Di tempat favoritnya, rooftop, Erden bersantai menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.
Kelasnya hari ini masih ada, sedang berlangsung malah. Namun tampaknya sang empu sedang tidak ingin beranjak dari sana.
Ting!
Notifikasi itu membuat perhatian Erden teralihkan. Di ponselnya hanya ada nomor Kaza dan Teo. Jadi sudah dipastikan itu penting.
"Teo sudah memberikannya padaku. Kau tunggu hasilnya besok."
Begitulah kira-kira pesan dari Kaza.
Erden tersenyum dan kembali menyimpan benda super canggih itu tanpa berniat membalasnya. Ah, tidak juga. Dia sudah mengatakan 'oke' dalam hatinya, berarti dia sudah membalas ucapan Kaza bukan?
Seperti ucapannya waktu itu, agak sulit memang mendapatkan darah targetnya yang satu ini. Namun beruntungnya, sang profesor yang menjadi target tampak menaruh simpati padanya, jadi itu sedikit memudahkannya.
Masih sibuk dengan pikirannya, hingga seketika matanya menangkap sosok seorang gadis di bawah sana, bersama dengan sang profesor.
"Dia__Leora?" gumamnya bertanya pada dirinya sendiri.
Sekilas terlihat seperti seorang ayah dan anak. Di mana sang ayah mengusak kepala anaknya dan mencium puncak kepala tersebut, lalu sang anak yang tersenyum manis kemudian melangkah pergi sembari melambaikan tangan setelah memberi kecupan singkat pada pipi sang ayah.
But, wait! What? Apa dia baru saja mengatakan gadis itu manis?
Menggeleng pelan. Tidak membenarkan pemikirannya barusan. Gadis itu sungguh jauh dari kata manis. Dia bersungguh-sungguh.
"Mereka mempunyai hubungan?" lagi pertanyaan yang muncul tanpa ada yang menjawabnya.
Sesaat, ingatan ketika dia melihat profesor dengan seorang gadis yang dia spekulasikan adalah anak sang profesor, tiba-tiba muncul di kepalanya. Dia mengingat-ingat lagi. Dia baru menyadari kalau gadis waktu itu dan Leora adalah gadis yang sama. Itu artinya sang profesor dan Leora memang memiliki hubungan.
Tak ingin banyak berfikir, Erden mengedikkan bahunya acuh kemudian menutup matanya kembali menikmati angin sejuk dari sini.
"Bukan urusanku juga." ucapnya.
•
•
•
•
Sore ini, tepatnya pukul 15.20, Erden kembali direcoki oleh teman sekelasnya yang satu ini, mengajaknya untuk pergi bersama teman-temannya yang lain.
Erden ingin menolak sebenarnya, tapi Steven akan terus menempelinya dan memaksanya. Jadi di sinilah Erden, di depan sebuah Café tempat teman-teman Steven menunggu kedatangan mereka berdua.
Begitu masuk, kembali, Erden menjadi pusat perhatian. Pengunjung lain bahkan menghentikan kegiatan hanya untuk memandang wajah tampan Erden. Erden hanya mengabaikannya, terlampau sering dan sudah terlalu hapal kalau ini pasti akan terjadi. Bukannya ingin sombong, hanya saja itulah kenyataannya.
"Itu di sana. Ayo." ajak Steven melihat tiga orang pemuda seumuran Steven melambaikan tangan pada mereka berdua.
Tentu saja, tidak mungkin umur mereka sama dengan Erden.
"Maaf lama, aku mendapat kelas tambahan tadi." ucap Steven seraya bersalaman ala anak muda dengan teman-temannya.
Sedangkan Erden hanya diam berdiri tanpa ingin berbuat apa-apa.
"It's okay. Kami juga baru sampai." ucap salah satunya.
"Dia teman barumu?" tanya yang lain menunjuk Erden.
Steven menoleh. Kemudian merangkul pundak Erden sambil tersenyum.
"Iya. Dia yang aku ceritakan waktu itu. Dia Erden. Erden, ini teman-temanku." ucap Steven mengenalkan.
Erden hanya mengangguk singkat dan menatap ketiganya bergantian.
"Erden." ucapnya singkat.
Steven meringis melihat cara berkenalan Erden. Tak heran jika dia tidak memiliki teman. Bukannya tidak ada yang suka, hanya saja orang-orang akan mundur duluan melihat wajah datar Erden. Kecuali dia tentunya.
"Aku Kris, dia Alta, dan yang ini adikku, Zivan." ucap Kris memperkenalkan.
"Senang berkenalan denganmu." ucap Zivan tersenyum yang di balas anggukan ringan oleh Erden.
"Kau benar-benar pangeran es rupanya." kekeh Alta melihat Erden.
"Yaa, dia memang begitu. Tapi dia cukup baik dan asik. Menurutku dia hanya menjaga imej." ucap Steven ikut terkekeh saat mendapat delikan tajam dari Erden.
"Duduklah. Akan kupesankan makanan. Kau ingin apa?" tanya Kris bertanya pada Erden.
"Samakan saja. Aku tak tau menu di sini." jawabnya masih dengan raut datarnya.
Kris mengangguk dan memanggil pelayan lalu memesan makanan serta minuman untuk mereka semua.
Sambil menunggu, mereka mengobrol ringan, membicarakan hal random dengan sesekali tertawa. Erden hanya sesekali menimpali ketika pertanyaan terlempar padanya, dia masih menyesuaikan diri karena ini adalah pertama kali baginya terjebak dalam situasi seperti ini.
"Wah Erden. Kau ternyata memiliki tato ini juga?" tanya Alta menyingkap gelang-gelang di tangan kanan Erden.
Sebuah tato kelelawar kecil berwarna merah di sana. Sontak, Erden langsung menarik tangannya dan memperbaiki letak gelangnya untuk menutupi tato tersebut.
"Ah, maaf. Kau tidak nyaman ya." ucap Alta merasa tidak enak hati melihat reaksi Erden.
Erden yang masih terkejut hanya berdeham, menormalkan kembali raut wajahnya.
"Tidak masalah. Aku hanya terkejut. Sebelumnya tak ada yang melihatnya." jelas Erden.
"Begitu ya. Aku kira kau akan marah." ucapnya lagi terkekeh pelan.
Erden tak menanggapi. Tapi ada hal yang membuatnya penasaran dari ucapan Alta barusan.
"Kau bilang aku memiliki ini juga. Memangnya siapa yang memilikinya selain aku?" tanya Erden.
"Steven." ucap Zivan membuat Erden langsung menatap pria di sampingnya.
"Di tangan kanannya juga. Hanya saja berwarna hitam. Kalian membuatnya bersama?" tanya Zivan.
Steven terkekeh mendengarnya.
"Aku bisa di usir dari rumah jika memiliki tato. Ini hanya tempelan biasa. Lihatlah." Steven mengusap permukaan kulitnya tepat di tato tersebut yang perlahan warnanya memudar.
"Kenapa tiba-tiba kau menggambar kelelawar di sana?" tanya Erden masih menatap Steven.
Steven mengedikkan bahunya acuh.
"Hanya ingin. Menurutku ini keren." jawabnya enteng.
Erden hanya mengangguk kecil.
"Lalu kau?" Steven balik bertanya.
Erden tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab.
"Tidak tau. Aku hanya mengikuti adikku waktu itu." jawabnya sambil menatap gambar kelelawar di pergelangan tangan kirinya.
•
•
•
•
Pintu utama manssion mewah itu terbuka. Wajah tampan Erden yang terlihat lelah tampak di sana.a
Seperti biasa, dua sahabatnya pasti akan menunggunya pulang.
"Kau pulang telat hari ini. Tak biasanya." ucap Teo saat Erden sudah duduk lesu di atas sofa.
"Aku pergi ke Café bersama temanku." jawab Erden dengan mata terpejam.
Teo dan Kaza langsung menatapnya. Apa baru saja Erden mengatakan kalau dia pergi dengan temannya? Sejak kapan vampire tua itu memiliki sorang teman?
"Pergi ke Café? Dengan temanmu?" tanya Teo dengan nada tidak percaya.
"Kenapa? Kau tidak percaya?" tanya Erden masih dengan posisi yang sama.
"Hey, sejak kapan kau mempunyai teman? Itu terdengar lucu bagiku." ucap Teo tertawa membuat sebuah bantal sofa mendarat di wajahnya. Erden pelakunya.
"Aku pikir kau tidak akan bergaul di sana." ucap Kaza dengan nada yang juga mengejek.
"Aku di paksa. Aku hanya tidak ingin dia menggangguku." jawab Erden seadanya.
Kaza hanya mengangguk maklum.
"Setidaknya itu sebuah kemajuan. Kau tidak harus menutup diri dari orang-orang bukan?" ucap Kaza membuat Erden menghembuskan nafas berat.
"Aku hanya tidak ingin mereka takut padaku saat tau siapa aku sebenarnya. Itu saja." jawab Erden dan mereka berdua tau itu.
"Kau hanya terlalu berlebihan memikirkannya. Aku dan Kaza yang mengetahuinya tidak mempermasalahkannya. Walaupun kadang kau juga terlihat seram saat berubah. Tapi itu tidak masalah selagi wajahmu masih tampan." lagi Teo tertawa dan bantal kedua mendarat lagi di wajahnya.
"Hey! Arrgh! Kau membuat aku kalah!" teriak Teo kesal memperlihatkan game di ponselnya yang menyatakan dia telah kalah.
Kali ini Erden yang tertawa, senang rasanya membuat Teo kesal.
"Game mudah saja kalah. Dasar lemah." cibir Erden mengacak-acak rambut Teo lalu pergi dari sana menuju kamarnya.
"Vampire sialan!" teriak Teo semakin kesal.
"Ya. Terimakasih pujiannya." jawab Erden sambil terus berjalan.
"Tidak perlu memasang raut seperti itu. Kau terlihat berkali lipat lebih jelek." ucap Kaza mengusap wajah Teo kasar.
Kaza kemudian berjalan menuju dapur untuk memasak. Meninggalkan Teo yang terus mengumpat dan menggerutu kesal.
•
•
•
•
Malam ini bintang bertaburan di mana-mana. Indah, apalagi sang bulan menampakkan seluruh tubuhnya, menjadi pelengkap keindahan langit di atas sana.
Teo tersenyum menatap bintang-bintang itu bergantian berkelip. Selama ini dia tidak pernah mengagumi keindahan langit malam, karena memang baru kali ini dia benar-benar memperhatikannya. Ternyata sangat indah, dan menenangkan. Mungkin setelah ini memandang langit yang di hiasi bintang dan satu bulan akan menjadi rutinitas wajibnya sebelum tertidur.
Tepukan di bahunya membuat dia sedikit terkejut. Erden berdiri di sampingnya, ikut menatap ke atas langit. Kapan vampire ini sampai? Teo tidak menyadari kehadirannya.
"Kapan kau datang?" tanya Teo.
"Saat kau tersenyum menatap langit di atas sana." jawab Erden dan Teo hanya mengangguk sambil menggumamkan 'Oh' singkat.
"Kenapa kau belum tidur?" tanya Erden setelah lama mereka terdiam.
"Aku belum mengantuk. Lalu kau? Tumben sekali kau ke sini." Teo balik bertanya.
"Pintu kamarmu terbuka dan aku tidak melihatmu di dalam, jadi aku masuk."
Mereka berdua sedang di balkon omong-omong.
"Kau masih belum mau menemui ayahmu?" tanya Erden lagi.
Teo menoleh untuk menatapnya. Sudah lama sekali Erden tidak membahas ini padanya. Walaupun memang dia yang menyuruh Erden untuk tidak membahasnya. Tiba-tiba sekali Erden kembali menanyakan ini.
"Tiba-tiba sekali." ucap Teo kembali menatap ke depan.
"Entah. Itu terlintas di pikiranku." jawab Erden seadanya.
Teo hanya diam tak merespon apa-apa. Erden tau Teo tidak ingin membahas ini. Tapi dia benar-benar harus menanyakannya pada Teo. Teo masih punya orang tua, bagaimana kalau ternyata selama ini orang tuanya mencarinya? Dia akan merasa bersalah karena menyembunyikan Teo.
"Kau tidak ingin bertemu dengannya?" tanya Erden lagi.
"Untuk apa? Kau tidak mau menampungku lagi?" tanya Teo masih belum menatapnya.
"Ah, kau sudah tau alasannya rupanya." jawab Erden membuat Teo terkekeh.
"Cih. Dasar."
Sunyi kembali hinggap. Tak ada yang mengeluarkan suara. Erden menunggu Teo untuk berbicara, sedangkan Teo sedang mempersiapkan kata-kata untuk berbicara. Dia bingung ingin mengatakan apa.
"Aku hanya takut." ucap Teo akhirnya membuat Erden menatapnya.
"Aku takut saat aku bertemu dengannya dia kembali membuangku. Aku takut kalau kenyataannya dia memang tidak menginginkan kehadiranku. Aku terlalu takut jika nanti mendengar kata-kata penolakan langsung dari mulutnya. Itu semua menakutkan." ucapnya lirih.
Teo menundukkan kepalanya. Setiap mengingat ini, matanya akan berembun dan cairan bening itu dengan cepat akan menggenang di pelupuk matanya.
"Lebih baik aku tidak tau apa-apa tentangnya dari pada nanti aku menyesal karena telah menemukannya." lanjutnya masih dengan keadaan menunduk.
Erden mendekat dan merangkul pundak yang lebih muda, menenangkannya.
"Kau mengatakan aku berlebihan dalam berpikir. Kau ternyata lebih berlebihan." ucap Erden terkekeh.
Dia hanya ingin mencairkan suasana. Dia tidak suka yang melow-melow seperti ini.
"Jika kau takut bertemu, setidaknya carilah informasi tentang dia. Bagaimana kehidupannya, bagaimana wajahnya. Aku yakin kau sudah melupakan wajah ayahmu itu."
Erden benar. Teo tak begitu mengingat wajah ayahnya lagi. Lagipula pasti sudah banyak perubahan dari ayahnya. Dia bahkan tidak ingat namanya, dia hanya mengingat marganya, itupun dari kalung yang sedari kecil sudah ada di lehernya.
"Aku pernah mencari tau." ucap Teo membuat Erden sedikit terkejut. Anak ini tidak pernah menceritakan apapun padanya.
"Setelah dapat, aku langsung menghapus datanya sebelum aku membacanya. Aku terlalu takut untuk membacanya." jelasnya setelah itu.
Alasan macam apa itu?
"Kaza bahkan sudah menyewa banyak hacker untuk meretasnya tapi nihil. Dan anak ini__" batin Erden terdengar takjub dengan kamampuan Teo.
"Pikirkanlah lagi. Kau tidak akan tau jika kau tidak memulainya dan mencari tau. Jangan takut, ada aku dan Kaza yang selalu bersamamu." ucap Erden menyemangati.
Lihat, dia sudah seperti seorang ayah yang menyemangati anaknya.
Teo hanya tersenyum menanggapi. Erden kemudian pamit dan menyuruhnya untuk segera tidur. Teo mengangguk sekali, namun dia masih tetap di sini.
"Maafkan aku. Aku terpaksa menutup rapat informasi tentang keluargaku. Aku hanya belum siap." gumam Teo terus menatap bintang di langit dengan perasaan bersalah.
•
•
•
•