5. Satu Rinjani Saja bikin Pusing. Dua lagi???

1847 Kata
Desta tahu pasti ada yang salah dengan dirinya ketika dia tidak hanya menghadapi dua perempuan yang memiliki suara hampir mirip, tapi dua perempuan itu memiliki nama hampir serupa. Kenyataan bahwa pekerjaan dua perempuan itu juga sama--bekerja di bidang perhotelan--menambah daftar panjang kesamaan yang ada pada diri dua perempuan yang jelas tidak memiliki hubungan darah apalagi saudara kembar. Tentunya Desta tahu di mana letak perbedaan dua perempuan itu. Dari segi fisik, wajah, penampilan, watak dan cara bicara sangat menunjukkan kalau mereka bukan saudara jauh apalagi saudara kandung. Rinjani yang sangat ia kenal adalah sosok perempuan kalem, keibuan, feminin, modis, dan sopan. Sedangkan Rinjani yang asing sangat berbeda jauh. Aanisah adalah perempuan yang blak-blakan, berisik, tomboy, dan aneh menurut Desta. Bukan tipe perempuan yang mampu membuat Desta tertarik untuk memiliki hubungan lebih jauh. Meskipun begitu Desta tetap memegang teguh keyakinnya soal kesamaan suara yang dimiliki oleh Aanisah dan Rinjani. Entah sudah berapa lama Desta memandangi layar laptopnya untuk mencari hal aneh yang sedang dihadapinya. Namun tidak ada satu informasi pun yang mampu memuaskan rasa ingin tahunya. Entahlah, Desta tidak mampu berpikir secara jernih, apa yang sedang dialaminya ini suatu kebetulan, atau takdir. Akhirnya Desta menyerah dan menutup layar laptopnya. Pada saat itu Akbar mendatangi rumah Desta dengan membawa berita mengejutkan dan membuat Desta makin cepat gila. Namun sebelumnya Desta terlebih dulu membuat Akbar syok dengan cerita Desta soal kesamaan lain yang baru saja ia dapat antara Aanisah dan Rinjani. "Apa kamu juga tahu kalau mereka pernah kuliah di jurusan dan universitas yang sama? Bahkan ikut UKM yang-" Desta mengangkat kepalanya, menatap Akbar yang tidak melanjutkan ucapannya karena segan dengan tatapan tajam dari Desta. "Jangan bilang mereka berdua satu angkatan juga?" tanya Desta. "Kayaknya enggak deh. Bahkan nggak pernah ketemu di kampus, karena beda angkatannya lumayan jauh. Rinjani yang asing baru lulus satu setengah tahun yang lalu. Sedangkan Rinjani yang akrab sudah lama lulusnya. Artinya usia mereka berdua juga terpaut cukup jauh. Sekitar enam sampai tujuh tahun." "Hah? Jadi cewek itu masih bocah? Bentar-bentar! Usia cewek itu kira-kira 21 atau 22 tahun. Bener Bar? "22 tahun lebih tepatnya." "Jasik! Aku kira seumuran denganku." "Kenapa? Dandanannya berlebihan? Menor kayak tante-tante?" "Bukan masalah penampilan. Tapi cara ngomongnya. Santai banget kayak ngobrol sama teman sebayanya. Nggak ada sopan-sopannya sama sekali. Aku diam aja karena aku kira dia seumuran denganku. Ternyata masih seumuran sama Angga." Akbar tertawa melihat wajah Desta yang kesal karena merasa dipermainkan oleh seorang gadis muda seumuran saudara sepupunya, yang baru saja ia kenal. "Trus kamu bilang soal kesamaan dia sama Rinjani yang akrab?" "Ya enggaklah. Ngapain juga mesti ngomong sama dia." "Kamu mesti hati-hati, Des. Kamu harus bisa jaga jarak sama dia. Jangan pernah terlibat hubungan apa pun sama cewek itu. Nanti kamu pasti dilabeli cowok yang gamon karena memacari dua Rinjani," cetus Akbar lalu terbahak, tak kuasa lagi menahan tawanya. "Ngomong opo kamu, Bar? Jangan ngawur lah. Udah gila apa aku deketin cewek model kayak gitu." "Serius loh aku ini, Des. Kamu itu nggak paham-paham ya soal wanita. Mestinya kamu belajar banyak dari aku kalau soal wanita." Desta berdecak dan menatap malas pada sahabatnya yang terus mengoceh soal keahliannya menaklukan wanita. "Kalau kamu ketemu dia lagi, si Rinjani yang asing, mending kamu putar balik dan kabur deh. Biar nggak gila beneran kamu kalau ternyata masih tersimpan banyak persamaan di antara mereka berdua yang belum terungkap. Duh..., aku kok jadi merinding gini ya, Des?" Akbar menggosok tengkuknya, sedangkan badannya terus bergidik seperti sedang berjoged. Kata-kata Akbar kali ini ada benarnya juga. Memang tidak seharusnya Desta terlibat urusan apa pun dengan gadis bernama Aanisah, yang menurutnya gadis aneh itu. Dalam hati Desta berdoa, memohon supaya tidak ada kesempatan yang membuat mereka bertemu lagi di lain waktu, meski secara tidak sengaja sekalipun. "Kamu pernah dengar tentang dia?" tanya Akbar karena sahabatnya itu tidak bergeming dari tempatnya. "Hah? Siapa?" "Rinjani yang akrab? Mantan calon tunanganmu itu loh." "Aku nggak tahu." "Kamu tahu apa nggak?" "Aku bilang nggak tahu ya nggak tahu!" "Masa sih, Des? Kamu nggak mendengar apa pun tentang dia? Dia itu menghilang, diculik mafia, sakit keras, mati atau apa? Kok bisa loh nggak kelihatan di mana-mana dan nggak ada yang tahu keberadaannya di mana. Apa nggak pernah gitu ada orang yang pernah melihat atau berhubungan lagi dengannya? Aneh deh." Desta hanya mengedikkan bahunya dengan malas. Dia sedang malas berpikir apalagi untuk memikirkan lagi soal hilangnya Rinjani. "Jangan-jangan Rinjani yang asing tahu lagi keberadaannya Rinjani yang akrab?" "Jangan ngaco deh, Bar!" "Aku nggak ngaco. Dia pasti sekarang sedang sembunyi. Dia tahu akan dibantai orang banyak kalau sampai tempat persembunyiannya terbongkar. Bener-bener ya perempuan itu! Maunya apa pakai acara menghilang? Kekanakan banget." Pintu ruang tamu rumah Desta terbuka. Kakak perempuannya masuk sambil menggendong anak laki-lakinya, diikuti oleh ibunya yang sedang menggendong bayi berusia satu tahun yang sedang tertidur lelap--anak kedua kakak perempuan Desta. "Hay, Bar! Udah dari tadi?" sapa kakak perempuan Desta setelah menyadari dengan siapa adiknya mengobrol di ruang tamu. "Nggak mbak. Baru satu jam-an." "Kok temennya nggak dibuatin minum, Des?" tegur ibu Desta saat melihat meja kopi yang kosong. "Nanti juga dia kalau haus ngambil sendiri, buk. Rumah ini kan udah dianggap rumahnya sendiri sama Akbar," jawab Desta. Sahabatnya itu hanya menggaruk kepalanya salah tingkah. Ibu Desta hanya berdecak kesal mendengar jawaban asal dari putranya tadi. "Kamu udah makan, Bar? Kalau belum, makan bareng yok," imbuh kakak perempuan Desta sambil tersenyum penuh arti. "Siapa yang masak, mbak?" tanya Akbar curiga. "Aku lah. Nyoba menu baru yang ada di cookpad." "Oh..., makasi mbak. Tapi aku udah makan sebelum ke sini. Masih kenyang mbak." "Nggak usah malu-malu. Ayo langsung ke ruang makan aja." "Nggak usah, mbak. Lain kali aja." Desta hanya menahan senyumnya melihat penderitaan sahabatnya itu ketika dipaksa makan oleh kakak perempuannya. Sudah jadi rahasia umum kalau kakak perempuan Desta hobi mempraktekkan beragam menu masakan yang dia dapatkan dari aplikasi masak di ponsel androidnya. Meski tampilannya meyakinkan, tapi rasanya itu patut diragukan. Pernah satu kali, setelah mencoba hasil masakannya membuat orang satu rumah mendadak diare. Sejak itulah orang-orang rumahnya menjadi ragu pada hasil masakan kakak perempuan Desta. Ya meski tidak jarang juga hasil masakannya masih layak untuk dinikmati. "Assalamualaikum," terdengar suara dua orang laki-laki menyerukan salam dari arah pintu. Adik sepupu dan suami kakak perempuan Desta masuk rumah. Hamka--suami kakak perempuan Desta--langsung menggantikan istrinya menggendong anak laki-lakinya dan membawa masuk anak itu ke kamar. "Angga kayaknya lapar tuh, mbak. Tadi dia WA aku, kalau mau ke sini minta dibawain martabak." "Bener kamu belum makan, Ga? Ayo deh makan bareng." "Siapa yang masak?" "Ya mbak lah, Ga." Angga langsung menoleh pada Akbar dan Desta untuk meminta bantuan. Dari lirikannya, Angga seolah ingin berkata kasar pada tiga orang di ruangan ini, tapi takut dibilang tidak sopan karena usia dia dengan ketiga orang ini terpaut sangat jauh. "Ayo!" ujar kakak perempuan Desta seraya mendorong pundak adik sepupunya itu, menggiring masuk ke ruang makan. "Ponakanmu gimana, Des? Baik-baik aja?" "Keturunan Iron Man nggak bakal kenapa-kenapa. Kebal dia. Ayahnya aja yang terlalu berlebihan." "Ngawur kamu, Des! Ponakanmu itu habis kelelep di laut loh. Kamu nanti juga kalau udah jadi ayah akan merasakan hal yang sama kalau terjadi sesuatu sama anak kamu." Desta mencibir. "Cih! Kayak yang kamu tahu aja rasanya punya anak. Yang kamu tahu kan cuma rasanya buang anak." "Jangkrik! Congormu pancen njaluk dirujak, Des!" (Mengumpat! Mulut kamu memang minta dibuat rujak) Desta tidak menghiraukan sumpah serapah yang diucapkan oleh Akbar. Dia memilih ke dapur, mengambil minuman dingin untuk dirinya dan Akbar. Di dapur ekspresi wajah Angga sangat memprihatinkan. Dia dipaksa mencoba makan masakan kakak perempuannya. Sorot mata memohon pertolongan terpancar jelas di mata Angga saat melihat Desta membuka pintu kulkas. Desta hanya mengedikkan bahunya acuh pada Angga, kemudian kembali lagi ke ruang tamu. "Oya, Des! Soal ada dua Rinjani yang kamu kenal, akan jadi rahasia kita berdua. Jangan sampai terdengar oleh orang lain, apalagi mbakmu. Wah, bisa bahaya kalau sampai mbakmu menemukan tempat persembunyian Rinjani yang akrab, lebih dulu dari kita." "Apa? Ada dua Rinjani? Memang kenapa kalau aku lebih dulu ketemu sama iblis perempuan itu, Bar?" tanya kakak perempuan Desta yang sudah berdiri sambil bertolak pinggang tepat di belakang Akbar. "Matiii!" Cicit Akbar. Menundukkan kepalanya lalu bergeser untuk berpindah tempat duduk ke sofa yang tengah diduduki oleh Desta, hendak meminta perlindungan pada sahabatnya itu. "Beneran dia udah kembali, Des?" "Nggak usah ikut campur. Udah sana kamu masuk kamar, mbak." Kakak perempuannya tidak menghiraukan ucapan Desta. Dia malah terus mendesak Akbar hingga ke sudut sofa. "Ampun mbak. Ampuuun!" ujar Akbar tak ketinggalan sambil menangkupkan kedua tangan di depan dahinya. "Aku nggak tahu apa-apa, sumpah!" "Udah deh, mbak. Kamu mending tidur aja sana!" hardik Desta mulai kesal pada kakak perempuannya. Saat perempuan itu akan melempar kepala Akbar dengan bantal kursi, suaminya menyerukan namanya dengan lembut dari arah kamar untuk menyuruhnya masuk kamar. "Awas kamu ya! Kalau bohong aku sumpahin jadi bujang lapuk kamu, Bar!" Tubuh Akbar langsung jatuh lunglai di atas sofa setelah kepergian kakak perempuan Desta. "Gila ya! Mbakmu itu udah punya anak dua kok malah makin bringas gitu sih, Des?" "Yang kamu omongi itu mbakku, Bar!" "Iya paham. Tapi horornya itu loh, Des. Merindingnya sampai ke ubun-ubun. Kok bisa loh om mu yang kalem gitu jatuh hati sama mbakmu yang menakutkan gitu." "Namanya juga jodoh." "Kalau kamu sama Rinjani yang asing berjodoh gimana, Des?" "Congormu, Bar! Jangan nyebut-nyebut nama Rinjani yang ini atau Rinjani yang itu lagi, deh. Cewek itu ada nama lain kok selain Rinjani." "Iya, iya. Maaf." ○○○ Pagi itu di rumahnya, Ayu sengaja membuat suara gaduh saat mencuci piring, untuk membuat Aanisah yang sedang menikmati sarapannya terganggu. "Bisa nggak nyuci piringnya pelan-pelan aja, bu? Kalau ada yang mau diomongin sama Nisa tinggal ngomong aja, nggak usah caper gitu lah, bu," sahut Aanisah dari ruang makan, dengan mulut penuh nasi goreng. Ayu menghentikan aktivitasnya membereskan dapur. Dia menuju ke ruang makan lalu duduk di hadapan Aanisah. "Kamu itu sekali-kali bantuin ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Nyapu kek, ngepel, cuci piring atau menyiram tanaman gitu." Aanisah menghela napas. "Ibu tahu sendiri kan Nisa kerja siang malam. Boro-boro sempat mengerjakan pekerjaan rumah, waktu tidur Nisa aja masih sering berantakan." "Kalau nongkrong sama Eki sempat ya? Giliran disuruh mengerjakan pekerjaan rumah ada aja alasannya." "Nisa kan masih muda, bu. Ya butuh refresing lah." "Luar biasa sekali jawaban kamu ya, Nisa. Udah macam selebriti yang terciduk henpon jadul aja kalau nyari-nyari alasan," cibir Ayu dengan nada sinis dan menyindir pada putrinya. "Menarik bukan hidup Nisa? Nggak perlu jadi selebriti untuk bisa terciduk henpon jadul." "Cukup Aanisah! Ini sama sekali bukan lelucon!" ucap Ayu dengan tegas. Lantas menyingkir dari hadapan putrinya yang bisa membuat tekanan darahnya bisa naik kapan saja. Saat akan bersiap untuk mandi pagi, Aanisah kebingungan mencari keberadaan ponselnya. Dia berpikir keras di mana terakhir kali dia meletakkan ponselnya. Dia membongkar isi tasnya. Namun benda pipih berwarna rosegold kesayangannya itu tidak tampak di manapun. Aanisah terduduk lemas di lantai samping tempat tidurnya. Dalam satu tahun ini dia sudah kehilangan ponsel sebanyak dua kali. Kalau kali ini ponselnya benar-benar hilang, artinya akan jadi kali ketiga Aanisah kehilangan ponsel. Semua terjadi karena dia memang terlalu sembrono dalam meletakkan barang, meski itu barang berharga sekalipun. --- ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN