KEGILAAN SASKIA (2)

1013 Kata
"Bagaimana ini? Bagaimana ini, astagaaaa?!" Saskia melirik kikuk ke arah Maxime. Ia membayangkan bagaimana benda panjang itu bisa menerobos miliknya yang selama ini hanya untuk Steven. Mulutnya menganga tidak percaya. Ia merasa ingin menangis membayangkannya. Saskia menggaruk cepat kepalanya yang tidak gatal. "Sialaaan! Jika aku tahu ini akan benar-benar terjadi, aku mungkin tidak akan menerima tawaran Bu Sonya." Tiba-tiba Saskia menyadari sesuatu. Seketika ia menghentikan gerakannya. "Tidak, Saskia! Terjadi atau tidak, itu hanyalah hubungan cinta satu malam, Saskia! Ayo, sadarkan dirimu! Jika kamu tidak menerima tawaran Bu Sonya, peran itu tidak akan kau dapatkan. . Dunia sudah modern dan kehidupan sosial akan selalu dipenuhi dengan nafsu dan khilaf. Lagi pula Steve juga sudah menikah dengan Dania. Tidak salah jika aku juga mencari sedikit kesenangan ," ujar Saskia berusaha menasehati dan menenangkan dirinya sendiri. Ia menarik napas panjang berulang kali untuk menenangkan perasaannya yang sempat panik. "Foto! Ya aku aku mengambil gambar sebelum Maxime bangun," kata Saskia bermonolog. Ia bergegas mengambil ponselnya di meja lampu tidur dan menyelesaikan misinya. Perlahan Saskia menggerakan tubuhnya, mengisut turun dari ranjang. Ia ingin segera mandi dan pergi dari hotel itu sebelum ada orang yang mengetahui jika ia tidur satu kamar dengan Maxime. Namun, gerakan kakinya terhenti. Ia merasakan nyeri di pangkal pahanya. Milik Maxime rupanya jauh lebih besar dari milik Steve. "s**t!" Saskia kembali melirik ke arah Maxime. Ia mencoba abai. Saskia tertatih memungut pakaiannya yang bertebaran di lantai, dan bergegas menuju ke kamar mandi. Sekaligus menunggu Maxime bangun. Ia ingin menanyakan apa yang terjadi sebenarnya sebelum ia pergi. Saskia menyemprotkan banyak parfum ke bajunya. Menutup aroma wine yang masih tercium di baju bekas pakainya, sisa-sisa pesta semalam. Ia tidak terpikir untuk mengambil baju ganti kemarin. Saskia sebenarnya juga menyewa kamar di hotel yang sama. Hanya untuk berjaga-jaga jika misinya gagal. Saskia sudah memesan sup pereda pengar serta beberapa vitamin B kompleks untuk membantu Maxime meredakan efek yang biasa timbul setelah mabuk. Penat Saskia menunggu Maxime bangun. Ia menyerah. Ia akan menanyakannya lain waktu. Dengan cepat Saskia memakai sepatunya dan melangkah menuju ke pintu keluar kamar itu. "Mau ke mana?" Suara pria yang melempar tanya itu menghentikan langkah kaki Saskia. Saskia mendesah napas panjang lega sebelum menengok kebelakang dan menghampiri Maxime. Ia kembali mendatangi Maxime. Tanpa basa-basi Saskia mengambilkan segelas air putih dan 2 tablet vitamin yang sudah ia siapkan. Kemudian memberikannya pada Maxime. Ia membutuhkan laki-laki itu agar cepat sadar untuk menjelaskan apa yang terjadi semalam. "Minumlah. Ini bisa meredakan pusing." Maxime menatap wajah Saskia, sementara tangannya menerima obat dan segelas air putih dari Saskia. "Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Saskia. Ia tidak mau terbawa suasana karena tatapan Maxime yang memiliki banyak definisi emosi. Maxime menggelengkan kepalanya dan meminum tablet yang diberikan oleh Saskia. Usai meneguk tablet vitamin itu, Saskia menyerahkan nampan dengan semangkuk sup daging rempah pereda pengar untuk Maxime. "Makanlah," perintah Saskia. Maxime tersenyum menuruti perintah Saskia. Ia menyukai perempuan yang cepat dalam mengambil keputusan dan penuh inisiatif. Maxime bukanlah sosok yatim piatu, tapi sejak kecil ia merasa hidup seperti anak yatim piatu yang haus kasih sayang. Perhatian kecil berupa semangkuk sup dan vitamin seperti ini saja, sudah bisa meluluhkan hatinya. Tiba-tiba Maxime mengulurkan satu sendok suapan sup ke arah bibir Saskia. "Makanlah bersamaku." Saskia menggelengkan kepalanya. Ia belum berselera makan pagi ini. "Hhhh, ya sudah." Maxime melanjutkan sarapannya. "Max, semalam apa yang terjadi?" tanya Saskia. Maxime mengangkat nampan di pangkuannya dan mengintip tubuhnya sendiri dari balik selimut. "Aku tidak berpakaian. Aku rasa kita semalam melakukannya," jawab Maxime dengan entengnya dan kembali melanjutkan sarapannya. "Kau tidak mengingat apa pun?" "Ingat. Sedikit. Kenapa memangnya?" "Kau tidak memakai pengaman?" "Kalau itu aku tidak ingat." Saskia menghela napas panjang dengan wajahnya yang tampak lesu seketika. Ia ingat betul, minggu lalu tamu bulanannya baru saja mengakhiri kunjungan. Dan itu artinya kali ini ia berada dalam masa subur. Bagaimana jika ia hamil... tapi tunggu jika ia hamil maka Steve akan- "Kenapa memangnya?" tanya Maxime. "Aku benci melakukan hal yang tidak dapat aku ingat." Maxime tersenyum lebar. "Aku tahu maksudmu. Bagaimana jika kita melakukannya lagi? Ketika kamu dan aku sama-sama sadar seperti ini. Pasti akan ada kenikmatan yang bisa diingat." "Sembarangan kamu kalau bicara. Aku tidak berharap kita melakukannya semalam. Kau seniorku. Bahkan, aku sempat berpikir jika gosip itu benar," tukas Saskia lalu memutar bola matanya. "Sudah aku bilang, aku bukan gay. Kenapa dengan semua orang ini?! Ck!" "Wajar saja semua orang berpikir begitu, kamu tidak pernah tampak bergandengan dengan wanita mana pun." "Saskiaaa ... lihat dirimu dan diriku sekarang. Kita di kamar hotel yang sama. Menikmati malam yang sepertinya 'panas', tapi kita tidak bisa mengingatnya. Dan kini aku sedang menikmati sup rempah yang entah dari mana kau mendapatkannya. Publik tidak tahu. Media juga tidak tahu. Jika aku adalah gay, seharusnya semalam aku merangkul Vino atau Candra ke kamar ini. Tapi, aku memilih merangkulmu. Sesederhana itu," jelas Maxime lalu kembali menyantap supnya. Saskia terdiam sejenak. Dalam hati, ia membenarkan apa yang dikatakan Maxime. Tapi, bukankah semalam ada Alena juga. Kenapa Maxime malah memilih dirinya? "Kenapa kau memilihku? Bukan Alena?" pancing Saskia. Ia hanya penasaran misinya bisa semulus ini. Padahal ia hampir tidak pernah memiliki kedekatan dengan Maxime sebelumnya. "Alena itu gila kalau sedang mabuk. Cukup sekali saja aku berurusan dengan gadis itu," gumamnya tampak kesal. "Hah?" Saskia terperangah mendengar jawaban Maxime. "Jadi ... kau sudah pernah melakukannya dengan Alena juga?" "Kita terlibat di dalam sinetron percintaan yang sama selama hampir dua tahun. Bagaimana aku bisa menahannya?" Sekali lagi Saskia menghela napas panjang dan membuang muka ke arah lain. Ya, dia bukan gay. Dia hanya playboy yang sangat licin dari tangkapan media, batin Saskia. Dan itu membuatnya lebih jijik dari pada harus bercinta dengan seorang gay. "Ya sudah habiskan sarapanmu. Aku harus pergi," ujar Saskia sembari mengumpulkan pakaian Maxime yang masih berserakan di atas lantai. "Tinggalah lebih lama bersamaku," pinta Maxime dengan wajah manjanya. "Ada hal yang harus aku urus hari ini." Saskia meletakkan pakaian Maxime ke atas kasur lalu membelai pria itu dan mengecup pipinya untuk meninggalkan kesan baik. "Baiklah. Aku masih boleh kan dekat denganmu?" Saskia hanya tersenyum dan tidak berkenan menjawab. Ia lalu permisi dengan perasaan aneh di dadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN