"Aksara bergulir tanpa makna di atas kertas dekil. Hampa dalam balutan rasa hati mengecil. Berusaha busungkan d**a meski keyakinan begitu kerdil. Apa hendak ku tuang jika inspirasi tertutup awan pada sudut kastil. Kau pergi, terenggut hujan yang datang tiba-tiba. Hatiku berdarah, aksara pada netra jauhku kian tenggelam. Pada dekap mu aku telah menjadi abu-abu, tersisa dari serpihan patah."
_______ Dee, Stuck With You
Ibu Amira menggigit bibirnya ketika menyapukan obat di permukaan kulit leher Aurora yang mulai menghitam. Sejak tadi dia telah menahan diri melihat kekejaman Darren yang tampak seperti predator pemangsa. Ibu Amira menyembunyikan diri di balik tembok yang berada di ujung tangga, tidak memenuhi perintah Aurora yang menyuruhnya bersama dengan anak panti lainnya. Ada sesuatu hal yang harus dipastikannya dan siapa yang bisa menduga, rupanya perasaan cemas yang melandanya akhir-akhir ini adalah karena permintaan Darren yang hendak menikahi Aurora. Tidak, dia tidak akan merestui pernikahan itu. Darren lelaki kejam, dia bisa melalukan apapun bahkan membunuh dengan mudah tanpa perasaan.
"Jangan khawatir ibu, aku baik-baik saja."
Suara lembut Aurora tiba-tiba, langsung memecahkan lamunan ibu Amira. Perempuan paruh bayah itu mengangkat pandangan, menatap wajah Aurora sendu.
"Kau terluka. Bagaimana mungkin kau baik-baik saja." jawabnya tanpa nada, kembali memfokuskan perhatian ke leher Aurora.
Mata Aurora terpejam rapat sejenak, tahu sebentar lagi dirinya akan mendengarkan ceramah panjang dari perempuan dihadapannya ini.
"Itulah kenapa ibu selalu menyuruh mu untuk bercerita tentang apapun. Tetapi kau malah bersikap seperti biasanya seolah tidak ada hal yang mengancam hidupmu. Kau tidak memahami, jantungku hampir berhenti berdetak saat mengetahui kau berhubungan dengan lelaki itu dan dia hendak menikahi mu. Aku tidak percaya kau bisa melakukan hal semacam ini pada ibu."
Aurora menahan rintihan lolos dari bibirnya saat merasakan sentuhan tangan ibu Amira yang sedikit kasar di lehernya.. Sepertinya perempuan cantik itu tengah melampiaskan kekesalannya disana. Aurora menyentuhkan tangannya, membuat tangan ibu Amira membeku di udara.
"Ibu... semua yang kau lihat hari ini bukanlah berdasarkan hasil pengamatan mu sendiri. Aku tidak mengenal lelaki itu, pertemuan kami pun hanya karena ketidaksengajaan yang malah menimbulkan kesalahpahaman. Aku tidak mengerti kenapa Darren ingin menikahi ku, sebab aku dan dirinya tidak berada dalam hubungan saling mengenal apalagi menjalinkan ikatan. Percaya padaku ibu, aku tidak menyembunyikan apapun lagi darimu." ucap Aurora memberi penjelasan dengan nada lembut sambil menggenggam tangan ibu Amira.
Ibu Amira berdehem, merasa malu atas sikapnya itu.
"Lalu kenapa putra lelaki itu terlihat sangat menyayangi mu? Dia bahkan memanggilmu dengan sebutan ibu." sambungnya lagi memberikan pertanyaan menohok.
Aurora tertegun, sejenak mengalihkan pandangan dari ibu Amira, membawa pikirannya menerawang.
"Entahlah ibu, aku tidak bisa menjelaskannya. Sejak bertemu dengan Cleo aku bisa merasakan kesepian yang sangat dalam diri anak kecil itu. Sulit untuk mengungkapkannya karena hatiku tidak bisa merangkai perasaan ini dengan kata-kata supaya dimengerti olehmu. Hanya saja, ketika melihat Cleo, aku langsung jatuh cinta padanya." Aurora memunculkan senyum tipis, saat ingatannya melayang pada pertemuan pertama mereka.
Ibu Amira menghela napas pendek, "Apa itu berarti kau menyetujui permintaan Darren untuk menikahi mu? Bagaimana jika lelaki itu memaksamu."
Aurora mengembalikan pandangan pada ibu Amira, mengangkat tangannya untuk mengusap area lehernya yang meninggalkan jejak kebiruan yang kini telah berubah menghitam disana. Suaranya dingin penuh penegasan sebelum berucap.
"Tidak. Aku tidak akan pernah menikah dengannya." jawabnya pelan dan lambat-lambat memastikan bahwa ibu Amira mendengar dengan baik.
_______________________________________
"Lepaskan aku!" Cleo menghentikan tangannya sekuat tenaga hingga terlepas dari cengkraman Darren.
Mata birunya dilumuri kemarahan yang kental, memandang ngeri pada Darren. Tanpa berucap, Cleo membalikkan badannya untuk kemudian berlari menuju tangga.
"Cleo! Ayah belum bicara, tunjukkan sopan santun mu!"
Darren menggeram keras lalu melangkah maju hendak menyusul Cleo namun seketika terurung saat mendengar suara dari belakangnya.
"Tuan?"
"Ada apa lagi." Darren melempar tatapan membunuh sesaat setelah dirinya berbalik ke arah Anthonio.
Seluruh perkataan Anthonio yang hendak dilontarkan seketika berkumpul di mulutnya. Butuh waktu sedikit lama untuknya melepaskan diri dari suasana mencekam ini sebelum kemudian berkata.
"Tuan, mereka telah berada di ruang bawah tanah."
Di detik yang sama, mata biru Darren langsung berbinar. Wajahnya cerah seolah kegelapan yang dilingkupi menyingkir dalam sekejap dari sana. Darren menyeringai, ada senyum puas yang terselip dimatanya.
"Kerja bagus. Bawa aku kesana." ujarnya memerintah dengan ekspresi misterius.
Anthonio mengangguk, membalikkan badan lalu melangkah terlebih dulu dengan menunjukkan sikap hormatnya. Hampir saja nyawanya melayang, jika saja dirinya membawa kabar buruk yang semakin mengobarkan kemarahan Darren. Keberuntungan lagi-lagi berada di pihaknya, sungguh malam ini kebahagiaan seakan berlipat kepadanya. Bagaimana tidak, hasrat membunuhnya mulai terbangun dari tidur yang dipaksakan, sebentar lagi hasrat itu akan segera terbayar puas.
Darren melangkah lebar dan sedikit mempercepat supaya sampai di ruangan itu. Ketika melihat pintu berwarna merah di hadapannya, Darren semakin menambah kecepatan langkahnya. Para bodyguard yang bertugas disana, ketika melihat kedatangan Darren beserta dengan tangan kanannya langsung menundukkan kepala, memberi hormat sebelum kemudian membuka pintu, mempersilahkan mereka masuk.
Suasana ruangan itu minim cahaya, Darren melangkah lambat dan setiap jejaknya membuat suasana semakin mencekam. Ketika melihat Anthonio berhenti tepat di hadapannya, Darren segera memberi perintah untuk menyingkir melalui isyarat matanya.
Anthonio menurut, berjalan ke arah pintu untuk berdiri disana sejenak, memberi ruang kepada tuannya. Sekalipun begitu, mata Anthonio yang awas tetap mengawasi mereka dengan seksama, khawatir jika hal buruk menimpa tuannya, meskipun hanya kemungkinan kecil saja.
Darren terkekeh sambil melangkah ke arah kursi yang tersedia disana lalu mendudukkan diri. Pandangannya terjatuh pada seorang lelaki tepat di hadapannya. Bibirnya mengurai senyum tipis, melempar tatapan mengejek kental ke arah lelaki itu.
"Jackson Matheus, aku benar bukan?" ucapnya dengan suara rendah, menyelipkan peringatan tegas disana.
Mendengar itu, kali ini Jackson yang terkekeh, memasang ekspresi menghina kepada Darren.
"Bunuh saja aku. Kau tidak akan pernah mendapatkan informasi apapun dariku." Jackson berujar sambil melototkan matanya dengan garang, gerahamnya mengetat.
Darren terdiam, senyumnya masih terpatri disana. Sikapnya yang tenang malah semakin menambah kesesakan di ruangan itu.
"Jangan terburu-buru seperti itu, aku pasti akan memenuhi keinginan mu. Tetapi sebelum itu, aku hanya ingin mendengar sedikit saja kebenaran dari mulut mu sebelum aku merobeknya." Darren berucap dengan nada arrogant sepenuhnya, memastikan supaya Jackson memahami perkataannya.
Jackson tertawa keras, tubuhnya bahkan berguncang hebat seolah menertawakan kebodohan Darren. Cukup lama dirinya memuaskan diri dalam tawa itu, sebelum kemudian ekspresinya berubah serius dan tatapannya menjadi tajam.
"Bukankah sudah ku katakan bahwa kau tidak akan mendapatkan keinginanmu? Jadi bermimpilah, selagi kau masih memiliki kesempatan." sambungnya kemudian dengan senyum mencemooh.
Darren memundurkan punggungnya, menyatukan kedua tangannya di depan d**a. Ekspresinya tidak berubah sedikitpun, tetap tenang seolah tidak merasakan kemarahan melihat sikap lancang Jackson.
"Bawa perempuan itu masuk."
Dan tepat ketika Darren menyelesaikan kalimatnya, suara pintu yang terbuka di susul dengan suara teriakan histeris perempuan langsung memenuhi ruangan itu.
"Kak Jackson!"
Jackson melebarkan matanya karena rasa syok bercampur terkejut luar biasa saat melihat adik perempuannya telah tersungkur di kaki Darren.
"Veronica, apa yang terjadi? Kenapa kau berada disini?" Jackson berucap dengan suara keras, berusaha untuk melepaskan tubuhnya dari tali yang mengikat. "Lepaskan adikku sialan!" hardiknya dengan putus asa, matanya memerah karena emosi menggebu.
"Ku beri satu kesempatan, katakan dengan siapa ayahmu menjalinkan kompromi dan berbalik untuk menyerang ku. Aku tahu ayahmu tidak bekerja seorang diri ketika mencuri uang perusahaan ku, sebab aku menemukan transaksi ilegal saat menggeledah rumahmu. Dan aku pun tahu, jika kau turut membantu ayahmu untuk memuluskan rencananya." Darren berujar dengan sedikit mendesiskan, menahan amarah sekuat tenaga.
"A-aku tidak tahu. Aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu." sahut Jackson dengan suara bergetar kali ini karena ketakutan yang menyergapnya.
Darren menipiskan bibirnya, menatap Jackson dengan sinis. kemudian dia memiringkan kepalanya, hendak menatap ke arah Anthonio.
"Anthonio, seret perempuan ini dan bawa ke hotel ku. Setelah itu, hubungi rekan bisnis ku yang bersedia untuk mencicipi tubuhnya, bila perlu kalian pun boleh bergilir mencicipinya." perintahnya tanpa nada, membuat Veronica menjerit keras karena ketakutan.