3. Demi Adikmu

1015 Kata
“Tanggung jawab? Tanggung jawab apa, ya?” sela Wahda tidak tahan saat mendengar ucapan Damar. Tangannya mengepal kuat di samping tubuh. Damar dan Wirda menoleh bersamaan. Raut keterkejutan tercetak jelas di wajah keduanya. “Wa-Wahda. Kapan kamu datang? Kenapa nggak ngasih kabar dulu?” tanya Damar seraya berdiri. Wahda tersenyum getir. “Harusnya aku yang tanya. Kenapa Wirda masuk rumah sakit nggak ada yang mengabariku? Aku justru tahunya dari orang lain. Apa yang kalian sembunyikan?” Pandangan Wahda mengarah pada sang adik yang menunduk di atas kursi roda. “Ya, nanti aku jelaskan,” jawab Damar. “Dan perkataan tadi cukup membuat rasa penasaranku meningkat. Tanggung jawab. Apa maksudnya?” “Tolong mengertilah. Jangan berpikir buruk dulu. Adikmu sedang sakit.” “Hah, mengerti? Mar, sejak komunikasi kita sedikit terganggu, aku sudah curiga ada yang nggak beres dalam hubungan kita. Apa bener kamu selingkuh sama Wirda?” “Wahda! Jaga ucapanmu!” “Oh, sudah berani membentak sekarang?” “Bukan gitu. Tapi kamu salah paham. Ayo aku jelaskan. Kita ke kantin.” “Nggak! Selama ini kamu kira aku nggak tahu apa-apa? Kamu salah. Meskipun tanpa meminta, ada banyak orang yang dengan sukarela melaporkan adanya indikasi serongmu. Aku kira pelapor itu yang salah, ternyata dia benar. Apalagi saat kudengar obrolan kalian barusan. Apa ada hubungannya sakitnya Wirda sama hubungan kalian?” “Jangan membuat rusuh. Kasihan adikmu sedang sakit.” “Aku butuh penjelasan, Damar!” Damar tidak menanggapi ucapan itu. Ia mendorong kursi roda Wirda, membawanya masuk ruang inap. Wahda tertawa sumbang. “Entah disebut apa gue ini. Dibilang nggak ada simpati mungkin iya. Kalo gue nggak denger percakapan mereka tadi, mungkin gue akan nangis meluk Wirda. Tapi enggak. Mereka jelas menyembunyikan sesuatu. Sial*n kalian,” gumam Wahda seraya terduduk di kursi tunggu. “Wahda, Nak. Kamu pulang?” Suara familier terdengar dari arah lain. Kumala, ibu Wahda. Wahda bangkit, lalu mencium telapak tangan sang muara kasih dengan takzim. “Kamu sehat?” Wahda mengangguk. "Kamu ... kenapa ada di sini?" tanya Kumala heran. "Menurut Ibu? Tentu saja ingin melihat keadaan Wirda." “Siapa yang ngasih tahu kamu kalau Wirda di sini?” “Dari orang. Kenapa Ibu nggak ngabari aku?” “Takutnya kamu kepikiran. Makanya nggak dikabari. Toh di sini Wirda sudah ditangani.” “Apa benar Wirda berusaha bunvh diri, Bu?” Kumala terdiam sebentar, lalu mengangguk. “Kita perlu bicara, Nak. Ada banyak hal yang harus kamu tahu. Untuk saat ini, Ibu minta tolong jangan bicara hal yang membuat adikmu tertekan. Ya?” Alarm curiga kian menyala di kepala Wahda. “Sekarang temui adikmu dulu. Berikan dia semangat. Setelah itu pulanglah. Kamu pasti capek. Nanti Ibu nyusul dan jelaskan semuanya.” Wahda berusaha mengalah. Ia mengangguk. Wanita itu lantas masuk ruang inap yang berisi dua ranjang tersebut. Ranjang Wirda berada di ujung dekat jendela. Sementara ranjang satunya kosong. Terdengar suara isak tangis dari Wirda. “Tenang, Dek. Semua pasti bisa dilalui. Kamu harus kuat, sabar. Aku akan selalu ada untukmu. Aku akan menyelesaikan masalah dengan mbakmu, bicara sama dia.” Langkah Wahda terhenti. Ia urung membuka tirai yang menjadi sekat. Hati wanita itu remuk mendengarnya. Air matanya menitik. Dua kali mendengar ucapan aneh dari Damar, sudah cukup membuatnya paham. Bahwa benar, ada sesuatu antara Damar dan Wirda. “Aku takut, Mas. Aku takut. Aku mau m4ti aja.” Suara Wirda terdengar parau. Wahda menguatkan diri membuka tirai itu. Godam tak kasat mata justru melayang kuat mengenai dadanya sampai ia merasa sesak. Wanita bergamis hitam itu melihat tunangan dan adiknya berpelukan. Pelukan itu lekas terurai seiring bunyi tirai tersingkap. “Ma-maaf mengganggu. Kalian boleh lanjutkan. Oh, ya. Dek, semoga lekas sembuh.” Wahda mengucapkannya dengan nada bergetar. Kumala terpaku di ambang pintu. Wanita itu sudah berada di sana sejak Wahda masuk. Ia menangis melihat dua putrinya tengah bersitegang dalam diam. Wahda wanita pintar, berpendidikan, dan dewasa harus melihat tunangannya memeluk putri bungsunya yang saat ini tidak berdaya. Tanpa bisa berkata lagi, Wahda segera pergi dari sana. Ia sempat berhenti sebentar saat melihat ibunya menangis. Lalu segera berjalan cepat menjauh. “Damar, titip Wirda sebentar, ya, Le. Ibu mau pulang, mencoba bicara sama Wahda,” tutur Kumala. Damar bingung harus bagaimana. Sebenarnya ia harus bicara banyak pada Wahda, menjelaskan semuanya. Namun, justru diminta menemani Wirda. Ia akhirnya mengangguk sopan. ** “Adikmu diperk*sa dalam keadaan nggak sadar, Nduk. Dia ndak tahu siapa pelakunya. Dia juga menolak lapor polisi karena ndak mau kasus ini sampai tersebar. Dia malu.” Kumala memulai obrolan ketika sampai rumah. Wahda terpejam. Ia menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. “Kejadiannya sebulan yang lalu di sebuah rumah kosong. Untungnya dia ndak sempat dihabisi oleh para penjahat itu. Saat sadar, adikmu langsung pulang sambil menangis. Sejak saat itu adikmu mengalami trauma berat. Ndak kuliah, ndak pernah keluar rumah.” Wahda masih menyimak meskipun matanya menyorot kosong. “Dan yang paling menyakitkan, ternyata dia hamil. Lalu dia berusaha bunvh diri. Beruntung Ibu memergokinya dan nyawanya masih bisa tertolong. Lalu Damar berniat menikahi adikmu untuk menutupi malu. Adikmu tersiksa karena musibah ini, Nduk. Jangan membencinya, jangan menyalahkannya.” Air mata Wahda mengalir tanpa bisa dicegah. “Berita sebesar ini kenapa kalian rahasiakan dariku?” “Kami ndak mau membebanimu pikiran.” “Kalau sudah terbongkar seperti ini? Apa nggak malah membebaniku? Kalau aku nggak pulang, apa selamanya kalian akan diam dan membiarkanku bod0h sendirian?” Kumala terdiam. “Aku sama Wirda masih intens berkirim pesan. Kelihatannya dia baik-baik saja.” “Maaf. Karena kami masih mencari waktu yang pas untuk membicarakannya sama kamu.” “Dan kenapa harus Damar yang harus tanggung jawab? Ibu tahu sendiri dia sama aku sudah tunangan. Cari saja pelakunya, suruh tanggung jawab! Jangan Damar.” “Pelaku kejahatan jelas orang jahat. Apa kamu tega menyerahkan adikmu sama penjahat?” Suara bariton menyambar dari arah pintu. Baik Wahda maupun Kumala menoleh. Guntur, bapaknya Wahda. Pria itu berjalan dan duduk di samping Wahda, mengelus kepala sang putri sulung yang masih terbungkus pasmina. “Nduk, tolong ikhlaskan Damar untuk adikmu. Bukan kami yang meminta dia bertanggung jawab, tapi dia yang menawarkan diri. Bapak mohon. Ini demi adikmu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN