6. Sekacau Itu Hidup Aanisah

1704 Kata
Dengan mata mengantuk karena belum tidur semalaman, Aanisah terpaksa kembali ke hotel untuk mencari keberadaan ponselnya. Namun sepertinya kesialan selalu menimpa diri Aanisah. Setelah dia menemukan keberadaan ponselnya yang ternyata disimpan oleh teman kerjanya, dia harus menghadapi drama pemeriksaan yang seharusnya tidak perlu dia ikuti. Dia lupa kalau hari ini bagian resepsionis shift pagi mendapat giliran sidak oleh direktur pengembangan karyawan. Secepat kilat Aanisah mengganti pakaian bebasnya dengan seragam yang masih tersimpan rapi di loker. "Rambut kamu, say," tegur Reta, salah satu resepsionis saat melihat rambut Aanisah yang tergerai. "Cepolku hilang," jawab Aanisah mengubek-ubek loker dan tasnya. Bukan hal baru lagi bagi Aanisah kehilangan barang-barang miliknya. Reta menoyor kepala Aanisah. Kesal dengan kesembronoan Aanisah yang tidak pernah ada habisnya. Reta lantas menyuruh temannya itu memutar badan. Aanisah tidak membantah saat Reta mulai menggelung rambutnya dan mengikatnya dengan karet yang biasa digunakan untuk membungkus nasi goreng. "Nanti rontok rambutku, Ret." "*Salahmu dewe! Emblem jangan lupa," ujar Reta lagi. Aanisah menyeringai lalu menunjuk pin berbentuk oval bertuliskan namanya yang tersemat d**a sebelah kanannya. (Salah kamu sendiri) Semua personel bagian resepsionis berbaris di ballroom hotel. Direktur mulai memeriksa satu persatu penampilan karyawannya. "Aanisah kemari!" "Saya bu Syeila." Aanisah berjalan ke depan direktur yang bernama Syeila tersebut. Perempuan berusia sekitar 45 tahun itu berjalan berputar mengelilingi Aanisah. Jantung Aanisah sudah kebat kebit saat ini. Kesalahannya kali ini terlalu banyak. Dia sadar itu. Benar saja satu menit kemudian, Syeila sudah menunjuk rambut Aanisah dengan tongkat besi ramping yang ada di tangannya. Kemudian beralih menuju kaki Aanisah dan berakhir di bibir gadis itu. "Tidak menggunakan cepol, tidak memakai stoking, warna lipstik yang terlalu pucat. Tiga kesalahan. Setiap kesalahan skotjam 15 kali. Yang lainnya boleh bubar!" Aanisah menunduk lesu. Dia mulai mengambil posisi jongkok dan mulai menghitung. Tidak boleh salah hitung karena Syeila mengawasi tepat di hadapannya saat ini. "Kapan kamu bisa sekali saja tampil perfect setiap kali saya melakukan sidak, Aanisah?" tanya Syeila yang sedang duduk di kursi berjarak dua meter dari posisi Aanisah sedang melakukan skotjam. "Sekarang bukan giliran shift saya, bu." "Itu tidak bisa dijadikan alasan. Ini buktinya," lalu Syeila melempar daftar hadir reseptionis dan staf lain shift pagi. "Nama kamu jelas-jelas tercantum dalam daftar hadir karyawan shift pagi. Masih mau ngeles kamu?" Sial! Aanisah lupa kalau semalam tukar shift dengan Alya secara mendadak, tanpa sempat mengkonfirmasi bagian absensi. Jadilah Aanisah yang sekarang menghadapi sidak tanpa persiapan. "Maaf bu. Semoga hal ini tidak terulang lagi," mohon Aanisah. "HARUS ITU! Bukan hanya semoga saja. Apa yang akan dikatakan oleh pengunjung kalau penampilan bagian resepsionisnya saja asal-asalan seperti ini." "Tapi saya kalau sedang bekerja nggak seperti ini." "Tetap saja kamu salah. Tambah 15 kali lagi skotjamnya karena kamu membantah ucapan saya!" Aanisah ingin menangis rasanya. Namun sebelum menangis ia ingin sekali menjambak rambut perempuan yang terlihat begitu klimis itu untuk melampiaskan kekesalannya. Dasar perawan tua! ○○○ Di tokonya Desta sedang muring-muring saat mengajari Angga menggulung kain untuk bahan celana. Kemarin Angga melakukan kesalahan saat pemotongan kain dan dikomplain oleh pelanggan karena salah ukuran. "Harus berapa kali aku bilang sama kamu, Ga. Kalau kerja itu yang fokus! Kalau kamu kayak gini terus, tokoku bisa rugi!" bentak Desta tak ketinggalan membuang napas yang sarat akan kekesalannya pada karyawan sekaligus adik sepupunya itu. Angga mendengarkan saja makian dan amarah yang dilontarkan oleh Desta padanya. Selain karena Angga memang salah, dia juga memaklumi perubahan Desta yang sangat drastis sejak satu tahun lalu. Tidak hanya Angga saja yang merasakan atmosfer perubahan pada karakter Desta, tapi hampir dirasakan oleh semua karyawan yang bekerja lebih dari satu tahun di toko ini. "Mas Desta itu dingin dan pemarah banget ya, mas. Aku takut banget pas baru masuk kerja di sini," ujar Naya, salah seorang karyawan yang baru dua bulan bekerja di sini. "Dulu dia nggak kayak gitu. Mas Desta itu orangnya humoris, santai dan asyik banget. Dia juga baik dan ramah. Tapi semenjak kejadian itu dia berubah jadi kayak sekarang ini," ujar Angga menjelaskan seperti apa sebenarnya sosok kakak sepupunya itu pada Naya. "Emangnya ada kejadian apa mas?" "Kejadian yang membuat seluruh keluarga marah dan kecewa sama mas Desta. Semua terjadi gara-gara perempuan itu. Perempuan yang namanya tidak boleh lagi disebut di manapun." Di dalam ruangan pribadinya yang terletak di lantai dua bangunan toko ini, Desta melamun. Memorinya memaksa dia kembali ke masa itu. Masa satu tahun lalu yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan bagi dirinya dan perempuan yang sangat ia cintai. Setelah berpacaran hampir empat tahun, Desta memutuskan untuk menjalin ikatan yang lebih serius dengan Rinjani. Dia lalu meminta izin pada orang tua dan keluarga besarnya untuk membuat sebuah pesta pertunangan sekaligus perayaan hari jadi hubungan empat tahun mereka berdua. Namun tepat di hari pertunangan akan digelar, Rinjani tidak pernah hadir ke acara pesta yang dibuat cukup besar dan meriah itu. Desta mencoba menghubungi ponsel Rinjani, tapi hasilnya nihil. Desta pun memutuskan mencari Rinjani ke seluruh kantor polisi, rumah sakit sampai puskesmas yang ada di kecamatan-kecamatan. Desta kembali ke rumah dengan tangan kosong dan tanpa membawa alasan kenapa Rinjani tidak pernah hadir dalam pesta yang telah dirancang sedemikian mewah itu. Seluruh anggota keluarganya menanti hasil pencarian yang dilakukan oleh Desta. Namun sampai berhari-hari setelah kepergian Rinjani, Desta tetap tidak pernah bisa memberikan alasan kenapa Rinjani tidak hadir dalam acara pesta pertunangan. Desta sangat terpuruk malam itu. Desta memijat pelipisnya. Dering ponselnya menarik dirinya untuk kembali ke masa kini. Nomor asing sedang berusaha menghubungi tampil di layar ponselnya. Desta bergeming. Dia hanya bisa memandangi ponselnya tanpa berniat untuk menerima panggilan telepon misterius itu. Dia seolah tahu siapa pemilik nomor asing yang sedang memaksa menghubunginya itu. ○○○ Di tempat lain Gama sedang merenungi kondisi perusahaan rintisan yang sudah susah payah dibangunnya. Perusahaan itu bangkrut hanya dalam hitungan satu bulan karena kecurangan salah seorang karyawan kepercayaannya. Kini Gama dikejar-kejar oleh debt collector karena menanggung beban hutang karyawan kepercayaannya yang fantastis jumlahnya. Hutang tersebut dibebankan atas nama perusahaan dan uangnya dibawa kabur oleh karyawan tersebut. Kini hidup Gama harus luntang luntung tidak jelas. Bahkan dia musti berpindah tempat saat posisi persembunyiannya ditemukan oleh debt collector. "Saya akan berusaha mengeluarkan mas Gama secepatnya dari persoalan ini. Pihak kepolisian sudah mulai melakukan proses pemeriksaan dan pemanggilan saksi-saksi yang berkaitan saat proses pengajuan kredit. Mas Gama mohon bersabar," ujar pengacara pribadinya saat mengunjungi Gama pagi itu. "Terima kasih. Bagaimana keadaan Aanisah? Apa dia baik-baik saja?" "Dia kelihatan baik-baik saja dan bekerja seperti biasanya." "Saya menyesal karena telah melukai perasaan perempuan yang sangat saya cintai. Nggak seharusnya saya memutuskan dia dengan cara seperti itu." "Kenapa mas Gama nggak bilang saja yang sebenarnya pada Aanisah. Dia perempuan yang baik, pasti akan menerima kondisi mas Gama saat ini." "Bagaimana mungkin saya meminta dia menunggu orang yang sedang dalam posisi hancur seperti ini? Lantas apa orang tuanya akan mengizinkan anak gadis satu-satunya menjalin hubungan dengan seorang buronan debt collector?" Gama berjanji pada dirinya akan melakukan apa saja untuk bisa mendapatkan Aanisah kembali jika masalahnya sudah selesai suatu saat nanti. ○○○ Sepulang dari hotel, Aanisah mengurung diri di kamarnya. Kemudian menyalakan musik melalui ponsel yang menyambung ke sound speaker aktif, dengan volume paling maksimal. Lagu-lagu dangdut koplo khas pantura mulai melantun memenuhi kamarnya. Dari mulai yang melow hingga berirama rancak bergantian berputar dari musik ponsel. Aanisah mulai meliuk-liuk, menari bebas mengikuti irama lagu tersebut. Dia sama sekali tidak peduli dengan tetangga sekitar atau penghuni rumah selain dirinya, yang terganggu dengan suara musik dari dalam kamarnya. Yang dia inginkan adalah membuang kekesalan atas perlakuan Syeila yang mempermalukan dirinya di hadapan temannya, apalagi ada banyak pegawai magang saat Syeila menghukumnya seperti tadi. Aanisah juga sedang menangis di dalam kamarnya. Tadi dia bertemu dengan seseorang yang cukup akrab dengan Gama. Gama pernah cerita kalau teman akrabnya itu adalah pengacara. Setelah say hello, Aanisah bertanya pada pengacara tersebut tentang kondisi Gama. "Gama baik-baik saja. Kamu gimana kabarnya Nisa?" "Ya seperti ini mas. Syukurlah kalau mas Gama baik-baik saja. Sudah lama aku nggak mengobrol dengan mas Gama." "Nanti saya sampaikan pada Gama kalau bertemu kamu di sini." "Terima kasih." Aanisah pun menjerit histeris di dalam kamarnya saat mengingat percakapan dengan teman Gama tadi. Bagaimana bisa kabar Gama baik-baik saja setelah mengempaskan Aanisah. Gadis itu sama sekali tidak terima diperlakukan seperti ini oleh Gama. Di luar rumah orang tua Aanisah sedang sibuk menenangkan tetangganya yang protes dengan kegaduhan yang diciptakan oleh Aanisah. Setelah menghadapi amukan tetangga karena kegaduhan yang dibuat oleh Aanisah, orang tuanya hanya bisa memandangi pintu kamar Aanisah dengan perasaan waswas. "Apa anak kita sebentar lagi gila beneran ya, Yah?" tanya Ayu pada suaminya. "Hush..., kamu ngomong apa? Masa anak baik-baik saja seperti itu didoain gila." "Kalau gitu ibu yang sebentar lagi gila beneran menghadapi tingkah Aanisah yang makin nggak jelas." "Sudah, bu. Biarkan saja. Ayo kita ke dapur." "Ibu udah memutuskan, nggak akan memedulikan Aanisah lagi. Dia sudah terlalu sering membuat ulah." "Maksud ibu?" "Mending dia nggak ada di rumah ini lagi." "Jangan ngomong gitu, bu. Mungkin kita dituntut untuk lebih sabar lagi menghadapi anak gadis kita satu-satunya." "Dia mending pergi dari rumah ini," tandas Ayu kemudian meninggalkan suaminya yang hanya bisa menghela napas dan dilanda kecemasan. Apa yang akan diperbuat oleh istrinya kali ini untuk menghukum anak gadis mereka satu-satunya yang memang tidak henti-hentinya membuat ulah dan kekacauan. Keesokan paginya, saat Aanisah sedang lelah-lelahnya pulang kerja dia mendapati ada kardus-kardus dan beberapa travel bag miliknya di halaman rumah. Di antara travel bag tersebut ada sebuah kertas tulisan tangan ayahnya. "Mulai sekarang kamu cari jalan hidupmu sendiri. Ayah sama Ibu mengusirmu dari rumah. Semoga kamu bahagia, Aanisah." Aanisah mengumpat kasar pada kertas di tangannya. Dia bergegas menuju pintu rumah. Benar-benar terkunci. Bahkan saat Aanisah memutar anak kunci miliknya untuk membuka pintu, dia hanya melakukan perbuatan yang sia-sia. Aanisah baru ngeh kalau ternyata Ibunya sudah mengganti handle dan kunci pintu saat Aanisah sedang bekerja. Tidak ingin terpuruk lebih lama lagi, dia menghubungi Eki untuk meminta tempat penampungan sementara. Sayang sekali Eki sedang berada di luar kota selama satu minggu ke depan. Aanisah hanya terduduk lemas di ayunan masa kecilnya yang berada di bawah pohon rambutan. Orang tuanya bahkan sama sekali tidak berpihak padanya. Dia berpikir keras harus tinggal di mana sementara menunggu Eki pulang? Aanisah mengacak dan menjambak rambutnya sendiri. Pikirannya benar-benar buntu saat ini. Ditambah lagi dia mengantuk berat karena belum tidur sejak kemarin. --- ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN