"Berani sekali kau menghidupkan pompa dalam keadaan sulit air seperti ini, udara panas dan kering, hujan jarang turun dan kau malah menyia-nyiakan air!"
teriak Ibu sambil pergi mendekati mesin dan berniat mematikannya.
"Ibu tidak bisa menyentuhnya, aku benar benar sudah sakit hati dengan ini! Kenapa perkara air saja ibu pelit sekali!"
"Ada apa kamu, Aidil?" ujar Kak Yanto kakaknya yang tertua. Kak Yanto adalah kakak bertubuh tinggi dengan kulit gelap, perawakan serta roman mukanya tegas membuat orang takut dan segan ketika berjumpa dengannya.
"Aku hanya protes kenapa seseorang membatasi air bagi seorang ibu yang baru melahirkan dan membutuhkan lebih banyak untuk bersih bersih dan mencuci!"
"Apa salahnya berhemat, dari dulu desa kita memang kesulitan air bersih!" Ujar Kak Yanto mendekat.
"Matikan mesinnya."
"Aku tak akan matikan sampai ibu mengizinkan istriku untuk menggunakan air lebih banyak."
"Istriku juga pernah melahirkan dan mengalami masa nifas tapi aku tidak membuat kehebohan seperti ini. Jika kau merasa air yang dikatakan ibuku rasa kau bisa suruh dia untuk pergi ke sungai atau mencuci baju anakmu di parit irigasi yang airnya gratis."
"Jangan keterlaluan kak, Mana mungkin aku mencuci baju bayi di air berlumpur coklat macam itu, jangan konyol Kak!"
"Lah, kami juga melakukan apapun waktu itu, istri mami tidak manja, atau merengek. Dan katakan juga pada istrimu untuk sedikit-sedikit jangan mengadu pada suaminya, sikapnya yang demikian merenggangkan hubungan keluarga dan aku bisa menampar mulutnya!" Bentak Kak Yanto dengan mata lebarnya.
"Yang dia lakukan sudah benar, dia berusaha menuruti ibu mertuanya, lalu puncaknya Zahra pendarahan karena terlalu lelah menggeret air di sumur. Jadi aku belikan dia seember lagi agar dia punya stok air namun ibu mengancamnya dan mempersulitnya.
Kami supaya berhutang dan ibunya memecahkan ember itu!"
"Jangan bohong, kamu! Aku tidak pernah mengancam seperti itu ucap Ibu sambil berteriak histeris kepada Kak Aidil, suasana menjadi riuh kakak iparku yang lain yang tadinya tidak keluar dari rumahnya kini ikut keluar dan menengahi."
"Sudah stop, diam, malu sama tetangga," ujar Kak Dani bersama istrinya Mbak Devi.
"Tolong beritahu ibu, tolong pengertiannya, istriku sakit dan butuh air lebih untuk mandi dan cuci, apa sulitnya menambah seember lagi, sudah berhari hari ibu bersikap keterlaluan," ujar Kak Aidil yang nampak diserang oleh saudaranya dari berbagai arah.
"Anak ini memang kurang ajar, mentang-mentang sudah menikah jadi lupa dengan jasa baik dan pengorbanan orang tua!" tuding Ibu.
"Mana istrinya?"
"Ada tuh, di kamarnya, tukang adu domba macam dia harus ditampar sampai bibirnya berdarah," ujar ibu Hatimah dengan lantangnya.
Kedua iparku yang sudah emosi datang dan menggedor rumah, aku yang takut segera memeluk bayi dan meringkuk di sudut ranjang dengan gemetar.
"Zahra, buka pintunya!" ujar Kak Yanto dengan lantang.
"Jangan ganggu istriku!" teriak Kak Aidil dengan berani.
"Halah, kurang ajar kamu, gegara dia kamu rela menguras sumur sampai air hanya menyisakan debu yang keruh!"
"Itu semua kulakukan agar kalian semua tahu kesulitan apa yang kini dirasakan istriku!"
Bugh!
Bugh!
Dari celah pintu kulihat suamiku di pukuli oleh kedua kakaknya, dia dicekik dan dihajar hingga terkapar di pagar teras.
Aku yang tidak tahan melihat penderitaan Kak Aidil langsung, membuka pintu, mendekat dan menghampirinya.
"Ya Allah, Kak ...." Tak sanggup diri ini melihat suami yang sudah lebam dan berdarah mulutnya.
"Kamu ya, yang mengajari Aidil untuk kurang ajar!" ujar Kak Yanto menarik lenganku, untung saja bayi tidak terlepas di tangan.
"Tidak kak, saya tidak menyuruh beliau marah, saya hanya meminta agar Kakak aidil membayar ember sebelum ibu yang tidak terima kami mencicil, memecahkan ember tersebut," jawabku.
"Sudah Kak, cukup, gak enak sama orang lewat, mereka semua memperhatikan kita," ucap Mbak Devi sembari memisahkan Kak Dani and Yanto dari suamiku.
"Ini semua karena bocah miskin yang pandai meracun pikiran putraku, dia kompor meleduk!"
Sebenarnya yang kompor panas adalah dirinya, andai ibu mertua tidak berteriak-teriak mungkin kak Dani dan Kak Yanto tidak akan emosi terhadap suamiku, ayah bayiku.
"Ada apa ini ribut ribut!" Tiba-tiba orang yang paling kami takuti terlihat datang dari kebunnya, dia yang masih menyarungkan parang di bagian pinggang nampak melotot dan mengedarkan pandangan ke arah kami satu persatu.
"Bapak ...." Semua orang seketika bungkam.
Bapak mertua terkejut melihat mesin Honda dan halaman basah, juga wajah Kakak aidil yang matang oleh pukulan.
"Katakan padaku, apa yang terjadi?" ujar Bapak sambil mengeluarkan parang dari sarungnya. Tentu gentar dan gemetar tubuhku menyaksikan itu. Tidak bisa kau bayar kan bapak mertua yang terkenal amat bengis mengetahui permasalahan yang sebenarnya bisa-bisa aku yang akan dicincang.
"Perkara air Kak Haji ... Wanita itu mengajari anakku untuk melawan ibunya. Selama ini aku sudah jatahkan air dan masih saja mereka merasa tidak cukup! Tidak sadar apa, kalau segala sesuatu harus dibagi dalam keluarga kita?!" Wanita bermulut pedas itu berkacak pinggang di hadapan suaminya dan Kak Aidil yang kini ku peluk di d**a.
"Tidak Abah, saya tidak mengatakan apapun," sanggahku dengan suara parau. Aku yang telah memang sakit dan meriang dari awal kini harus tegang dan khawatir melihat roman muka ayah mertua. Aku makin ketakutan dan gemetar saja, melihat parangnya yang berkilat.
"Kau ikuti aturan rumah ini atau kau angkat kaki saja dari tempatku!"
"Maaf Abah," jawabku dengan suara tertahan, aku bahkan tidak berani mengais udara saking gentarnya.
"Aku akan berikan apapun yang kamu inginkan, aku akan berikan rumah bahkan mobil juga tapi syaratnya bercerailah dengan anakku dan serahkan putrimu! Setelah itu kau boleh pergi kemanapun saja kau mau, kau bisa hidup sesukamu dan gunakan aturan
mu sendiri!"
Mendengar itu seketika saja tenggorokanku terasa kering, Bagaimana mungkin seorang pria, pemimpin keluarga yang terhormat dan sudah banyak pengalaman ilmunya, mengatakan hal itu kepadaku.
"A-apa? Tapi, apa salah saya?"
"Menyalahi aturan," jawabnya dengan rahang bergeletuk.