Lena membuka tudung dari panci dan tersenyum senang melihat ubinya telah matang sempurna. Dengan hati-hati disalinnya ubi-ubi itu ke piring kemudian dibawa ke ruang tamu untuk disantap bersama neneknya.
"Wahh warnanya cantik." seru neneknya sambil mengupas kulit ubinya yang menampilkan warna ungu. Sesekali Maria meniup ubi yang masih panas dalam genggamannya itu. Elena sendiri mengambil ubi yang berwarna oranye cerah.
"Iyakan nek. Cobalah punyaku ini. Rasanya manis." disuapkannya ubi yang telah ditiupnya untuk sang nenek.
"Kau benar. Kemarilah, coba punya nenek juga."
"Hmm ... warnanya unik. Kufikir rasanya akan sedikit pahit ternyata manis."
"Hahaha karena warna ungunya yang terlihat gelap kan. Kau harus berani mencoba semua hal yang baru kau lihat agar lebih mengenal lebih jauh sayang. Jangan hanya melihat kulit luarnya saja. Begitu juga dengan seseorang yang baru kau kenal. Lena bisa lihat sendiri di pasar banyak pemuda bertato dan bertindik tapi mereka begitu baik dan ramah pada nenek bukan."
"Nenek benar. Tapi tidak salah juga untuk bersikap waspada kepada mereka bukan. Nenek tahu, di kota banyak sekali pemuda tampan, tapi berhati preman."
"Kau benar sayang. Tapi cobalah menilai mereka dengan hatimu juga. Jika merasa hatimu nyaman, maka tidak ada salahnya untuk mengenal mereka bukan."
"Baiklah nek."
"Jadi bagaimana pendapatmu tentang Rian."
"Kok dia lagi sih nek." Elena mengerucutkan bibirnya ketika menyadari nenek sedang menggodanya.
"Nenek lihat kalian cocok sayang. Rian itu anaknya Kepala Desa sini. Anaknya tampan, rajin dan pintar. Jadi incaran gadis desa sini juga. Nenek senang kalau kamu sama dia."
"Tapi Elena kan baru ketemu tadi pagi nek. Lagian belum tentu juga dia suka sama Lena."
"Jadi artinya kamu mau sama dia kan."
"Y-Ya enggak gitu juga nek." Elena bingung harus menjawab apa. Dibilang suka juga Elena memang terpesona dengan dimplenya. Tapi kalau untuk berhubungan, Elena merasa juga itu terlalu berlebihan.
"Baiklah baiklah. Nenek mengerti. Nenek akan bantu kalian bersatu bagaimana? Nenek cukup mengenal keluarganya jadi tidak masalah bukan hohoho."
"Ap-nenek ih jangan gitu. Lena bisa malu nanti."
"Kan biar kamu juga ada temen di sini sayang."
"Kan ada nenek temen Lena."
"Iya sekarang. Kalo nanti nenek sudah tidak ada terus kamu sama siapa."
"Nenek kok gitu sih. Jangan bicara seperti itu lagi."
"Oke oke nenek menyerah. Lebih baik kita nonton saja sekarang." ucap nenek sambil mengangkat kedua tangannya. Elena menghela nafas lega lalu mengecup sebelah pipi neneknya. Mereka mulai fokus dengan tontonannya sambil menikmati ubi masing-masing.
***
Hutan ini terasa tidak asing di mata Elena. Meski banyak pepohonan yang begitu tinggi menjulang besar dan lebat seperti di mimpinya sebelumnya, hutan ini terasa berbeda.
Biasanya saat ini dirinya akan main kejar-kejaran dengan ular besar berwarna putih yang bisa berbicara, tapi saat ini Elena hanya seorang diri. Gadis itu menelusuri jalan di hutan itu hingga menemui tengah hutan yang begitu lapang disinari cahaya mentari yang muncul dari sela-sela hutan. Elena mendekati tempat terang itu. Di sana hanya terdapat sebuah batu besar dan sebuah ... Bola.
Lena mengambil bola itu dan mengamatinya. Terasa familiar. Bukankah bola ini mirip dengan miliknya sewaktu kecil. Benar juga. Bukankah ini tempatnya bertemu dengan seekor ular putih cantik yang cukup besar. Elena mulai mengingat kembali masa kecilnya dulu yang sudah di lupakannya. Harusnya ular itu tertindih batu di depannya. Elena mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan tetap tidak menemukan apa pun lagi.
Lena kembali berbalik ke arah batunya dan langsung terkejut. Moncong ular putih itu tepat menyentuh hidung mungilnya. Matanya langsung membola. Bayangkan ketika kamu berhadapan, saling menatap mata dengan seekor ular Python, bukan, tapi Anaconda. Otomatis bola yang di pegangnya lepas dari tangan.
"KYAAA-HHMMP!" teriak gadis itu.
Elena menutup mulutnya sembari mundur perlahan menjaga jarak agar ular itu tidak terkejut dan reflek menyerangnya. Seiring langkah mundurnya ular itu juga merayap mengikuti hingga tiba-tiba berhenti. Elena mengalihkan pandangannya ke tubuh ular itu. Seperti dugaannya masih tertindih batu. Elena bernafas lega.
Ular itu berbalik arah ke tempat semula dan merundukkan kepala di tempat. Elena menjaga jarak sambil memerhatikan ular itu. Kenapa ular ini tiba-tiba muncul. Tubuhnya masih sama. Terluka parah. Bukankah ini masih di dunia mimpi? Mau tidak mau Elena mulai membuka kenangan lamanya dulu ketika pertama kali bertemu dengannya. Ular itu terlihat memprihatinkan. Sayang sekali Lena kecil tidak bisa menepati janjinya untuk membawa ayahnya agar bisa menolong ular di depannya ini. Jadi bagaimana nasib selanjutnya ular ini.
"Tuan ular. Bagaimana kabarmu. Maafkan aku tidak bisa menepati janji membawa ayahku datang. Aku harus pulang ke kota saat itu. Maafkan aku." Elena yang berjongkok menundukkan kepalanya merasa bersalah.
"Kau sudah mengingatku, gadis kecil?"
"Huh?" Elena mengangkat kepalanya tidak percaya ular itu juga berbicara. Kepalanya bahkan telah menghadap ke arahnya.
"Tu-tuan ular?"
"Ya, aku tuanmu. Bagaimana bisa kau meninggalkan tuanmu ini huh?!"
"Kenapa kau selalu ada dalam mimpiku?"
"Aku bisa masuk ke dalam mimpimu sesuka hati untuk mengingatkanmu kembali tentang kenangan kita, gadis kecilku."
"A-apa maksudnya. Apakah tidak ada yang menolongmu saat itu hingga kau sampai menghantuiku seperti ini?"
"Kau fikir aku telah mati?" Evan menjawab pertanyaan Elena dengan sarkas. Pria ular itu kembali merayap mendekati Elena dengan perlahan.
"Lalu kenapa kau selalu menggangguku?"
"Mengganggumu? Kau benar. Kenapa aku melakukan itu ya? Menurutmu kenapa hm?" ular itu sampai di depan Elena. Memiringkan kepalanya seakan sedang berpikir seperti manusia.
"Apakah kau marah padaku karena aku tidak datang lagi untuk menolongmu?"
"Kau tahu? Aku menunggumu selama belasan tahun ini. Bukankah kau gadis yang terlalu kejam."
"Kenapa kau menungguku? Jika saat ini kau bukan hantu, itu berarti kau telah selamat kan. Tidak ada alasan untukmu tetap menunggu pertolonganku."
"Entahlah. Selamat atau tidak, bagaimana jika kau pastikan sendiri di tempat ini lagi."
"Apa? Aku tidak mau." Elena mundur selangkah. Dan ular itu mendesis keras di depannya.
"Kau harus datang. Jika tidak, maka aku yang akan mendatangimu, gadis kecil."
***
Elena membuka matanya. Tidak sampai terperanjat seperti biasanya namun cukup menimbulkan efek berdebar yang cukup kuat di dadanya. Rasanya dirinya tidak bisa membedakan dunia nyata dan dunia dalam mimpinya saat ini. Semua terasa nyata. Dirinya tidak bisa mengartikan arti dari mimpinya. Apakah itu hanya sebatas bunga tidur ataukah itu benar sebuah peringatan untuknya.
Itu peringatan untukmu!
Elena langsung mendudukkan dirinya ketika tiba-tiba mendengar suara menggema yang muncul dalam kamarnya. Siapa yang berbicara? Elena mengedarkan pandangannya namun tidak menemukan seorang pun hingga matanya terpaku pada pojok ruangan dekat jendelanya. Ular putih dengan ukuran panjang satu meter sedang melingkar menatapnya. Darimana datangnya ular itu?
Dengan tangan gemetar Elena meraih tongkat baseball yang selalu disimpannya untuk berjaga-jaga menghadapi pencuri. Ular itu merayap perlahan mendekatinya mengikuti garis dinding di bawah jendela. Elena mengangkat tongkatnya bersiap melawan namun gerakannya terhenti ketika ular itu memilih memanjat dinding dan keluar melalui celah jendela.
Tunggu! Benarkah ular bisa memanjat dinding?
Elena berpikir keras selama beberapa menit hingga akhirnya tersadar. Gadis itu segera turun dari ranjang menyalakan saklar lampu. Langsung ditelusurinya seisi kamar takut-takut ada ular kedua dan ketiga yang telah masuk dan ternyata nihil. Elena segera menutup jendelanya rapat-rapat. Bertekad tidak akan membuka jendela lagi setelah ini apalagi di malam hari. Rumahnya berada di desa yang dipenuhi banyak hutan lebat.
Wajarkan jika ada ular atau hewan lainnya yang bisa memasuki rumahnya. Mulai sekarang baik dirinya maupun neneknya harus lebih berhati-hati dalam menjaga keamanan rumah mereka.
Elena selesai mencuci rambutnya dan saat ini tengah mengeringkannya. Digosokkan handuk putih ke rambutnya sambil menuruni tangga menemui nenek. Gadis itu sempat tertegun ketika melihat neneknya yang sedang melamun sendirian di sofa menghadap jendela. Tidak seperti biasanya. Elena menghampirinya dan duduk di depannya.
"Nenek? Kau melamunkan apa?" Elena bisa melihat wajah terkejut neneknya sekilas. Selanjutnya sang nenek hanya tersenyum hangat sambil meneliti wajahnya.
Maria menggenggam kedua tangannya dan mengelusnya, "Elena, cucu nenek tersayang. Kau tidak berencana kembali ke kota? Meneruskan pendidikanmu."
"Kenapa membicarakan itu lagi? Nenek tidak suka dengan kehadiranku di sini ya?" wajah Elena terlihat murung merasa sang nenek tidak menyukainya.
"Percayalah, nenek sungguh mencintaimu sayang." sangat mencintaimu hingga rela mempertaruhkan hidupku untukmu, sayang, batin Maria.
Maria kembali mengingat mimpinya semalam. Mimpi yang sudah begitu lama tidak diimpikannya lagi, kini kembali hadir menghantuinya.
.
.
.
Seorang pria tampan telah duduk di sofa mewah yang entah datang dari mana. Sofa itu berada di tengah hutan di duduki pria tampan yang kini berada dihadapannya menuntut penjelasan.
Pria yang sungguh tampan di jatuhi sinar mentari di atasnya. Siapapun pasti akan terpesona dan memujanya sebelum mereka mengetahui wujud aslinya. Siluman ular.
Ya, Maria mengetahui wujud aslinya, si penunggu hutan yang sebelas tahun lalu juga pernah menerornya karena Maria menolak memberitahu lokasi cucunya, Elena berada.
Maria saat itu benar-benar ketakutan setengah mati ketika pertama kali bertemu dengan ular bersisik berlian begitu besar dalam mimpinya. Ular itu memaksanya mengatakan lokasi keberadaan Elena. Pada awalnya Maria hanya berpikir cucunya telah membuat kesalahan besar yang mengganggu ular tersebut. Dirinya tidak hentinya meminta maaf atas nama cucunya. Bahkan dirinya rela menyerahkan nyawanya sebagai ganti Elena. Namun jawaban ular itu sungguh mengejutkannya.
"Aku hanya membutuhkan gadis kecil itu di sisiku. Bukan nyawa wanita tua renta sepertimu. Berani-beraninya gadis itu pergi begitu saja tanpa ijin dariku, cih."
"Apa yang anda inginkan darinya? Jika bukan nyawa, lalu ... " Maria tidak melanjutkan kalimatnya setelah suatu dugaan muncul dalam pikirannya.
Evan memunculkan smirknya, "Kau mengerti apa yang kuinginkan, manusia."
"Tidak tuan. Jangan cucuku. Anak itu masih begitu kecil, bagaimana mungkin anda menyukainya."
"Aku bisa menunggunya hingga dewasa."
"Tidak! Saya tidak akan membiarkan itu terjadi Tuan." ucapan Maria berhasil membuat tawa sarkas Evan muncul. Bagian pinggang ke bawahnya berubah menjadi ekor ular berukuran besar yang menjerat tubuh Maria. Diseretnya tubuh Maria tepat di hadapan. Terlihat Maria yang susah bernapas karena lilitan di tubuhnya dan itu membuat Evan merasa puas.
"Jangan bodoh, sialan. Raja sepertiku tidak membutuhkan ijin dari manusia lemah sepertimu. Aku pasti mendapatkan apa yang kumau, termasuk cucu kecilmu. Ingat itu!"
Dan kini pria itu kembali datang menemuinya dalam mimpi. Wajahnya terlihat bengis menyimpan amarah.
"Kau ingin bermain-main denganku." nada rendahnya terdengar begitu dingin. Pria itu berjalan perlahan dan pasti mendekatinya. Maria membeku di tempat seakan ada sesuatu yang menahannya untuk bergerak. Jubah panjang yang terlihat mewah berwarna hijau yang melekat di tubuh Evan berkibar terkena hempasan angin dari langkahnya. Wajah tampannya tetap sama, tidak terlihat menua sedikit pun. Sebuah pahatan yang sempurna.
Tepat dihadapan Maria yang setinggi dadanya, Evan mendesis keras. Desisannya terdengar menggema dalam hutan itu dan mampu membuat Maria melemas saking takutnya.
Evan menjulurkan lidahnya lalu menjilat bibirnya. Terlihat begitu sexy. Meski itu dilakukannya untuk menahan amarah yang kini berkobar dalam dadanya karena tingkah sialan wanita bangka di depannya ini. Beraninya manusia lemah ini ingin menjodohkan gadisnya dengan manusia lemah lainnya.
"Kau ingin memisahkanku darinya."
"Aku melakukan hal yang benar." Maria menjawab dengan mantap.
"Kau manusia sial!" Evan mencekik leher Maria penuh nafsu. Membuatnya susah bernafas namun tetap berusaha ingin menyampaikan sesuatu.
"Ukh a-ak khu tidhak men-ye-shal. Bunuhh sa-jah." Maria menjawab pria ular itu dengan susah payah menahan sesak.
Ucapan wanita itu membuat Evan mendapatkan ide lain yang lebih bagus untuk menghukumnya. Pria ular itu tertawa lalu membalasnya, "Aku tidak mau membunuhmu. Aku lebih suka menyiksamu sialan."
Dari dalam lengan baju Evan yang panjang tiba-tiba muncul puluhan ular kecil yang merayap ke tubuh Maria. Membuat wanita itu bergidik ngeri. Maria menggeliat kecil berusaha melepaskan diri namun tetap tidak bisa bergerak banyak ketika ular-ular itu masuk ke dalam bajunya setelah Tae Tae melepas cengkraman di lehernya.
"Tidak! Tidak! Jangan lakukan ini. Bunuh saja aku!" Maria ingin memberontak ketika seekor ular kecil mendekati telinganya, namun tubuhnya membeku. Wajahnya memucat lalu kemudian wanita itu berteriak sekencang-kencangnya, ketakutan ketika ular itu memasuki lubang telinganya. Bunyi dengung sekaligus desisan di dalam telinga membuat kewarasan Maria dipertaruhkan.
"Itu hukumanmu. Jangan pernah mengusik kesabaranku wanita tua."
"Tidak. Tidakk!" Kini ular lainnya memasuki celana dalamnya, menggeliat di balik bajunya, menggigit perutnya dan lalu memaksa memasuki lubangnya.
"TIDAK!"
.
.
.
"Nek! Nenek!" seru Elena. Raut khawatir terlihat di wajah gadis itu ketika menyadari neneknya yang melamun dengan wajah pucat diiringi keringat dingin di pelipisnya. Maria tersadar. Wanita itu sontak mengerjap-kerjapkan matanya lalu menoleh ke arah Elena.
"Nenek kenapa?" Maria menatap dalam cucunya. Satu-satunya harta berharga peninggalan anak dan menantunya yang telah meninggal kecelakaan di kota. Gadisnya hanyalah seorang gadis biasa seperti lainnya. Wajahnya kecil menggemaskan, bisa dibilang cantik. Selebihnya tidak ada yang spesial. Maria yakin masih banyak gadis desa lainnya yang lebih cantik dan menarik dibanding Elena. Seperti Aleta, teman kecil Rian. Apa gerangan yang membuat siluman ular sepertinya menyukai gadisnya ini.
"Lena, apa kau masih ingat Hutan Terlarang yang pernah kau masuki dulu?" Elena mengerutkan alisnya. Kenapa neneknya tiba-tiba membahas itu.
"Ingat nek. Kenapa?"
"Coba ceritakan apa yang terjadi saat itu?"
"Lena hanya bertemu dengan seekor ular nek. Ukurannya cukup besar. Dia terluka dan separuh tubuhnya tertindih batu besar. Lena kasihan, jadi Lena kasih minum setelah itu pulang. Nenek percaya tidak, warnanya sangat indah. Putih berkilau. Tunggu. Setelah Lena ingat lagi kenapa sisiknya seperti berbeda ya?"
gadis itu terlihat berpikir keras berusaha mengingat lagi bentuk sisiknya. Maria terdiam sebelum merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sesuatu di depan Lena.
"Seperti ini?" Maria menunjukkan kepingan sisik seukuran koin logam berwarna putih berkilau mirip berlian. Bukan mirip tapi memang itu sisik berlian murni. Elena yang melihat sisik itu langsung takjub. Diambilnya sisik itu untuk diamati lebih detail. Benar, seperti ini bentuk sisik diingatan Lena.
"Darimana nenek mendapatkan sisik ini?" tanya Elena dengan heran. Mana mungkin Maria mengatakan telah menemukan sisik ular itu di ranjangnya semalam yang itu berarti pemilik sisik itu telah mendatanginya. Elena masih mengamati sisik dalam genggamannya tanpa menyadari neneknya yang sudah jantungan karena dugaannya benar.
"Lena, dengarkan nenek. Kamu jangan pernah memasuki hutan itu lagi. Mendekati pun jangan. Ingat perkataan nenek sayang. Kamu mengerti."
Elena tertegun mendengar penuturan neneknya. Kenapa sedari dulu neneknya melarang untuk memasukinya. Elena jadi mengingat mimpinya semalam. Ular itu menyuruhnya untuk mendatangi tempat pertemuan mereka dulu. Apakah itu berhubungan dengan sisik yang disimpan neneknya ini?
"Sebenarnya ada apa dengan hutan itu nek?"
"Entahlah. Hutan itu adalah hutan mitos. Penduduk sini sudah sedari dulu melarang siapapun masuk kedalamnya. Beberapa kali kejadian mereka yang masuk ke dalam hutan itu tidak kembali lagi hingga saat ini. Tidak ada yang mengetahui alasannya. Suatu keajaiban saat itu ada yang menemukanmu di pinggir hutan itu. Demi keselamatanmu Lena. Nenek minta jangan pernah memasuki hutan itu lagi. Kau mengerti!" terlihat kesungguhan di mata neneknya, membuat gadis itu semakin dilanda rasa penasaran. Namun akhirnya dirinya tetap mengiyakan permintaan Maria, nenek terkasihnya.
"Gadis pintar. Sekarang mulai bersiaplah. Berdandanlah dengan cantik."
"Ha? Untuk apa? Apa nenek ingin mengajakku keluar!" seru Lena senang.
Maria menggeleng jenaka, "bukan nenek yang mengajakmu jalan. Tapi Rian."
"Apa!" seru Lena tidak percaya bersamaan dengan ketukan pintu dari luar.
"Itu pasti Rian. Coba kamu buka sana." Maria mendorong pelan tubuh Elena untuk membuka pintunya.
"Tapi nek,"
"Sudah buka dulu sana." protes Lena terpotong ucapan neneknya. Akhirnya gadis itu hanya pasrah menyambut tamunya dengan handuk bekas mengeringkan rambutnya yang basah bertengger di bahunya.
Benar saja tamu yang datang adalah Rian. Pria itu begitu tinggi dengan senyuman manis berdimple yang mempesona seperti biasanya.
"Hai Elena." sapa Rian kalem. Bahkan suaranya kini terdengar jantan di telinga Elena. Ini pasti karena bisikan neneknya yang selalu menggodanya untuk berkencan dengan pria ini.
"O-oh hai Rian." mereka terlihat canggung saat ini.
"Ehem aku datang kesini untuk mengantarmu keliling desa."
"Tunggulah sebentar nak Rian. Lena akan bersiap untukmu. Aku sudah menyiapkanmu teh herbal. Kau suka?"sahut Maria tiba-tiba datang mencoba mencairkan suasana di antara dua pemuda-pemudi polos di depannya ini.
"Tentu nenek. Terima kasih." Rian begitu sopan. Tipe menantu idaman.
"Lena, tunggu apalagi, sana." Maria menyadarkan Elena yang masih memerhatikan Rian. Gadis itu segera menaiki tangga dan masuk ke kamarnya untuk bersiap.
Tidak lama mereka telah melangkah bersama meninggalkan rumah. Maria tersenyum senang melihat kedekatan mereka dari pintu. Setelah tubuh mereka tidak terlihat barulah Maria menutup pintunya. Rencananya hari ini dirinya akan berkebun memeriksa tanaman yang baru tumbuh di kebun kecilnya. Ketika tubuhnya berbalik, Maria tidak menyangka langsung berhadapan dengan ular itu lagi. Di dunia nyata.
"Astaga!" Maria terkejut setengah mati karna kehadirannya yang tepat berada di depan wajahnya.
"Kau terlihat senang, sialan!" tekan Evan dengan wujud ularnya yang berukuran anaconda dewasa mendesis keras tepat di wajah Maria.