Diantara Pilihan

1657 Kata
“Nada mesra air memecah selimut bumi, hilir berceloteh menelanjangi sepi. Sekali angin duduk di pangkuan jendral, semilir rindu menerjang asa. Rindu menuai cengkram paling kuat, bak hempasan melukai batu konglomerat.  Pelangi yang tak diharapkan jaraknya, pelangi yang tak diharapkan leburnya. Cahaya pelita perlahan sirna, menyatukan bayangan, berakhir di telaga.” Happy Reading.   "Apa kau sedang menantang ayah Cleo?"  Suara Darren merendah tetapi ada ancaman pasti yang terselip disana. Tatapannya tajam menghunus kedalam mata biru Cleo. Andai saja Cleo bukanlah putranya sudah pasti Darren tidak akan membiarkan jantung kecil itu berdetak lagi setelah Cleo mengucapkan kalimatnya. Darren menahan diri sekuat tenaga, amarahnya hendak meledak dan dia tidak ingin menumpahkan seluruh lahar panasnya yang membakar kepada Cleo. Karena itulah Darren menarik wajahnya, sedikit memberi jarak untuk menarik napas panjang. Lalu matanya menatap lebih kejam kepada Cleo memberi isyarat supaya lelaki itu mengurungkan permintaannya.  Sayangnya Cleo yang sudah mengetahui arti syarat Darren hanya menipiskan bibir. Dia tidak gentar ataupun malah menjadi tertunduk kaku di bawah kekuatan ayahnya.  "Anggap saja seperti itu. Aku menantang mu, karena itu ayah harus menikah dengan Aurora. Ini adalah permintaan pertamaku atau mungkin akan menjadi permintaan terakhir pula." Setelah kalimat itu bergaung, Cleo langsung membalikkan badan hendak melangkahkan kakinya ke tangga.   "Aku sudah memenuhi permintaan mu sebelumnya. Bukankah kau yang bersikeras ingin mengemban pendidikan di sekolah kampung itu? Ayah bahkan melarang para pengawal untuk selalu berada disekitar mu dan itu semua adalah keinginanmu. Lalu apa maksudmu dengan mengatakan permintaan pertama." geram Darren dengan suara menggema mengerikan.   Mendengar itu Cleo terpaksa menghentikan langkahnya kemudian memiringkan sedikit kepalanya, memandang kepada Darren dari sudut matanya.  "Aku akan menurut pada semua perintah mu asalkan kau menikah dengan Aurora. Aku berjanji." sahutnya dengan tegas tanpa ada sedikitpun keraguan disana.   "Tetapi ayah tidak bisa menikahi perempuan itu. Tidak sampai kapanpun." ujarnya lantang menghanguskan seluruh harapan Cleo. Cleo bergeming, menatap lurus ke arah tangga.  "Kalau begitu, bersiaplah kehilanganku untuk selamanya." sambungnya kemudian lalu kembali melanjutkan langkahnya.   "Cleo, jangan berani melukai dirimu! Ayah akan membunuh siapapun jika kau berani melakukan itu." teriak Darren dengan kencang, melemparkan ancaman pasti yang hanya dianggap angin lalu oleh Cleo.  Setelah punggung Cleo menghilang dari pandangannya, Darren menarik rambutnya dengan kuat kemudian berteriak keras untuk melampiaskan rasa frustasinya. Rasa takut yang sangat tiba-tiba menghayuti benaknya, ekspresinya berubah panik bercampur kecemasan yang luar biasa. Saat ini dirinya seperti tengah menghadapi kematian yang di ujung mata, membuat otak Darren bekerja lambat dalam mencari solusi. d**a telanjang itu bergerak naik turun dengan tempo yang cepat karena emosi yang memuncak. Kemarahan Darren menyelimuti seluruh ruangan dan membuat udara disana terasa panas dan mencekam.   Ketika Anthonio memasuki ruangan itu bulu kudukku langsung berdiri. Suasana yang terjadi dalam ruangan sunyi itu persis seperti nuansa horor yang sangat menakutkan. Baru kali ini Anthonio merasakan rasa itu, rasa takut yang pekat hingga membuatnya berungkali menghela napas dalam-dalam.  "Anda baik-baik saja tuan?" Anthonio mengucapkan syukur ketika mampu mengeluarkan suaranya yang tercekat dengan jelas. Darren langsung membalikkan punggungnya, melempar tatapan datar pada Anthonio.  "Aku sehat. Ada apa?" tanyanya dengan nada tidak bersahabat.  "Tidak. Saya hanya mencemaskan anda, saya pikir telah terjadi sesuatu yang besar yang membuat anda begitu marah." sambung Anthonio menjelaskan kemudian mengigit ujung lidahnya.  "Kau benar. Telah terjadi sesuatu yang besar saat ini." jawab Darren membawa ingatannya menerawang, "Aurora, bagaimana menurutmu dengan perempuan itu."   Pertanyaan itu hampir membuat Anthonio terbatuk oleh ludahnya sendiri. Dahinya berkerut sementara otaknya bekerja keras mengingat-ingat kembali perkataan yang baru saja dilontarkan oleh Darren. Lelaki kejam itu bertanya tentang perempuan? Sungguh sesuatu hal yang menakjubkan seorang pembunuh berdarah dingin seperti Darren bertanya tentang perempuan. Sepanjang hidupnya tidak sekalipun Darren memikirkan perempuan, dia sangat membenci makhluk yang satu itu dan bahkan hampir ingin memusnahkan kaum lemah itu dari muka bumi ini.  "Kau tidak mendengar ku?" ada sedikit nada jengkel di kalimatnya ketika Darren berucap lagi karena keheningan lama yang melanda.   "Maafkan saya tuan, saya tidak memiliki pengalaman dengan perempuan. Sebab itulah saya tidak mampu memberikan jawaban dari pertanyaan tuan." sahut Anthonio sambil menelan kegugupannya.  Darren berdecak kesal, sekali lagi mengangkat tangan untuk mengusap wajahnya yang frustasi. "Cleo memintaku untuk menikahi perempuan itu. Jika tidak, dia akan mengakhiri hidupnya. Katakan apa yang harus kulakukan?" Sekali lagi Anthonio terdiam dengan tubuh kaku, mulutnya ternganga karena keterkejutan. Mata Anthonio terbelalak, seluruh otot wajahnya menegang, menyisakan rasa syok bercampur ketakutan disana. Sebab itukah tuannya terlihat cemas seolah pertahanan dirinya telah runtuh? Darren, si kejam itu tidak pernah menampakkan kekalutan pikirannya bahkan pada dirinya sekalipun. Anthonio mengerjapkan mata hendak meyakinkan dirinya bahwa lelaki dihadapannya ini adalah Darren. "M-menikah?" ucapnya dengan terbata-bata. "A-anda, bagaimana, maksudku... tuan ingin menikahi nona Aurora? Bagaimana mungkin?" Pada detik itulah Anthonio merutuki mulutnya yang berucap tanpa sadar. Tatapan ngeri Darren yang seolah menusuk hatinya membuat Anthonio meringis kecil, menatap takut-takut ke arah lelaki itu. "Apa yang kau maksud dengan bagaimana mungkin. Menurutmu ada masalah dengan diriku begitu?" tanya Darren dengan nada tidak suka. Jemari Anthonio langsung bergerak untuk mengusap bagian belakang lehernya, "B-bukan itu yang saya maksudkan tuan. Tetapi... tetapi... "Ah, sudahlah, kau membuatku bertambah pusing." Darren menyela cepat perkataan Darren, tidak memberikan kesempatan kepada lelaki itu untuk menyelesaikan kalimatnya. Kemudian Darren hendak melangkah melewati Anthoni lalu berjalan ke arah meja tetapi gerakannya seketika terurung. Dengan rasa kesal yang memuncak, Darren menolehkan kepala ke arah Anthonio lagi. "Segera temukan jawaban dari pertanyaanku tadi. Aku akan menangih malam ini." sambung Darren memberi perintah tak terbantah. Seketika itu juga Anthonio mendongakkan kepala, hendak melontarkan segala bantahan yang telah berkumpul di mulutnya. Namun Anthonio hanya bisa menahan bantahan itu sebab Darrren sudah terlebih dulu melangkah dan mendudukkan diri di kursi. Sial. Dimana aku harus menemukan jawaban itu. Jason menarik lembut jemari Aurora, menuntunnya pelan menuju ke arah mobil. Bibirnya mengulas senyum sumringah, sayang sekali matahari tampak tenggelam dalam tidur pulas hingga tak dapat memberikan sinar kekilaun yang mungkin saja terjatuh di wajah lelaki itu dan membuat kadar ketampanannya bertambah. "Kau sehat?" tanya Aurora tiba-tiba memandangi wajah Jason dengan dahi berkerut. Jason terkesiap, secepat kilat menolehkan wajahnya pada Aurora. "Aku baik-baik saja. Kenapa kau bertanya seperti itu?" "Tidak. Hanya saja sejak tadi kau selalu tersenyum. Aku pikir ada sesuatu yang membuat mu bahagia." Jason terkekeh kecil, sengaja menggantung jawaban untuk membuat Aurora semakin penasaran. "Masuklah. Kau akan segera menemukan jawaban dari pertanyaanmu." ucapnya mengedikkan dagu, mempersilahan Aurora untuk masuk ke dalam mobil. Aurora membuka sedikit bibirnya hendak berucap tetapi jemari Jason sudah terlebih dulu mendorong tubuhnya. Aurora menghela napas kesal, tidak lagi berniat untuk membantah lelaki itu.  Sementara Jason setelah memastikan Aurora duduk dengan nyaman segera berlari kecil memutrai mobil. Di detik selanjutnya mobil berwarna hitam itu melaju, membelah jalanan.  "Kau yakin Aurora akan datang?" Ken berucap sambil bersedekap, menatap kepada Shasa dengan jengkel "Pulang saja. Jika kau tidak ingin menunggunya." sahut Shasa dengan nada ketus. Ken memutar bola matanya, Shasa akan sangat berubah sensitif jika menyangkut Aurora. Di punggung kursi ayunan itu Ken menyandarakan punggung kemudian memejamkan mataya. Saat ini rasa kantuk yang berat tengah melanda dirinya tiba-tiba. Sementara Shasa menolehkan kepalanya ke arah Ken, bibirnya mengerut ketika melihat lelaki itu malah memasang sikap santai.  "Ken, apa yang kau lakukan!" hardik Shasa dengan keras. "Tidur, apalagi." jawab Ken tak kalah ketus. Shasa mengalihkan pandangan ke depan dengan wajah cemberut,  matanya berkilau hendak menangis. Kepalanya menunduk sementara kedua tangannya terjalin saling meremas.  Ken mendesah, tanpa perlu melihat kepada Shasa, dia sudah mengetahui jika perempuan itu sedang menahan tangis. Ken membuka mata lalu menoleh kepada Shasa, memandangi sejenak wajah perempuan cantik itu. "Jangan menangis. Aku tidak membiarkan mu menunggu sendirian, cepat angkat wajahmu." ucap Ken dengan nada lembut. Seketika itu pula, Shasa langsung mengangkat wajahnya lalu menatap ke arah Ken. Bibir munglinya mengulas senyum simpul, membuat wajah cantik Shasa kembali bersinar. "Terimakasih." bisiknya pelan Ken tersenyum simpul, memandangi wajah Shasa yang begitu cantik. Dengan rambut panjangnya yang terurai, mata hazelnya yang berkilauan sungguh membuat Shasa seperti seorang putri bangsawan. Pada detik pertama, ketika mata hijau Ken mendarat pada sosok perempuan mungil yang ceria itu, Ken langsung terjatuh kedalam pesonanya. Entahlah, masih sulit menyimpulkan perasaan mengagumi ini menjadi sebuah ikatan kuat. Ken menjumputkan untaian rambut yang terjatuh menutupi sebagian wajah Shasa, menyelipkan ke belakang telinga perempuan itu lalu menggerakkan tangannya untuk menepuk kecil kepala Shasa. "Dasar manja." bisik Ken dengan suara yang hampir tidak terdengar. Suara deru mobil yang mendekat langsung mengalihkan perhatian keduanya. Ken dan Shasa memandang bersamaan, tampak kerutan karena kebingungan di kening mereka. Hingga perlahan kebingungan itu tersingkir tanpa perintah menampakkan wajah cerah dengan senyum lebar disana. Shasa langsung melompat dari kursi ayunan untuk kemudian berlari kencang. "Aurora, kau sudah datang?" teriak Shasa sambil merentangkan kedua tanganya kepada Aurora. Aurora tersenyum manis kemudian merentangkan tangannya untuk membawa Shasa ke dalam pelukannya. Hampir saja dirinya terjungkang ke belakang karena kehilangan keseimbangan, beruntung tubuhnya sudah terlebih dulu dibentengi oleh Jason yang berdiri tepat di belakangnya. "Hati-hati gadis kecil, kau hampir membuat Aurora terjatuh." ucap Jason menundukkan kepala untuk menatap Shasa. Mendengar suara itu, Shasa mengurai pelukannya sesaat. Kemudian mengangkat wajahnya hingga mempertemukan pandangan mereka. "Paman Jason?" tanyanya setelah memastikan penglihatannya lebih baik. Jason langsung memutar matanya ketika mendengar panggilan Shasa. "Kakak bukan paman Shasa. Apa wajahku sangat tua?"  Shasa mengedikkan bahunya kemudian kembali menenggelamkan wajahnya di perut Aurora, memeluknya erat-erat. "Hm. Paman memang sudah tua." Jason melototkan matanya garang hendak menyahuti perkataan Sahsa tetapi suara dingin yang tiba-tiba terdengar langsung memusnahkan seluruh kalimatnya yang telah tersusun. "Apa yang kau lakukan disini Jason." Tepat ketika kalimat itu selesai bergaung, wajah Jason langsung berubah masam. Ekspresi jengkel yang luar biasa tampak jelas di sana ketika memandang ke arah Ken. Kesialan apalagi ini, dasar kulkas mini.   Hai hai.... Kami kembali, hihihi Teman- teman jangan lupa tap love yah, gak maksa sih. Kalau menarik di hati readers sekalian gpp dong love nya di tap.? Maaf kalau gak post tiap hari sebenarnya lagi nunggu ACC kontrak dulu. Doain yah cepat Clear, biar up terus deh.... Oh iah kalau ada saran dan masukan boleh banget loh, dipersembahkan untuk memberikan komentar yang positif di n****+ ini. Terimakasih semuanya, sampai jumpa di next chapter ✌️?    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN