Vampire's natural instinct

1638 Kata
Di sebuah ruangan yang gelap. Terlihat seperti tidak ada kehidupan di sana, tepatnya tidak ada kehidupan 'normal' di dalam ruangan itu. Namun di sinilah seorang Ervan berada. Ruangan itu sudah seperti kehidupan kedua baginya. Tak ada keributan, tak ada gangguan, dan yang terpenting tak ada manusia ataupun sebangsanya yang masuk ke ruangan itu. Hanya dia. Ruangan itu di d******i oleh warna gelap, benda, ruangan, dan apapun yang ada di sana, semuanya gelap, hitam. Cahaya pun tak di biarkan masuk kedalamnya. Lagipula untuk apa? Hidup Ervan sendiri sudah gelap, cahaya luar tak berpengaruh baginya yang sudah menutup hati untuk cahaya. Yaa, mau bagaimana lagi. Selain menyukainya, ini adalah sebuah keharusan bagi Ervan. Untuk bertahan hidup. Itulah alasannya. Kenapa? Karena dia seorang vampire? Ya, itu salah satunya. Tapi siapa yang menduga kalau ini adalah satu-satunya cara untuk meredam hasratnya akan darah. Ervan tentunya tidak bisa selalu bergantung pada obat yang Kaza buat bukan? Dia perlu meredamnya secara alami. Dengan sebaik mungkin, dia harus bisa menjaga naluri alaminya sebagai seorang vampire. Dan di ruangan gelap inilah semua nalurinya tersalurkan. Bukan, bukan karena adanya darah di sana, sama sekali tidak ada. Hanya saja, bau darah yang menyeruak di dalam ruangan itu yang membuatnya menyukainya. Kalau di tanya apakah itu sudah cukup? Tentu jawabannya tidak. Tapi apa boleh buat, ini jalan yang dia pilih. Rasanya sakit. Sungguh. Menghirup bau darah segar yang membuat hasrat seorang vampire sepertinya bergejolak dan dia harus bisa menahan hasrat tersebut. Vampire manapun tidak akan bisa melakukan apa yang dia lakukan saat ini. Gila memang, tapi itu cukup efektif bukan? Buktinya selama ini dia menjalani hidup normal layaknya manusia biasa. Walaupun harus dibantu oleh obat yang Kaza buat. Lalu pertanyaannya, apa Ervan tidak pernah minum darah? Jawabannya pernah, tentu saja. 5 tahun sekali, dia akan meminum darah. Karena tidak selamanya dia bisa menahannya bukan? Dia itu vampire murni, bukan manusia yang terinfeksi. Dia butuh darah. "AAAAARRRGGGHHH!!!" Itu teriakan terakhir yang Ervan teriakkan. Nafasnya terengah-engah. Ruangan tempat dia berpijak saat ini sudah kacau seakan baru saja dilanda badai. Taring tajamnya masih terlihat, apalagi kuku-kukunya yang panjang itu. Bahkan wajahnya sangat pucat dengan suhu badan sangat rendah. Ciri khas seorang vampire, dan tidak perlu terkejut akan hal itu. Dengan tertatih, Ervan berjalan menuju pintu. Urusannya sudah selesai di sini. Ceklek! Di samping pintu, kedua sahabatnya berdiri menyandar pada dinding. Menegakkan badannya dan menatap Ervan yang juga menatap mereka dengan tatapan datarnya. Mereka berdua tidak perlu terkejut lagi saat melihat Ervan keluar, masih terlihat sebagai vampire yang menyeramkan, itu sudah biasa mereka lihat selama mereka hidup bersama Ervan. "Kau baik-baik saja?" tanya Kaza. Ervan memejamkan matanya kemudian dengan perlahan semuanya kembali seperti semula. Tak ada lagi taring, wajah pucat, kuku tajam, bola mata merah dan semuanya. Semuanya kembali normal, tapi tidak dengan energinya. Bruk! Ervan ambruk, untung saja Kaza dan Teo dengan cepat menangkap tubuhnya. Lagi, ini juga sudah sering terjadi. "Sepertinya tidak ada yang baik-baik saja. Dia akan selalu seperti ini." ucap Teo membantu Ervan berjalan menuju kamarnya. Terdapat nada sendu di dalam kalimatnya. "Tidak bisakah dia hidup seperti vampire pada umumnya? Maksudku, dia tidak perlu seperti ini lagi." ucap Teo lagi setelah meletakkan Ervan di atas tempat tidur. "Kau mau membuatnya terlihat seperti monster yang mengincar darah manusia? Begitu?" tanya Kaza. "Bukan begitu, tapi, lihatlah dia. Dia__" "Aku tau." potong Kaza cepat. Sungguh, Kaza sangat tau bagaimana perasaan Teo saat melihat betapa tersiksanya Ervan selama ini. Tapi bukankah mereka juga harus menghargai keputusan Ervan? Ervan tak ingin menjadi monster, itulah prinsip yang dia teguhkan saat tiba-tiba hasratnya muncul kepermukaan. "Tapi apa kau tidak lihat perjuangannya selama ini? Kita hanya perlu memberinya semangat dan selalu berada di sisinya. Kau mengerti maksudku bukan?" tanya Kaza dan Teo hanya menghela nafas lesu. Dia menatap Ervan yang masih memejamkan matanya di atas tempat tidur itu. Terlihat sangat nyaman dan damai seperti tidak pernah terjadi apa-apa. "Hentikan tatapanmu itu." lirih Ervan masih dengan mata tertutup. Perlahan Ervan membuka matanya dan mendudukkan dirinya. "Kau membuatku terlihat seperti orang lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa." lanjutnya terkekeh pelan. Teo mendengus melihatnya. Teo akui kalau tenaga Ervan sangat besar. Lihatlah, dia masih kuat untuk berpura-pura tegar saat keadannya lemah seperti sekarang. "Memangnya kau bisa apa saat ini? Kau terlihat seperti wanita yang baru selesai melahirkan." cibirnya menatap remeh pada Ervan. "Ya ya. Kau berbicara saat kondisiku seperti ini. Lihat saja nanti setelah aku pulih. Aku berjanji untuk membuang semua barang-barang di ruanganmu itu." desis Ervan membuat Teo terkekeh. "Aku tidak masalah. Bukankah uangmu masih banyak untuk kuhabiskan? Buang saja. Toh kau akan membelikannya lagi." jawab Teo enteng. "Sudahlah. Lebih baik kau istirahat. Pulihkan kondisimu. Aku akan membuat makanan untukmu." ucap Kaza kemudian pergi dari kamar Ervan. "Cepatlah pulih. Aku tidak mau direpotkan dengan harus mengurusmu." ucap Teo kemudian pergi dari kamar tersebut. Ervan mendengus pelan. Teo memang tidak bisa memahami situasi saat memancingnya untuk bertengkar. Tapi setidaknya dia paham betapa khawatirnya anak itu saat dia sedang terluka. • • • • Hari ini, setelah kemarin Ervan tidak pergi kuliah, hari ini dia memutuskan untuk pergi. Kondisinya sudah lebih membaik, jadi di sinilah dia. Di dalam mobil yang dikemudikan Kaza untuk memastikannya sampai di universitas dengan selamat. Kaza terkadang memang berlebihan terhadapnya. "Kau pulang jam berapa?" tanya Kaza tanpa menoleh pada Ervan. "Aku akan mengabarimu kalau aku akan pulang." jawab Ervan dan Kaza hanya mengangguk. "Kau sudah meminum obatmu?" Ervan lupa. Dia mengambil tas di belakang lalu mencari kapsul obat yang tadi Kaza berikan padanya. "Aku baru akan meminumnya." ucapnya menggoyang-goyangkan kapsul tersebut. Kaza mendecih, kalau saja tidak dia ingatkan pasti Ervan tidak akan meminumnya. "Kau__" "Kaza kenapa kau jadi banyak bertanya seperti ini? Ya ya, aku akan mendapatkannya hari ini. Kau tenang saja." potong Ervan cepat. Ervan sudah kepalang tau apa yang akan Kaza tanyakan padanya. "Berhenti membaca pikiranku. Itu tidak sopan kau tau?" ucap Kaza kesal. "Maka kau harus berhenti membatin dengan menjelek-jelekkan ku. Itu tidak sopan kau tau?" balas Ervan menirukan gaya bicara Kaza. Decakan kesal yang entah keberapa kali Kaza decakkan pagi ini karena ulah Ervan. "Turunlah. Aku menyesal mengantarmu. Kau membuat hariku menjadi buruk." ketusnya membuat kekehan halus itu terdengar di telinga Kaza. "Iya sama-sama. Wajah kesalmu itu membuat hariku menjadi cerah." jawab Ervan kemudian keluar dari dalam mobil pergi meninggalkan Kaza yang semakin kesal. "Ck. Dasar vampire sialan itu." desis Kaza kemudian melajukan kendaraannya pergi dari sana. Bruk!! "Arkh!" rintihan kesakitan itu keluar dari mulut gadis cantik yang kini terduduk di bawah sana. Buku-buku tebalnya berantakan. Sedangkan Ervan hanya berdiri di sana menatap heran gadis yang baru saja menabraknya. "Hey! Apa kau tidak berniat membantuku?" tanya gadis itu membuat Ervan menaikkan satu alisnya semakin bingung. Dan gelengan pelan dari kepala Ervan membuat dongkol di hati sang gadis semakin menjadi. "Tidak." datar sekali wajah itu saat mengucapkannya. "Ck. Tidak punya hati sekali. Dasar es!" cibirnya sembari merapikan kembali buku bawaannya. Ervan di sana masih memperhatikan. Bagaimana gadis cantik dengan rambut panjang se-pinggang itu terus mendumal, bagaimana alisnya menukik tajam dan wajah kesalnya, dan bagaimana jari-jari lentik yang salah satunya di perban itu mengumpulkan buku-buku yang berserakan di bawah sana. Sempat tertegun melihat perban itu, namun kesadarannya kembali saat sang gadis tiba-tiba sudah berdiri di depannya. Masih dengan raut kesal bercampur marah. "Aku harap kita tidak pernah bertemu lagi. Menyebalkan!" ketusnya lalu berjalan melewati Ervan__ "Argh!" __Dengan injakan kuat di kaki Ervan yang berbalut sepatu berwarna putih. "Hey! Apa kau gila?!" teriaknya kesal. Gadis itu menoleh kebelakang dan menjulurkan lidahnya mengejek lalu kembali berjalan membuat Ervan mengumpat kesal. Puk! "Hey bro." sapa Steven setelah menepuk pelan bahu Ervan. "Bisakah kau tidak mengejutkanku?" tanyanya dengan nada kesal. "Oho.. keep calm brother. Aku baru sampai dan kau langsung kesal, ada apa?" tanya Steven dengan nada jenaka. Timbul decakan kesal di kedua belah bibir Ervan lalu pergi membuat Steven mau tak mau ikut berjalan mensejajarkan langkah dengan Ervan. "Oke, harimu tampak tak bagus. Tapi biar aku bertanya. Kau jadi ikut denganku nanti 'kan?" Ervan hanya melayangkan tatapan sengitnya pada Steven membuat Steven terkekeh. "Aku hanya memastikan. Salah kau sendiri kenapa kemarin kau tidak hadir. Jadi hari ini apa kita bisa__" Ucapan Steven terhenti melihat Ervan berhenti dan menatap tajam padanya seakan menegaskan agar dia berhenti bicara. Steven hanya mengangguk-angguk kecil sembari mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, dan menggerakkan jarinya di depan bibir seolah dia mengunci bibirnya agar tidak bicara lagi. Ervan mendengus pelan dan kembali melanjutkan perjalanannya menuju kelas. "Huft. Dia benar-benar menyeramkan." gumam Steven dan ikut menyusul Ervan. Steven masih berpikir apa yang membuat Ervan menjadi badmood di pagi yang cerah ini. Saking mengahayati pemikirannya, Steven sampai lupa bahwa dia berada di kelas yang sama dengan Ervan. Ervan sampai harus memukul kepala belakang Steven saat Steven bertanya, 'Kenapa aku ada di sini? Lalu kau, kenapa juga berada di sini?'. Ervan berpikir, apakah nilai Steven tertukar ketika masuk jurusan kedokteran? Kenapa orang bodoh seperti Steven bisa lulus di jurusan tergolong sulit ini? "Selamat pagi semuanya." seorang dosen wanita masuk dengan aura menyeramkan. Ervan memperhatikannya, bukan, bukan pada sang dosen, melainkan pada gadis di belakangnya. Yang membawa tumpukan buku di tangannya. "Terimakasih bantuannya, Le." ucap sang dosen dan gadis itu tersenyum lembut sambil mengangguk pelan. Mata Ervan masih mengikuti langkah gadis itu hingga sang gadis menghilang dari sebalik pintu. "Kau menyukainya?" tanya Steven tiba-tiba membuat Ervan menoleh padanya. "Jangan mengada-ada." jawab Ervan datar kembali menatap dosen di depan sana. Steven terkekeh mendengarnya. "Biar kutebak. Dia yang membuat moodmu memburuk. I'm right?" tanya Steven di balas dengusan pelan sang lawan bicara. "Hahaha, it seems so. Her name is Leora. She's beautiful, right?" Steven menggoda Ervan dengan memainkan alisnya. "Shut up your mouth!" desisnya dan Steven kembali terkekeh pelan. "Oke oke." jawabnya. Ervan kembali menatap ke depan dan matanya bergulir menatap pintu masuk, di mana gadis tadi masuk dan keluar dari sana tanpa menatapnya. "Jadi namanya Leora?" batinnya. • • • •
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN