diabaikan.
"Nyonya, kami mohon demi putri kami, demi janin dalam rahim putriku." Ibunya Jingga turun dari sofa, merendahkan dirinya memohon.
"Ibu, kau tidak perlu memohon padanya." Dermaga membatu istrinya berdiri.
"Tidak ayah, tidak masalah dengan harga diriku. Putriku tidak boleh hancur karena masalah ini." Ibunya Jingga, menolak berdiri. Ia menangis menunduk menatap lantai.
Elesh melepas tangan neneknya, ia turut berlutut di hadapan Renatha.
"Mama, Elesh mohon. Aku janji akan menjadi anak yang berbakti untukmu. Jingga gadis baik. Dia tidak akan mengecewakan Mama. Dia pasti bisa menjadi menantu seperti yang mama inginkan." Mohon Elesh.
Renatha memalingkan wajah, ia tetap dengan sikap angkuhnya. Mengabaikan putranya yang berlutut padanya.
"Maafkan saya, putraku tidak akan menikah diusia muda. Dia memiliki masa depan."
Dermaga berang. Ia meninju meja sofa, penuh emosi.
"Putri kami juga memiliki masa depan Nyonya, bukan hanya putra, Anda." Ucap Dermaga menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya.
"Justru karena itu, jangan biarkan masa depan putri anda hancur hanya karena hamil."
"Masa depan apa? Putra anda sudah merusaknya!" Dermaga kesal, rahangnya mengetat menatap Renatha nyalang, tangan pria itu gemetar kesakitan.
"Kalian pergilah, keputusanku sudah bulat. Putraku tidak bisa menikah muda." Renatha melangkah berniat ke kamarnya.
"Meskipun tanpa restu mama, aku akan menikahi Jingga, Mama." Elesh berdiri, menghentikan langkah Renatha. Perempuan itu berbalik, menatap remeh Elesh.
"Baiklah, Mama akan merestui kalian menikah tapi sebelum itu mama minta padamu Elesh," Renatha menghampiri Elesh. Putranya merasa lega, berpikir Renatha mengubah pikirannya. " Kau galih lah kuburan Mama karena dari sanalah kau mendapatkan restuku."Penuh penekanan, bernada kejam.
"Mama,"Elesh.
"Kau!" Perempuan tua, kesal. Tidak tahu harus berbicara apa. Menantunya memang memiliki sikap angkuh.
"Nyonya Altair, jangan memberikan pilihan yang sulit pada putra anda, bagaimana Anda bisa bersikap kejam seperti itu." ujar Ibunya Jingga.
"Anda benar saya seorang yang kejam, jadi selamatkan putri Anda dari saya. Permisi." Meninggalkan ruang tamu, masuk ke dalam kamar membanting pintu keras mengejutkan semua orang.
"Keterlaluan!" Dermaga menggeram.
"Ayah, bagaimana ini ...." Menangis getir. "Putri kita, bagaimana nasibnya." Memeluk suaminya.
Elesh terduduk di lantai, membisu memandangi lantai. Ibunya berubah menjadi sangat kejam.
"Ayo kita pulang, Bu." Memapah istrinya keluar dari rumah itu.
"Nyonya tolong selamatkan putriku. Elesh, kau harus bertanggung jawab. Putriku, ya, Allah bagaimana nasibnya." Ucap Istri Dermaga sembari berjalan keluar dari ruangan itu.
Tidak ingin putranya menikah dini. Benarkah itu alasan Renatha?
Tidak!
Lantas apa alasan wanita itu menolak meski sudah tahu ada cucunya di rahim gadis itu?
Alasannya hanya satu.
Mereka tidak sepadan.
Renatha ingin menyandingkan putranya dengan gadis berstatus tinggi, dari kalangan atas. Bukan anak ingusan dari keluarga miskin.
Usia muda putranya hanya sebuah alibi, untuk menutupi keserakahannya.
......
Jingga tersentak, mendengar pintu terbuka keras. Kedua orang tuanya pulang dengan keadaan marah dan kecewa.
"Jingga!" Dermaga berteriak memanggil putrinya, gadis itu keluar takut-takut ke ruang tamu. Dermaga memperhatikan putrinya dengan tatapan nyalang. Wajah polos putrinya sudah menipunya selama ini, keterlaluan.
"Maafin Jingga, Pa." Menunduk, menangis.
"Kau tahu apa yang dikatakan orang tua si b******k itu?" Dermaga, menarik tangan Jingga menjatuhkannya ke sofa.
"Ayah, jangan sakiti Jingga. Ada janin dalam rahimnya." Ibu Jingga segera menghalangi Dermaga. Membantu putrinya supaya duduk dengan benar. Jingga menangis sesenggukan.
"Biarkan saja, lagipula mereka tidak menginginkan bayi itu. Saya setuju. Gugurkan saja." Ucap Dermaga dengan kesal.
"Ayah." sahut Istrinya.
Jingga menggeleng cepat, " Tidak Papa, kak Elesh sudah janji akan menikahi Jingga."
"Apa yang bisa di lakukan putranya?" Bentak Dermaga.
"Suaramu, malu didengar tetangga." Istrinya mengingatkan.
"Tidak akan lama lagi, orang -orang akan menganggap kita kotaran, Ibu. Anak ini sudah mempermalukan kita." Ucap Dermaga menuding Jingga.
"Ampuni Jingga, Papa." Jingga terisak.
"Sudah, jangan menangis."Ibunya menyeka air mata Jingga. Ibunya sangat lembut, sangat sabar.
"Hanya satu jalan, kita gugurkan. Tidak ada gunanya memohon pada mereka." ucap Dermaga , menyugar rambut ke belakang.
"Papa, Jingga tidak mau."
"Kau ingin melahirkan tanpa suami? Kau ingin mempermalukan orang tuamu ini, Jingga?"
"Kak Elesh sudah janji."
"Jangan memanggilnya kakak, kakak. Papa membencinya, dia lebih memilih Ibunya daripada bayi dalam perutmu." Dermaga Kesal menatap putrinya tajam.
Jingga berdiri, berlari keluar rumah.
"Kemana kau bodoh?" Teriak Dermaga saat Jingga keluar rumah.
"Jingga kau mau kemana?" Ibunya mengejar Jingga.
"Jingga akan menemui Elesh, Ma." Berlari setelah mengenakan sandal mengabaikan panggilan Ibunya.
.....
Jingga mengetuk pintu keras, mengejutkan Elesh yang masih duduk di lantai sembari memeluk kaki neneknya yang duduk di sofa. Pria itu menangis.
Renatha, kesal ia berjalan dari kamar membukakan pintu. Ia melihat seorang gadis tampak kedinginan di depan pintu rumahnya.
"Siapa?"
"Jingga, tante."
Elesh mendengar suara itu, ia bangun dari duduknya dan menghampiri.
"Kau belum mendengar apa kata orang tuamu?"
"Jingga," panggil Elesh dari belakang Ibunya. Renatha menghalangi pria itu.
"Tante, aku mohon. Tolong saya, aku sedang hamil dan ini cucu tante."
"Pulanglah, aku tidak ingin mengulangi apa yang aku katakan pada orang tuamu,"
"Kak Elesh, kakak sudah janji akan menikahi Jingga. Kakak tolong aku, kak. Jingga mohon ...."Mohon Jingga, berjinjit agar bisa melihat jelas Elesh dibalik punggung Ibunya.
Elesh menghapus air matanya, menarik nafas panjang.
"Maafkan aku, Jingga. Aku tidak bisa menikah denganmu. Hubungan kita berakhir di sini." Katanya dari belakang Renatha. Jingga membeliak, tidak menyangka pria itu menolaknya.
.
.
.
.