Gue Ini Pria Dewasa 'Kan?

1227 Kata
Pukul 6 pagi. Setibanya di lokasi syuting Maxime langsung disambut dengan make up artist dan tim wardrobe. Kali ini ia syuting di rumah mewah yang memang menjadi salah satu properti milik production house. Matanya melirik berkeliling ke sekitaran lokasi syuting. "Cari siapa sih, Mas Maxime?" tanya make up artis bernama Selli itu dengan gaya kemayu, sambil menyapukan bedak ke wajah Maxime. "Ah enggak. Gue laper, belum sarapan udah diseret kesini," kilah Maxime. Tiba-tiba seseorang mengulurkan sekotak bubur ayam pada Maxime. "Nih sarapan dulu biar nggak mati." Maxime menghela napas panjang. "Hhhh, mimpi apa gue bisa punya manager yang kayak gini," ujar Maxime sebal, tapi ia juga menerima bubur ayam yang diberikan oleh Edward. Edward mengibaskan tangannya pada Selli. Menyuruhnya pergi setelah ia selesai dengan pekerjaannya. "Sambil lu makan, gue bacain jadwal lu hari ini. Adegan memasak sarapan pagi, adegan bermesraan dengan Alena di taman belakang dan adegan bertengkar. Serta adegan lamaran nanti siang. Harus selesai dengan baik sebelum jam 3 sore. Karena lu masih ada jadwal pemotretan untuk sampul majalah. Dan malam hari, ada undangan ke anniversary salah satu channel televisi. Jadi jangan banyak bercanda saat syuting. Karena besok adeganmu sebagai Pak Angkasa, pindah ke puncak untuk adegan bulan madu. Paham?" jelas Edward meskipun Maxime tampak tidak antusias mendengarkan kalimatnya. Maxime bahkan belum membuka bubur ayam pemberian Edward. "Aku benci hidupku." Maxime menghela napas panjang mendengar penjelasan Edward. Ia sangat bosan dengan rutinitasnya. "Dengar! Kontrak lu dengan sinetron ini hingga 800 episode. Dan masih ada 300 episode lagi yang belum terselesaikan. Setelah kontrak selesai, kontrak untuk sinetron selanjutnya sudah menanti jadi jangan mengulur-ngulur waktu." "Aku benci hidupku," ulang Maxime. Wajah semakin lemas. "Woy! Lu tahu kan alasan utama lu harus menghasilkan uang sebanyak-banyaknya? Dan penderitaan lu berakhir jika saja lu bisa mengalah dan ..." "Aku cinta hidupku!" seru Maxime memotong kalimat Edward, ketika dari balik kaca, manik matanya menangkap sosok Saskia turun dari taksi. Edward mendesah napas panjang. "Hhhh, si artis baru itu lagi." "New," ralat Maxime. "Jangan sebut dia artis baru. Tapi, new talent." Dengan spontan Maxime mendatangi Saskia. Meninggalkan Edward yang terperangah melihat sikap tidak biasa dari artisnya itu. "Si artis baru itu. Pasti menggunakan dukun pelet untuk menarik perhatian Maxime. Ck!" tuduh Edward bermonolog penuh curiga. "Hai," sapa Maxime. Balutan senyum merekah di wajahnya. "Oh, hai." Saskia tampak tidak tertarik. "Sarapan? Aku membelikanmu bubur ayam," kata Maxime memberikan bubur pemberian Edward pada Saskia. "Aku sudah makan. Untukmu saja," tolak Saskia dengan halus. Saskia kemudian duduk di salah satu meja rias. Mulai memoles wajahnya dengan make up yang ia bawa. Karena adegan untuknya adalah adegan lamaran, dan Saskia berperan sebagai salah satu tamu undangan. Meskipun adegannya masih nanti siang, dia tidak boleh terlambat. Tidak ada toleransi bagi pemain pendukung. Maxime mengernyitkan dahi. Ia menarik sebuah kursi dan menggesernya ke samping Saskia. "Aku tidak percaya kamu sudah makan. Ayolah, anggap ini pengganti sup rempah kemarin." "Aku tidak berharap kamu menggantinya. Kamu makan saja. Lagi pula apa yang terjadi kemarin ya biarlah tetap tinggal di hari kemarin. Aku tidak pernah menganggapnya." Maxime menatap heran ke arah Saskia. Saskia benar-benar berlagak seperti tidak pernah terjadi apapun di antara mereka. "Saskia?" "Ya?" "Kamu tidak merasa kehilangan sesuatu setelah malam itu?" "Kehilangan apa?" "Sesuatu berharga yang hanya sekali menjadi milikmu. Dan bisa hilang ketika ... ya ... kamu tahu lah maksudku." Saskia menghentikan gerakannya. Jelas sekali ia paham apa yang sedang dibicarakan oleh Maxime. Tapi ia berusaha tidak mempedulikannya. "Apa kamu sudah pernah kencan dengan pria lain sebelumnya?" Saskia memutar manik matanya dan menengok sebal ke arah Maxime. "Sebenarnya apa yang ingin kamu bicarakan? Apa hubungannya dengan pengalaman berkencanku? Jangan-jangan, kamu menganggap apa yang terjadi malam itu adalah kencan." Maxime mengangguk cepat. Saskia menghela napas panjang. "Kencan itu dimulai dari dua orang yang saling menyukai. Apa kamu menyukaiku? Jelas tidak. Aku bukan seleramu. Kamu pasti lebih menyukai gadis-gadis cantik yang dari strata sosial yang sama denganmu. Dan apakah aku menyukaimu? Jelas tidak. Aku menyukai pria dewasa yang bisa berkomitmen dan bertanggung jawab. Jadi, rasanya sangat lucu jika kita menganggap apa yang terjadi malam itu sebagai kencan. Kita bahkan tidak pernah membicarakan perasaan dari hati ke hati, benar kan?!" jelas Saskia melempar tanya dan menjawabnya sendiri dengan perspektifnya. Maxime terdiam untuk sesaat. "Benar juga." "Nah, makanya. Lupakan saja yang terjadi malam itu." "Aku longgar Sabtu minggu depan," celetuk Maxime. "Lalu?" "Kita bisa menghabiskan malam berdua di hotel yang sama." "Wah." "Sebotol wine, bunga dan cahaya temaram dari lilin-lilin kecil. Berbincang tentang perasaanmu dan perasaanku. Lalu kita bisa mengulangi kejadian di malam itu secara sadar. Seperti layaknya orang pacaran. Bagaimana? Menarik bukan?" "Tidak bisa." "Kenapa?" Saskia menghela napas panjang. "Aku tidak terbiasa menjalin cinta satu malam. Impianku adalah menjalin hubungan dengan pria yang dewasa, bertanggung jawab dan bisa berkomitmen. Sedangkan dirimu adalah pria petualang dan hidup berdasarkan azas kebebasan. Aku rasa kita tidak cocok. Jadi, anggap saja apa yang terjadi malam itu hanyalah 'kebetulan'." Maxime terdiam. Ia menatap Saskia yang kembali sibuk mengoleskan lipstik berwarna pink nude ke bibirnya. Pria Dewasa? batin Maxime berpikir. Ia masih belum sadar jika ia baru saja ditolak oleh Saskia. "Mas Maximeee!" panggil Alena yang baru saja tiba dengan suara melengking tinggi. "Sial!" Maxime panik seketika, mendengar suara itu berasal dari perempuan yang ia selalu coba hindari. Meskipun tidak mungkin, karena mereka akan selalu bertemu setiap hari di lokasi syuting. Maxime mencoba kabur, tapi malah bertemu dengan Alena di lorong. Lawan main Maxime itu langsung berhambur ke arah Maxime begitu mengetahui posisi Maxime dan mengaitkan kedua tangannya ke lengan Maxime. Sorot mata Maxime seketika datar. Ia sungguh tak menyukai hal ini. Semenjak ia dan Alena menghabiskan malam bersama, Alena selalu berusaha menempel di dekatnya. Dan itu membuat Maxime risih. "Mas Maxime? Itu apa?" tunjuk Alena pada kotak sterofoam yang masih berada di tangan Maxime. "Sarapan." Maxime langsung saja memberikannya pada Alena. "Iiiih, buat aku ya? Waaah, Mas Maxime pasti sudah menyiapkannya spesial untukku. Hmmm, romantis sekali," ujar Alena. Satu hal yang membuat Maxime menyesal berhubungan dengan Alena, gadis ini sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama dalam menyembunyikan rahasianya. Maxime ingat betul, ia sudah pernah mengatakan pada Alena setelah malam itu, agar Alena bersikap biasa saja di lokasi syuting dan berpura-pura seperti tidak pernah terjadi apa pun di antara mereka. Kenyataannya, Alena malah selalu mengekor dibelakangnya. Bahkan, diluar kepentingan adegan. Alena semakin menjadi-jadi, saat sinetron yang mereka perankan sudah menuju ke adegan romansa tokoh utama. Alena selalu menempel dengan alasan agar bisa menghayati peran. Muak dan risih. Dua kata itu yang dirasakan oleh Maxime. Buru-buru Maxime melepaskan rangkulan tangan Alena. "Aku belum menghafalkan naskah. Bye," ujar Maxime. Ia kembali ke ruangan semula, dimana Edward masih duduk di sana menunggu Maxime. "Ed, belikan gue sarapan!" perintah Maxime dengan wajah sebal. "Siapa suruh lu ngasih sarapan tadi ke artis karbitanitu itu." "Lihat sarapan gue ada di dia tuh ...," tunjuk Maxime menggunakan dagunya ke arah Alena. "Hah, dasar!" "Buruan beliin gue sarapan. Mood gue lagi buruk pagi ini." "Iya-iya. Lagian harusnya si Alena yang lu baik-baikin. Dia kan lawan main lu. Kenapa lu malah bad mood setelah ketemu Alena?" "Berisik, buruan beliin gue sarapan!" suruh Maxime dengan intonasi suara yang semakin meninggi. "Ya." Edward sudah terbiasa dengan sikap Maxime yang seperti ini. "Gue udah order lewat O-Food Delivery. Tunggulah. Semoga tidak lama. Syuting pertama dimulai 30 menit lagi." "Ed." "Hm?" "Menurut lu, gue ini pria dewasa kan? Secara, gue kan udah 28 tahun. Pasti gue dikategorikan sebagai pria dewasa."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN