“Beb, pulanglah sesekali tanpa memberi tahu orang rumah. Aku curiga ada sesuatu antara adikmu dan Damar. Aku rasa mereka ada main api di belakangmu. Siapa tahu kamu mergoki mereka lagi ena-ena.”
Sebuah pesan diterima Wahda dari Hani, sahabat sekaligus tetangganya di kampung. Gadis itu terpaku sejenak sebelum akhirnya membalas.
“Jangan ngaco. Kamu ada bukti?”
Sebuah foto dikirim Hana. Foto Wirda adiknya dan Damar, tunangannya sedang berduaan. Terlihat di sebuah kafe.
Karena tidak tahan, Wahda langsung menelepon.
“Fotonya real? Bukan editan? Jangan nyebar fitnah ya?” cecar Wahda langsung setelah telepon diangkat dan saling bertukar salam.
“Kamu nggak percaya sama aku? Eh, denger ya. Aku nggak ada maksud apa pun. Cuma peduli sama kamu. Nggak rela aku kalo kamu sampe diselingkuhi mereka.” Dari seberang, suara Hana ikut nge-gas.
Wahda mengambil napas panjang.
“Da, percaya sama mereka boleh, tapi bo*doh jangan. Meskipun kamu sama Damar udah temenan sejak kecil, udah tunangan dua tahun, tapi tetep aja kamu kudu waspada. Apalagi kalian LDR, rentan banget. Pikirkan dan segera ambil tindakan agar mereka nggak makin menjadi-jadi.”
“Ya udah, makasih info dan nasihatnya. Aku akan selidiki mereka.”
“Good. Cepet pulang. Makin dini dipergoki, makin bagus.”
Setelah telepon dimatikan, Wahda memijat pelan pelipis sambil mengatupkan kelopak mata. Akhir-akhir ini, sikap Damar memang berubah. Tunangan yang dulu intens menelepon atau sekadar mengirim pesan, kini makin jarang. Dengan alasan sibuk ada akreditasi di kampus, pria yang berprofesi sebagai dosen tersebut bahkan sering mengabaikan pesan Wahda.
Sebagai tunangan, Wahda tidak ingin terlalu posesif atau menuntut. Ia hanya berusaha memahami sebab mereka sama-sama sibuk. Namun, setelah mendengar kabar sekaligus bukti dari Hana, keraguan dan kecurigaan mulai tumbuh di hatinya.
“Hana benar. Mungkin sesekali gue harus pulang tanpa berkabar,” gumam Wahda. “Bukan berarti nggak percaya, tapi seenggaknya buat jaga-jaga dan membuktikan apa yang dikatakan Hana itu nggak bener.”
Wahda lantas berjalan menuju kamar mandi, lalu sedikit membasahi matanya dengan air. Begitu kembali ke ruangan, sudah ada seseorang yang menunggu. Naila, temannya.
“Da, mo ambil pola gaun Liora. Katanya mau buat manggung minggu depan. Mau gue kerjain.”
“Oke.” Wahda menuju meja dan mencari apa yang dibutuhkan sang sahabat.
“Lo kapan datang bulan? Bu Bos mau jadiin lo model buat koleksinya yang baru.”
Wahda tertawa. Wanita yang bekerja di sebuah butik sebagai desain baju milik desainer terkenal di Jakarta itu memang sering kali dijadikan manekin hidup sang bos untuk gaun muslimah. Selain wajah yang cantik alami, Wahda juga memiliki postur tubuh proporsional. Pekerjaan itu hanya diambil saat ia datang bulan, mengingat ribet dan lamanya mekap dan pemakaian gaun. Bukan hanya sekali ganti baju, kadang sampai berkali-kali.
“Sekitar minggu depan mungkin.” Wahda lantas memberikan buku berisi pola yang diinginkan sang sahabat.
“Oke. Gue bawa dulu ini.”
“Siip.”
“Sekalian ada klien di luar, tolong lo temui. Kayaknya mau lihat-lihat baju pengantin.”
Wahda mengangguk. Wanita berusia 26 tahun itu sejenak mengabaikan masalah pribadinya. Fokus untuk bekerja dulu sekarang. Ia lantas keluar membawa perlengkapan yang dibutuhkan seperti buku, pen, dan note book.
Begitu sampai di ruang tamu, sudah duduk sepasang manusia yang tampan juga cantik.
“Selamat siang, ada yang bisa dibantu?” tanya Wahda sopan sambil tersenyum, lalu duduk.
“Saya mencari Bu Diana Mahanani. Mau ditanganinya langsung. Nggak mau kalo anak buahnya!” tukas si tamu wanita.
“Mohon maaf, Ibu sedang ada di luar negeri. Baru kembali dua hari lagi mungkin. Bisa sama saya dulu, nanti pasti saya laporkan ulang sama beliau.”
Tamu wanita itu berdecak. “Nggak mau. Saya tunggu Bu Diana pulang saja. Buatkan saya janji sama beliau.”
Wanita itu mengeluarkan kartu nama dan memberikan pada Wahda. “Hubungi segera kalo saya sudah dapat jadwalnya.”
Wahda hanya mengangguk. Wanita yang memakai pasmina abu-abu itu melirik sekilas pada si tamu pria berwajah bule yang dari tadi tidak bersuara. Auranya terlihat dingin, kaku, dan menakutkan. Meskipun dibalut wajah seram, ketampanannya tidak melunturkan aura kharisma pria itu. Sangat berkelas.
“Ya sudah, saya permisi.”
“Baik, silakan. Mari saya antar.”
“Ayo, Sayang.” Si tamu wanita bergelayut di lengan si pria bule.
Wahda mengekor di belakang, mengantar tamu itu sampai meja resepsionis sekaligus memberikan kartu nama sang tamu tadi pada resepsionis.
“Ngeyel banget dia. Udah dibilangin Bu Diana nggak ada, tetep nggak percaya dan terus nyari. Akhirnya gue kasih ke lo aja,” keluh sang resepsionis.
Wahda hanya tergelak. “Udah biasa kan tamu ngeyel kayak gitu? Ya udah, buatkan janji temu sama Bu Diana, lalu sekalian lo hubungi nomor di kartunya ini.”
Sebagai orang yang sering berinteraksi dengan orang lain, Wahda hafal tabiat semua tamu atau klien.
**
Hari berlalu. Wahda belum sempat pulang sebab pekerjaan sedang sibuk-sibuknya. Meskipun hati dan pikirannya mengganjal, ia tetap bersikap profesional dalam bekerja.
Selain menjadi model busana muslimah atau gaun pernikahan, setahun terakhir Wahda menjadi salah satu karyawan kepercayaan sang bos untuk menangani klien sendiri dengan desainnya. Empat tahun bekerja sejak lulus kuliah, cukup membuatnya menjadi cakap.
Sampai suatu hari, pesan dari Hana membuatnya kembali terusik.
“Da, adikmu masuk rumah sakit. Katanya dia mencoba bun*h diri.”
“Loh loh, kenapa mau bunvh diri?”