Jimmy melangkah dengan pasti ke arah tujuannya. Di mana selama sebelas tahun ini temannya selalu berada di tempat yang sama demi menanti kedatangan seorang anak manusia yang sekarang entah di mana. Dan selama itu pula Jimmy tidak habis pikir dengan teman ularnya yang dengan suka rela menunggu gadis itu di tempat yang sama ketika mereka bertemu. Padahal sudah jelas gadis kecil itu tidak akan datang kembali. Mau sampai kapan ular itu mau menunggunya. Siapa yang tau jika ternyata gadis yang ditunggunya itu ternyata sudah mati. Sia-sia penantiannya bukan. Kadang Jimmy merasa kasihan padanya sekaligus merasa beruntung dengan dirinya sendiri yang adalah seorang Werewolf. Meski Jimmy belum menemukan matenya hingga saat ini, namun setidaknya dirinya mengetahui bahwa matenya masih hidup dan setia kepadanya. Entah di belahan mana soulmatenya bersembunyi namun Jimmy yakin, dirinya pasti akan segera menemukan pasangan takdirnya di waktu yang tepat.
Pernah suatu ketika pria serigala itu mengutarakan pikirannya secara terang-terangan mengenai gadis kecil yang ditemui Evan, bermaksud mencoba membuka jalan pikiran teman ularnya itu. Namun hasilnya pria itu mendiaminya selama setahun. Luar biasa sekali.
Seperti perkiraannya. Teman ularnya itu sedang berjemur melingkar di atas batu besar tidak memedulikan keberadaannya yang baru saja datang.
"Evan." panggil Jimmy setibanya pria itu di tempat.
"Hmm."
"Kau tidak ingin pulang ke markas kita? Mereka semua mencarimu, Evan."
"Belum saatnya, Jimmy. Masih ada urusan yang menungguku di sini." jawaban pria ular itu membuat Jimmy menghela nafasnya lelah.
"Hahh, sampai kapan kau akan tetap di sini menunggunya, Evan. Sudah kubilang gadis itu tidak akan ke sini lagi. Lihatlah berapa lama waktu yang telah kau buang percuma. Kau tidak pernah tahu apa yang sudah terjadi pada gadis itu bukan?! Mungkin saja gadis itu sudah ..."
"DIAM JIMMY!" bentak Evan. Pria itu tidak ingin lagi mendengar Jimmy mengatakan sesuatu tentang gadis kecilnya lagi. Gadis itu masih hidup. Evan yakin dengan hal itu.
"Jangan kau teruskan ucapanmu lagi atau aku akan membunuhmu!" ancamnya kemudian.
"Evan! Aku hanya ingin kau tidak melakukan hal yang sia-sia seperti ini. Gadis itu hanyalah seorang manusia lemah dan kau, membenci manusia lemah, kau ingat!"
"Dia berbeda Jimmy. Dan kau yang menyadarkanku tentang itu bukan."
"Astaga Evan. Sekarang aku benar-benar menyesal telah menggodamu waktu itu. Apa kau benar-benar menyukai gadis itu?! Kau bahkan tertarik pada gadis seumur jagung Evan! Apa kau seorang Pedophil heh?!" ucapan Jimmy sukses mendapatkan tatapan tajam dari ular itu.
"Apa? Sebutan apa lagi yang pantas kau dapatkan selain itu. Kau menyukai gadis sekecil itu Evan. Apa namanya jika bukan seorang Pedophillia."
"Terserah apa katamu Jimmy."
"Yak ular! Apa aku harus memukul kepalamu itu agar kau sadar ..."
"Sshh diamlah! Anjing kecil." desis Evan langsung memotong ucapan Jimmy karena merasakan sesuatu. Ular itu menegakkan kepalanya sambil berusaha melihat sekelilingnya seakan mencari sesuatu.
"Ck, aku bukan anjing kecil, Evan!" sungut Jimmy tidak terima dengan panggilan teman ularnya itu.
"SSSHHH!" desisan Evan yang mengarah tepat di depan wajahnya membuat Jimmy sontak terdiam. Sadar bahwa ular itu sedang tidak ingin diganggu saat ini. Jimmy memilih memerhatikan saja apa yang sedang dilakukan ular itu.
"Aku menemukannya, Jimmy!" seru ular itu kemudian.
"Apa? Apa yang kau temukan?" tanya Jimmy masih tidak mengerti dengan sikap aneh Evan.
"Gadis itu. Gadis kecilku telah kembali. Aku bisa merasakan tanda yang kuberikan pada tubuhnya sekarang. Aku harus pergi!" seru Evan dengan seringainya. Tanpa aba-aba, ular itu langsung melesat pergi meninggalkan Jimmy yang masih melongo menatap ke arahnya.
"Hah dasar pedophil." umpat Jimmy kemudian.
***
Seorang gadis manis tengah sibuk menata barang bawaannya di dalam kamar yang dulu pernah ditempatinya. Elena baru saja sampai beberapa menit yang lalu di rumah neneknya. Gadis itu memilih liburan ke rumah neneknya setelah hari kelulusannya dari Sekolah Menengah Atas diumumkan. Dirinya butuh udara segar saat ini setelah mengurusi pemakaman kedua orang tuanya yang baru mengalami kecelakaan sebulan yang lalu. Elena ingin menata hatinya kembali. Dengan tinggal bersama nenek satu-satunya untuk sementara waktu. Gadis itu bisa sekalian menjaganya di sini. Elena juga berencana menunda jadwal kuliahnya entah setahun atau dua tahun kemudian. Karena Elena masih belum siap menghadapi tugas-tugas yang pastinya akan membuatnya semakin kelimpungan nantinya. Baru saja gadis itu selesai menata barang bawaannya di almari kamar, suara neneknya terdengar memanggilnya.
"Elena! Sudah selesai belum? Ayo makan dulu nak." mendengar seruan neneknya, gadis itu segera beranjak dari tempatnya.
"Iya, nek!" Elena keluar dari kamarnya menemui nenek tanpa menutup jendelanya. Dan itu memudahkan Evan yang sedari tadi mengawasinya dari remang-remang hutan di sekitar untuk memasuki kamarnya lagi. Dirinya benar-benar senang melihat gadis kecilnya telah tumbuh dewasa. Semakin menarik di matanya.
Mereka berdua makan dengan tenang. Sesekali neneknya juga memandang sendu cucunya yang menjadi lebih pendiam setelah kepergian anak dan menantunya. Terlihat sekali gadis itu berusaha untuk tegar.
"Sayang, kau tidak mencoba pendaftaran kuliahmu? Akan lebih baik kamu membuka hal yang baru, Lena." bujuk Maria, nenek Elena.
"Tidak sekarang, nek. Kumohon." jawab Elena. Maria menghela nafasnya menyerah. Sudah beberapa kali mereka membicarakan tentang ini. Dan anak itu tetap dengan keputusannya.
"Ya sudah. Apa pun keputusanmu semoga itu bisa membuatmu menjadi lebih baik sayang." ujar Maria kemudian. Elena memberikan senyum tipis ke arah neneknya.
"Terima kasih, nek. Saat ini, Lena hanya ingin menemani nenek. Hanya nenek satu-satunya keluarga yang Lena punya sekarang. Lena ingin menjaga nenek saja di sini. Jadi jangan menyuruh Lena pergi. Lena sayang nenek." ucap Elena. Gadis itu mendekap tubuh wanita paruh baya yang masih terlihat sehat itu dengan sayang. Menciptakan senyuman kecil di wajah keduanya.
"Khekhekhe apa pun untukmu, cucu nenek tersayang." kekeh Maria.
"Nah sekarang, biar Lena yang beresin ini. Nenek bisa istirahat sekarang." ucapannya dibalas anggukan Maria kemudian.
Malam semakin larut. Setelah membereskan semuanya dan mengecek pintu dan jendela telah tertutup rapat, Elena pergi ke kamarnya. Penerangan di kamar gadis itu memang sengaja diredupkan. Elena lebih suka tidur diterangi cahaya bulan. Apalagi di desa neneknya, bulan terlihat lebih jelas dan indah dari kamarnya.
***
"Eunghh!" lenguhan Elena terdengar samar dalam kamarnya.
Sesak. Kenapa rasanya berat sekali badanku. Apa ini yang dinamakan ketindihan? Ah aku mengantuk. Tolong jangan menggangguku siapapun kau! batin gadis itu berteriak.
Elena mencoba menjemput mimpinya kembali. Namun susah ketika dirasanya sesuatu yang berat itu semakin melilitnya. Membuatnya semakin susah bernapas. Alis Elena mengerut merasakan suhu panas yang menjalar dalam lilitan tubuhnya kemudian bergerak merayap melewati belahan dadanya dan mengarah ke ceruk lehernya.
Ini tidak benar! Makhluk astral tidak sepanas ini. Dan mereka tidak, mendesis!
Dengan paksa Elena membuka matanya setelah merasakan keanehan itu. Dan gadis itu langsung membeku di tempat. Di hadapannya kini ada kepala ular berukuran besar tengah mendesis ke arahnya. Baru disadarinya ular itu telah membelit dengan kuat tubuh kecilnya.
Elena bergetar. Tidak berani bergerak sedikit pun karena takut ular itu akan langsung menelannya bulat-bulat jika terjadi gerakan sedikit saja. Dan suaranya, lupakan saja. Bahkan kalaupun gadis itu bisa berteriak, Elena tidak akan berani berteriak di depan ular besar yang kini tengah mendekatkan moncongnya pada bibir gadis itu. Elena menitikkan air matanya dalam diam. Hanya itu yang bisa dilakukannya.
Apakah ini akhirku? Aku bahkan belum sempat membuatkan makanan kesukaan nenek di sini. Hik, ayah, bunda, nenek...
Elena memejamkan matanya merasakan moncong ular itu telah menyentuh bibirnya. Lidahnya menjulur menjilat seluruh area permukaan bibirnya. Elena memasrahkan diri. Biarlah ular itu menelannya. Elena ingat telah mengunci pintu kamarnya, karena itu Elena yakin, neneknya tidak akan bisa masuk ke dalam kamarnya saat ini. Dan ular itu, semoga segera pergi setelah menelannya. Neneknya pasti bisa selamat.
Tunggu! Kenapa ular itu tetap melumat bibirku?
Tunggu! Memangnya ular bisa melumat bibir mangsanya seperti ini?
Tunggu! Apa sekarang ular itu sedang menciumku?!
Elena membuka matanya ketika dirasanya lidah ular itu bergerak menerobos masuk dari celah bibirnya. Dan gadis itu semakin membolakan matanya ketika pandangannya bersirobok dengan kedua mata hitam yang tajam menatapnya di balik bulu mata tebal dan panjang pria itu. Elena dibuat linglung seketika. Kenapa ular itu begitu tampan. Meski hanya terlihat siluet dari garis wajahnya di dalam keremangan kamarnya namun Elena yakin pria itu memang memiliki wajah yang tampan.
Tidak! Bukan! Mana ada ular yang setampan ini! Ular ya tetap saja ular!
Lalu siapa dia? Di mana ular yang melilitnya tadi?
Elena terlalu sibuk dalam pikirannya hingga membiarkan pria itu semakin liar menginvasi bibirnya. Membuat pria itu menyeringai senang. Elena sontak tersadar ketika pria itu mulai menjamah aset bagian depan tubuhnya. Barulah gadis itu mulai memberontak. Ditepisnya tangan besar itu dari asetnya dan Elena langsung mendorong tubuh itu. Namun usahanya hanyalah sia-sia belaka. Pria itu bahkan tidak berpindah sedikit pun. Dan semakin gencar melumat bibirnya. Tidak mempedulikan nafas gadis itu yang sudah mulai habis. Pria itu tidak melepaskan pandangannya sedetik pun dari raut wajah gadis di bawahnya yang telah memerah karena susahnya pasokan udara yang masuk. Hingga Elena menutup matanya kembali, tidak sadarkan diri. Barulah pria itu melepaskan pagutannya. Ditatapnya gadis itu dingin.
"Itu hukuman untukmu, gadis kecil. Selanjutnya aku tidak akan membiarkanmu menghilang lagi dari pandanganku. Aku bersumpah!" ucap Evan.