9

1334 Kata
Dalam keadaan yang sudah rusuh seperti itu tiba-tiba kak Tina datang dari tempat dia bekerja sebagai guru. Wanita itu dengan segera menepikan motornya dan setengah berlari menghampiri kami. "Abah, Ibu apa yang sedang terjadi di sini?!" Seakan punya firasat dia segera berlari dan menghampiriku. "Kami sudah memberi pelajaran kepada wanita yang sedang tidak tahu diuntung ini!"ucap Ibu sambil berkacak pinggang dan menunjuk dengan jari telunjuknya. Kakak Tina yang seakan paham apa yang terjadi setelah melihat pekarangan becek dan mesin pompa segera menggendong anakku dan memintaku untuk bangkit. "Ayo bangun masuklah ke dalam," suruhnya dengan suara lembut namun penuh penegasan. Kakaknya suamiku. yang nomor dua ini memang satu-satunya yang merupakan PNS dan bersekolah tinggi dalam keluarga mertuaku. "Jangan coba untuk melindungi wanita ini! karena kami akan mengusirnya!" "Abah, Ibu, tolong tenang ya, malu dilihat orang, dia ini adalah menantu kalian dan ia sedang sakit, saya mohon Abah ...." "Beraninya dia yang kemarin sore datang ke rumah ini ingin membuat kekacauan! Aturan yang sudah kami buat selama bertahun-tahun berjalan dengan baik dan tidak pernah diganggu gugat, memangnya kenapa kalau aku hanya menjatuhkan suatu bak air kepada masing-masing rumah! Apa seorang dari kalian semua ada yang meninggal atau kejang-kejang?!" "Masalahnya istriku sedang mengalami nifas dengan darah yang banyak sehingga dia harus selalu mengganti baju dan mencuci dirinya sendiri kalau hanya seember air mana cukup untuknya dan diriku!" jawab Kak Aidil. Tapi setiap kali dia menjawab kakaknya selalu melayangkan pukulan ke wajah suamiku. Sekali lagi aku terhenyak ketakutan dan menangis sementara Kak Aidil semakin disakiti saja. "Kak Yanto dan kak Dani kembalilah ke kegiatan masing-masing, saya akan bicara 5 dengan mereka berdua," ujar Kak Tina. "Apa yang mau kamu bicarakan pada dua manusia yang tidak paham omongan?!" "Saya akan pastikan mereka minta maaf kepada ibu dan tidak mengulangi kesalahannya." "Oh ya?" Wanita itu mendelik sambil membusungkan d**a dengan aksen kemenangan dan kesombongannya, dia menatap padaku dengan penuh kebencian sekaligus ingin sekali menghina. "Kalau masuklah ke dalam rumah Ibu dan Abah, yang tua harus bersikap tenang agar yang mudah pun bisa berpikir dan mengoreksi kesalahannya sendiri. Saya mohon ya Abah, ibu ....." "Pastikan wanita itu minta maaf padaku aku tidak akan mengampuninya kalau dia berani berbuat seperti itu lagi!" "Iya, aku menjaminnya Bu!" "Lihat untung kalian punya Tina yang membela kalian, andai dia tidak pulang, mungkin aku telah melempar kalian ke jalanan!" ujar wanita itu sambil membalikkan badan. Kepergiannya diikuti juga oleh kepergian Ayah ngerti keadaan dua iparku yang lain beserta istri dan anak-anaknya. Tinggal kini aku dan suamiku yang saling memandang dalam kesedihan kami masing-masing, Aku tahu baik-baik aku dan dia sama-sama tidak punya pembela. Kedua anak mertuaku yang lain sifatnya hampir sama dengan ibunya, sementara istri-istri Mereka takut pada suaminya dan tidak berani membangkang. Pun keponakan yang juga gentar kepada kakek dan nenek mereka. Di sini kami hanya punya kak Tina yang sedikit pengertian, mungkin karena berpendidikan tinggi sehingga pikirannya terbuka. * "Lain kali bicaralah padaku sebelum melakukan sesuatu, Andai tidak pulang tadi Mungkin kalian akan terbunuh. Tahu sendiri kan sifat Abah dan saudara-saudaramu yang lain Aidil?" "Iya saya tahu Kak tapi saya benar-benar kecewa dan emosi." "Nanti malam setelah keadaannya agak tenang, aku berharap kalian pergi menemui Abah dan ibu untuk minta maaf. Yakinkan mereka untuk memaafkan kalian dan kalian tidak akan mengulangi kesalahan yang sama." "Aku enggan untuk minta maaf karena sudah sakit hati sekali, hanya perkara air saja ... mengapa sampai seperhitungan itu!" "Itu sudah hal biasa yang dilakukan ibu sejak dulu. Air sumur terbatas dan harus cukup dipakai bersama, tahu sendiri kan, keadaan desa kita sudah air, kering kerontang dan jauh dari sumber air bersih. Kita beruntung punya sumur yang airnya bisa dibagi, dibanding rumah dan hidup orang lain, kita jauh lebih sejahtera," ucap Kak Tina dengan lembut. "Hah, sejahtera kata kakak?" Suamiku melengos dengan tawa getir. "Kalau sejahterah itu artinya segala kebutuhan tercukupi, ini jangankan kebutuhan mewah, kebutuhan pokok saja kesulitan. Aku menjadi b***k di kebun orang tuaku sendiri di mana upahnya sendiri harus mengemis-ngemis dahulu baru bisa didapatkan!" "Hush, jangan ngomong begitu ibu dan abah akan marah jika mendengarnya!" "Seseorang harus mengatakan itu dengan lantang Kak kalau tidak maka ini akan berlarut-larut terjadi." "Lihat kehidupan Mbak Devi dan Kak Tania, Bukankah kedua iparmu baik-baik saja kan?" tanya Kak tina sambil mengernyitkan alisnya. "Tentu saja mereka sejahtera Kak Mereka bisa beli emas dan jajan sepuasnya, karena Ibu memberinya uang lebih! Lah, istriku? Jangankan diberikan emas, jatah air pun tidak harus sudi ditambahkan!" "Begini, Kakak sarankan untuk minta maaf dan mengambil hati ibu dan Abah jika kalian berhasil maka aku yakin mereka akan memaafkan kalian dan memberikan kalian kesempatan mungkin setelah berubah menjadi lebih baik hati Abah dan ibu akan luluh lalu memperlakukan kalian seperti anak-anak yang lain, maksudku dalam pembagian jatahnya," ujar Kak Tina sambil mengangguk meyakinkan. "Padahal posisiku juga sama Kak sebagai anak aku juga bekerja dan menguras tenaga di kebun!" "Aku akan bicarakan itu pada ayah dan ibu, tapi sebelumnya kalian pun harus minta maaf kepada mereka." Setelah mengatakan hal demikian, Kak Tina lantas pamit dan pergi dari rumah kami. Usai kepergian Kak Tina kuhampiri suamikuz tatapan kami bertemu, lalu kami berdua berpelukan dalam kesedihan yang mendalam. Kami berdua saling bertangisan dan berusaha untuk saling memahami kekurangan masing masing. "Maafkan aku ya ...." "Iya, Kak, gak apa apa. Demi kebaikan Kakak sekeluarga sebaiknya nanti malam kita pergi minta maaf!" "Aku melarangmu pergi," ujar suamiku. "Tidak apa apa, Kak ..." "Aku khawatir kita malah akan tambah dipermalukan." "Insya Allah tidak." Malam hari itu selepas salat isya Kak Aidil dan aku segera pergi ke anjungan rumah ibu mertua. Biasanya semua anggota keluarga berkumpul di sana menonton tayangan bola sambil bercengkrama dan makan pisang goreng. Mertuaku memang sedang mengumpulkan anak-anaknya untuk diajak makan bersama dan diberikan wejangan hidup yang lebih terdengar seperti wejangan hidup komunis. Mereka didoktrin untuk selalu mengikuti apa saja yang ibu aturkan. "Assalamualaikum," ucap Kak Aidil. "Walaikum salam," ujar mereka serempak, seperti yang kuduga semua orang ada di ruang utama yang terbuka lebar. "Hah katakan kau mau apa!" ujar Abah sambil menatapku dengan anaknya. "Kamu kemari datang untuk minta maaf," ucap Kak Aidil. "Oh ya? Sebenarnya yang salah bukan dirimu tapi istrimu, Dia adalah wanita beracun yang mengembuskan adu domba." Sesaat mata suamiku terpejam sementara tangannya mencengkeram erat jemari jemarinya, aku tahu suamiku kesal tapi aku memberinya tatapan yang mengisyaratkan bahwa aku ingin dia menahan diri. "Maafkan kami," ucap Kak Aidil. "Bagus! Untung saja ada Tina yang tadi kalau membelamu, andai dia tidak ada, tentu aku sudah menggorok lehermu! Kau boleh pergi jdan jaga anakmu, sementara istrimu harus tetap disini karena kami akan bicara padanya," ucap Abah. Aku yang mendengar itu mulai merasa tidak enak. "Tapi Bah ..." "Pergilah," tegas Abah pada anak bungsunya. Kaidah disuruh pergi, begitu pun dengan Mbak Devi dan Mbak Tania. Tinggallah aku yang duduk bersimpuh di hadapan anggota keluarga inti. Aku duduk di hadapan mereka yang menghakimiku seakan-akan diri ini adalah tahanan yang bersiap menerima hukuman. "Apa kau benar-benar ingin minta maaf?" "Iya." "Apa kau menyesali perbuatanmu?" "Iya." "Baiklah kami memaafkanmu, kau boleh pergi," ujar ibu mertua dengan tawa sinis. "Terima kasih Ibu, Terima kasih atas kemurahan hati Abah dan ibu!" Aku bersimpuh lalu mundur untuk pamit meninggalkan anjungan rumah mertuaku. Tapi baru saja mundur dua langkah tiba-tiba mereka menahan diri ini. "Tunggu!" "A-ada apa Ibu?" "Kedatanganmu telah mengotori rumahku! Kau harus membersihkanya!" Tentu saja ucapan ibu mertua seperti sambaran petir yang melukai wajahku. "Bagaimana saya bersihkan. Apakah saya harus mengepelnya?" "Ya, lepaskan baju yang kau gunakan itu dan gunakan untuk mengepel bekas dudukmu! Aku jijik wanita kampung yang kotor dan berhati busuk menduduki anjungan rumahku! Segera bersihkan!" teriaknya dengan lantang. Seketika saja bulir bulir air mataku jatuh begitu saja ke lantai kayu, aku tidak mengira akan dipermalukan sedemikian rupa oleh mereka. Ibu mertua berkata dengan kasar dan angkuhnya sementara anak cucunya hanya menyengir dan tertawa saja. "Apa yang kau tunggu! segera lepaskan pakaianmu!" Aku tersentak, karena mereka menyuruhku dengan serius. Mereka sengaja melakukannya untuk melecehkan martabat dan harga diriku. "Lantas apa yang harus aku lakukan sekarang haruskah aku bertelanjang d**a di hadapan mereka semua?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN