Lama mataku menatap layar gawai yang terasa begitu dingin ditangan. Aku menanti pesan berbalas.
Mengapa begitu lama, bathinku. centang dua itu masih hitam menjelaga seperti suasana hatiku.
Ayolah Isrina, balas pesanku. Biarkan aku menemui, aku tidak kuat menahan debaran ini.
Ting.
Tiba-tiba suara notifikasi pesan WA masuk membuyarkan lamunan.
Aku terlonjak, suara notifikasi itu seperti nyanyian dari syurga di telingaku. Sebaris tulisan kueja dengan perasaan mengharu biru.
[Kenapa Mas, harus jauh-jauh mengambil suplemen itu ke kotaku. Aku bisa mengirimkannya via jasa titipan kilat]
Balas Isrina dingin.
Aku menghela napas, tak mungkin mengakui rasa hatiku. Aku sudah memilih untuk menikahi Anggita, juga sudah membuat undangan yang sebagiannya sudah disebar. Lalu apa kata dunia, kalau aku malah makin merindukan Isrina. Laki-laki t***l.
[Ada yang harus kita bicarakan, mengenai perceraian kita. Besok aku ke rumahmu menemuimu.]
[ Baiklah, aku menunggumu.]
Aku benci telah menjadi laki-laki pendusta. Tapi hanya dengan cara itu, aku bisa menemui Isrina. Hanya dengan cara itu, bisa menatap sepasang bola mata bening dan senyum hangatnya.
Malam ini aku tidur dengan gelisah, aku ingin jam segera menunjuk kepukul empat pagi dimana aku bisa terbangun dan segera meluncur pergi menemui sosok perempuan yang tiba-tiba menggedor pintu hatiku.
Mengapa aku harus bersedih di saat Anggita, perempuan yang kuhadirkan dalam setiap doaku sebentar lagi menjadi istri.
Atau jangan-jangan aku sudah mencintai Isrina?
Mencintai di saat menunggu hari sidang Pengadilan Agama memutuskan aku secara resmi berpisah dengan Isrina, begitu juga hari pernikahanku dengan Anggita yang sudah ditetapkan?
Lagi-lagi aku merasa jatuh cinta pada sosok perempuan yang bukan milikku.
****
Udara segar dari deretan pohon bambu yang berjejer pekarangan rumah Isrina perlahan mengusap pipiku dengan sendu. Sisa penat masih terasa saat aku merebahkan punggung di kursi. Lima jam perjalanan Bogor-Garut sebuah kota kecil di daerah priangan, kutempuh dengan sedikit ngebut. Berkali-kali Anggita yang melakukan panggilan video call tidak kuhiraukan.
Rumah Isrina begitu sunyi, emak lagi pergi ke pengajian. Sedangkan Kang Harun, kaka Isrina satu-satunya sudah berkeluarga, dan tinggal bersama istri dan anak-anaknya. Sehari-hari emak ditemani Encep, anak Kang Harun yang paling besar dan sudah bersekolah di Madrasah Tsanawiyyah terdekat.
Aku terduduk kaku dihapan Isrina. Aku melengos, menyembunyikan tatapanku yang penuh rindu. Aku tidak ingin terlihat rapuh karena telah salah memilih cinta masa laluku, dibanding dirinya. Bagaimanapun aku laki-laki, harga diri lebih utama. Bodohnya.
"Encep, mana, Rin? " tanyaku berusaha mengurai sunyi.
"Encep lagi bikin kandang kelinci Mas, di belakang."jawab Isrina pendek, tanpa sedikitpun berniat memanggil keponakannya.
Padahal, Encep selama ini dekat denganku kalau tiap libur menginap di rumah Isrina. Sepertinya aku bukan siapa-siapa lagi di rumah ini.
Rumah ini bukan lagi milikku, melihat kamar tempat biasa aku dan Isrina menginap, tertutup rapat.
"Kapan sidangnya di mulai, Mas? " tanya Isrina to the point.
"Beberapa hari lagi mungkin, Rin." jawabku hambar.
"Aku akan datang, akan kubuat sidang itu mudah."
Aku membuang nafas dengan keras, kenapa aku tidak suka mendengar kalimat itu.
"Aku tidak akan menuntut apapun darimu," katanya pelan, tangannya mengulur sebuah bungkusan kecil.
"Ini suplemenmu, habiskan. Insyaa Allah, setelah Mas resmi menikahi Anggita, Allah akan memberi Mas keturunan."
Duh wajahku rasanya panas. Aku merasa ada yang menganak di sudut mataku, ketulusannya saat memberiku semangat, membuatku merasa jadi orang yang paling jahat di hadapannya.
Aku segera menerima bungkusan berisi suplemen kesuburan dari dokter langgananku dengan tangan sedikit bergetar.
"Terimakasih, Rin," jawabku parau.
"Pulanglah, Mas. Tidak banyak yang harus kita bicarakan mengenai perpisahan ini. Tunggu aku di persidangan. Nanti kusampaikan salam Mas, pada Emak dan Kang Harun, " ucap Isrina dalam. Intonasi suaranya terukur, meski melankolis, bukankah dia seorang penulis? dia terbiasa menuangkan airmata tidak dengan kata-kata, melainkan dengan aksara dan pena.
"Rin, kamu tidak rindu? "
"Kenapa kau tidak memelukku? "
"Tahukah aku semalaman tidak bisa tidur, hanya karena ingin segera menemuimu."
"Mengapa kau cepat menyuruhku pergi?" Seluruh kata itu hanya kusimpan rapat di hatiku. Saat dengan senyum yang lembut tapi penuh luka, sekali lagi Isrina menyuruhku pulang.
"Kamu tidak apa-apa Rin, kamu mengerti dengan pilihanku? "
Kenapa juga aku bertanya demikian, kalau aku melihat perempuan itu mengangguk. Meraih tanganku dan mendekap di dadanya, sejatinya sebelum talak dibacakan dia masih istriku.
Sekuat tenaga kutahan debaran hati ini, sekuat tenaga aku menahan tangan agar tidak menarik wajahnya kedalam dekapan dadaku. Sekuat tenaga kurapihkan detak jantung, saat matanya menatap dua bola mataku.
"Percayalah padaku Mas, saat aku melihatmu bahagia bersama Anggita, maka akupun bahagia. Pulanglah, mulai hidup indahmu bersama perempuan terindah dalam hidupmu. Lupakan aku, bagiku mencintai tidak harus memiliki."
Tuhan, seandainya ada seribu pisau yang terhunjam ke dadaku, rasanya tidak sesakit dan sepedih melihat ketulusan hati, orang yang telah kusakiti dan kusuruh pergi.
Lagi-lagi aku merasa ada yang hangat di pelupuk mata yang menganak mengaburkan pandanganku.
Rin, begitu caramu mengajarkanku mencintaimu? Begitu caramu menyuruhku untuk merindu?
Manis tapi menyakitkan!
Langit perlahan memerah, senja baru saja turun. Bayangan gunung Papandayan bertengger kokoh di sebelah selatan. Membawa langkahku menjauh.
Kutengok sekali ke belakang, pintu rumah Isrina telah tertutup. Aku kini sadar, tidak ada lagi tempatku di hatinya. Duh.