Hidup sangat lucu

1571 Kata
"Aku hamil kak, bagaimana denganku." Menangis, memohon. Elesh mengabaikannya, pergi meninggalkan Jingga. Jingga berlutut di depan Renatha, "Tante aku mohon, hanya sampai bayi ini lahir aku janji akan pergi meninggalkan Elesh. Hanya status Tante, sampai bayi ini lahir." "Pergilah, kau masih muda. Kau tidak perlu melahirkan bayi itu. Masa depanmu masih panjang." Renatha menutup pintu meninggalkan seorang gadis menangis di luar, terluka. "Tante aku mohon, Elesh .... Elesh. Aku mohon .... aku mohon." Jingga menggedor-gedor pintu. "Kau sudah janji, El. Kenapa begitu jahat." Jingga merosot kembali duduk di lantai. Memukul-mukul tengkuk pada daun pintu sambil menangis. "Elesh," Sapa Renatha, ia merasa senang karena putranya menjadi patuh. "Jangan bicara denganku." ketus, mengabaikan Ibunya dan masuk ke kamar. "Siapkan pakaianmu. Besok kita pulang ke Jakarta." Elesh membanting pintu kamarnya keras. "Delapan belas tahun, memikirkan pernikahan. Berbicara tentang cinta. Konyol, kau pikir hidup hanya di putaran itu saja?" teriak Renatha dari balik pintu, kesal melihat putranya menunjukkan permusuhan padanya. "Wanita ini. Kau sangat busuk." Mertuanya menyahuti dari ruang tamu. Renatha kesal, masuk kedalam kamarnya. "Benar-benar congkak, entah kenapa putraku bisa menikahimu." Sungut Nenek Elesh kesal, melihat ke arah pintu kamar Renatha. .... Jakarta- 2020 II Hotel Jingga duduk di tepi ranjang, mengamati wajah putranya. Rasanya kesal ketika Elesh menggendong putranya. Hatinya terluka menyaksikan itu, tanpa diminta air matanya meleleh begitu saja. Tak seharusnya Elesh menyentuh putranya. "Al, bangun sayang." Jingga membangunkan Aldebaran. Mencium pipi kecil putranya. "Mama," Aldebaran terjaga, nentra indahnya menyusuri ruangan. "Di mana kita?" Tanya Aldebaran bangun dari baringannya. "Hotel." Balas Jingga, mengelus pipi putranya lembut. " Ayo kita makan." Ajak Jingga. Aldebaran meletakkan tangan di bagian perutnya. Ia ingat makan malam sudah terlewati. "Kau lapar, bukan?" Tanya Jingga, dan dianggukin putranya. "Kalau begitu, ayo kita makan." Jingga membantu Aldebaran turun dari ranjang dan mereka menuju ruang tengah. "Kita akan tinggal disini, Mama?" Aldebaran duduk, Jingga menyajikan makanan untuk putranya. "Hanya malam ini, besok kita kembali ke rumah." Kata Jingga, meletakkan piring berisi makanan di depan Jingga. "Mau mama suapin?" Aldebaran menggeleng. "Mama makan saja." Jingga tersenyum melihat putranya. "Baiklah kita makan bersama." Jingga duduk dan hanya mulai mencoba makanan itu. Sementara di tempat lain, Elesh ketiduran di lantai sembari memeluk sprei dan baju Jingga. Hagena berdiri di depan pintu kamar Elesh. Sejak tadi ia sudah berada disana. Sejak pria itu masuk ke dalam kamar yang tidak pernah ia masukin. Hagena menarik kembali tangannya yang ingin mengetuk pintu kamar Elesh, ia tak ingin menganggu lalu menekan menuju kamarnya. Setelah selesai makan malam, Jingga menyibak tirai kamar. Berdiri memandang keluar lewat dinding kaca. Hotel ini memberi pemandangan yang indah di malam hari, kota Jakarta tampak indah dengan pencahayaan lampu-lampu gedung pencakar langit. Jingga tersenyum kecut, tidak percaya berada di tempat semahal ini. Sekaya apa Elesh hingga mensia-siakan uang untuk wanita sepertinya? Memberi tempat nyaman dan mewah untuknya yang bukan siapa-siapa. Jingga, mengingat bagaimana penampilan pria itu, sangat terhormat dan elegan. Jingga tak melupakan wanita hamil yang menjadi pasangan Elesh, Hagena. Seorang dokter, cantik dan … baik hati. Jingga mengakui pasangan itu pasangan serasi lalu membandingkan dengannya. Jingga dan Amos? Pasangan menyedihkan, sangat cocok. Jingga tertawa, menertawakan dirinya yang begitu menyedihkan. "Hidup sangat lucu." Bergumam, ia benci kenapa hidup begitu tidak adil padanya. .... Dipagi hari Jingga dan Aldebaran mempersiapkan diri, semalam Elesh sudah berjanji akan menjemput. Jingga memutuskan kembali ke rumah Amos. Disanalah tempat dirinya berada, di samping Amos. Bersama pria paruh baya. “Mama, jadi kita pulang ke rumah?” Jingga mengangguk, mengeringkan rambut Aldebaran dengan handuk kecil. Mencium pucuk kepala pria kecil, aroma sampo yang disediakan pihak hotel sangat menyenangkan di penciuman. “Apa aku boleh bertanya sesuatu?” Aldebaran menyentuh pipi Jingga, jemari kecil terasa dingin setelah selesai mandi. “Tentang apa?” “Paman yang membawa kita ke sini,” Sesaat Jingga termangu, apa sekarang putranya penasaran? Jingga mengangguk. “Siapa Paman itu? Aku mendengar dia memanggil nama mama dengan jelas. Mama juga begitu. Apa Mama mengenalnya? Kenapa kita berlari darinya.” Aldebaran memberi sederet pertanyaan yang sudah disiapkan semenjak terbangun di pagi hari. Pria kecil pemilik lesung pipit sangat penasaran. Jingga terkekeh mendengar pertanyaan itu, "Pertanyaanmu sangat banyak." Ia menatap netra putranya yang menyimpan rasa penarasaran. “Baiklah, mama akan jawab." Ucap Jingga, diakhiri senyum lebar. "Kami berteman dimasa sekolah. Sudah sangat lama. Kita tidak berlari darinya, sayang. Mama hanya tidak ingin merepotkannya” merapikan poni Aldebaran dan mulai menjelaskan. “Apa paman itu melakukan kesalahan?” Aldebaran masih penasaran. “Tidak, tidak ada kesalahan apapun sayang. Lagipula kami tidak terlalu akrab dulu." Ucap Jingga berbohong. "Mama sangat marah padanya." Lirih Aldebaran, tidak percaya. Jingga memejam, putranya memang sudah besar. Ia menghela nafas panjang, lalu menipiskan bibirnya. "Sayang, bersiaplah kita akan pulang.” Ucap Jingga mengabaikan ucapan putranya. “Ke rumah itu lagi?” Suara Aldebaran rendah dengan raut kecewa. “Mmm, itu rumah kita.” “Pria itu akan memukulmu, nanti.” “Panggil dia ayah, Al.” “Jangan memaksaku.” Pria kecil berbaring, membungkus diri dengan selimut. Ia tidak tertarik memanggil Amos ayahnya. “Al …, sekalipun jahat dia ayahmu.” Ucap Jingga, putranya terdiam di dalam selimut. "Mama mohon jangan membenciku, sayang " Lirih Jingga meninggalkan Aldebaran di ranjang. .... Amos mencari Jingga di klinik, terakhir ia mengikuti Jingga ke tempat itu. Ia menunggu semalaman di rumah tetapi wanita itu tak kunjung pulang. "Selamat pagi, saya mau menjeguk pasien yang bernama Jingga Nirwana, tolong bantu saya untuk nomor ruang inapnya?" Bagian informasi mencari data Jingga lewat komputernya. “Maaf pasien yang anda maksud tidak rawat inap, wanita itu sudah keluar semalam.” jawab bagian informasi. "Kau yakin?" Tanya Amos dengan dahi berkerut. "Tentu, kami punyak data lengkap pasien kami." Amos menggaruk jambang di rahangnya, ia berdecak. Kemana wanita itu? Apa mungkin ke rumah wanita tua itu? Menyusahkan saja. “Baiklah terima kasih.” Ucap Amos, kemudian meninggalkan Klinik. Di pintu masuk Elesh berpapasan dengan Amos saat mendorong kursi roda Hagena. Wanita itu akan melahirkan di klinik ini. Hagena mengenal Amos, ia sempat melihat pria itu diseret security saat menemui Jingga di Restoran. Hagena menolehkan kepala sembari menahan kontraksi dalam perutnya. “Kenapa, Ge?” Elesh menghentikan kursi roda Hagena, lalu mengikuti arah tatapan Hagena. "Kau mengenalnya?" Tanya Elesh saat melihat Amos di depan Klinik. “Pria itu suaminya Jingga,” ucap Hagena. Elesh berbalik, memperhatikan sosok pria tambun, sedang berdiri di luar pintu sambil menyulut rokok. "Kau yakin?" Tanya Elesh. "Aku sempat melihatnya di restoran saat melakukan KDRT pada Jingga." Alis Elesh bertautan, membandingkan Jingga dengan pria itu. Amos lebih layak menjadi orang tua Jingga ketimbang suami. Jadi pria ini yang melukai Jingga? Apa yang membuat Jingga mau menikahi pria ini? Apa Jingga hilang akal, hingga menerima pria ini menjadi suaminya? Yang benar saja. “El, ayo sepertinya ini sudah mau lahir.” Hagena merintih menahan sakit, Elesh segera mendorong kursi roda menuju lift. Jingga mondar-mandir di depan pintu hotel, ia menggigit-gigit kukunya, hal yang biasa dilakukan saat panik dan banyak pikiran. Layanan hotel sudah mengantar makan siang, tapi Elesh juga tak kunjung datang. Jingga merasa resah, pria ini melupakan janjinya. Jingga beralih ruang tempat tidur, Aldebaran masih berdiam dalam selimut. “Al, kau tidak ingin bicara pada Mama?” Jingga duduk di tepi tempat tidur. “Aku tidak mau pulang ke rumah,” bicara dari dalam selimut. “Sayang, tapi kemana lagi kita pergi? Hanya rumah itu tempat kita pulang.” Menyentuh kepala putranya lembut. “Kenapa menolak tinggal di rumah dokter?” “Al, dengar. Kita tidak bisa tinggal disana dan merepotkan orang lain.” Jingga perlahan menarik selimut yang menutupi tubuh putranya. Melihat wajah sendu Aldebaran, menyakiti hatinya. Tapi, Jingga tidak punya pilihan lain. Ia tidak sudi menjadi pembantu Elesh. “Maafin mama, sayang,” membantu Aldebaran bangun duduk dan memeluk putranya itu. Aldebaran membalas pelukan Ibunya. “Al, sayang sama Mama. Aldebaran takut, mama sakit lagi gara-gara pria jahat. Aldebaran tidak mau kehilangan mama." Gumamnya, menangis dipelukan Jingga. "Mama akan patuh padanya, mama akan berhenti kerja supaya dia tidak marah." Ucap Jingga seraya mengelus punggung kecil mencoba menenangkan, putranya yang mencemaskannya. Siang berganti sore hingga malam menyapa Elesh tidak kunjung datang, tapi layanan hotel selalu datang tepat waktu membawakan makanan atas pesanan Elesh. ..... Seorang bayi perempuan terlahir dengan sehat. Hagena berjuang melahirkan sekuat tenaga. Kedua mertua Elesh turut di tempat itu, begitu juga dengan Renatha Ibunya Elesh. Mereka berbahagia menyambut kedatangan anggota keluarga baru. Bayi yang akan melengkapi keluarga sempurna Elesh dan Hagena. “Kalian sudah menyiapkan nama?” Tanya Ibunya Hagena, menimang bayi merah dalam tangannya. Jingga menoleh pada Elesh, mereka sama sekali tidak pernah membahas hal itu. “Adara, itu namanya.” Hagena melihat Elesh seolah meminta persetujuan, tetapi pria itu sibuk dengan ponselnya. “Nama yang cantik,” puji Renatha, ia melihat Elesh yang tampak sibuk. "Iya kan, El?" Renatha meminta pendapat Elesh. Pria itu berdehem, meski sibuk dengan ponselnya telinganya masih jelas mendengar apa yang keluarga itu bahas. "Ya, nama yang cantik. Aku menyukainya." Kata Elesh, melihat Renatha lalu beralih pada Hagena. Senyum kecil Hagena terbit sekilas, ia tahu Elesh sedang tidak memikirkannya. "Aku keluar sebentar, Ge." Ucap Elesh, dan dianggukin Hagena. Tidak lama kemudian ponsel Hagena berdering. Renatha mengambilnya dari atas meja kecil yang ada di samping bangsal Hagena. Renatha mengernyit, melihat nama pemanggil di layar ponsel. "SUAMIKU" tertulis disana, putranya baru saja keluar ruangan dan kenapa mesti menelpon Hagena? Hagena menerima ponselnya dari mertuanya lalu menggeser tanda jawab. “Gena, aku akan menemui Jingga. Semalam aku sudah janji padanya. Tidak apa-apa, kan?" Kata Elesh sembari melangkah menuju mobilnya terparkir. "Baiklah, tidak apa-apa. Hati-hati di jalan.”ucapnya dengan nada lembut, lalu mematikan ponselnya. Hagena, tetap mempertahankan wajah baiknya untuk menutupi perasaan sedihnya. Suaminya memikirkan wanita lain saat istrinya berjuang melahirkan. . . . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN