Senja Yang Penuh Luka

1116 Kata
(Part 4) Kupandangi sekali lagi pintu rumah Isrina yang tertutup rapat. Ingin sekali aku kembali dan membukanya, agar aku mendapati wajah berparas biasa itu tersenyum hangat dan menatapku dalam tatapan penuh rindu seperti biasa. Aku menyeret langkah menjauh, aku ingin segera pergi sejauh mungkin agar perasaan yang menyuruhku kembali pada perempuan yang selama tiga tahun mengisi hidupku itu sirna. Langit senja membiaskan sinar perak. Deretan pohon bambu dan lambaian ujung daun padi di hamparan sawah di seberangku seperti menertawakan. Laki-laki k*****t, yang terjebak dalam dua cinta. Cinta Anggita, perempuan masa lalu yang selalu mengusik jiwa laki-lakiku sejak pandangan pertama, atau cinta Isrina perempuan yang kutemui di bersama Anggita di halaman UPI senja itu, ketika kedua gadis itu menunggu angkutan kota menuju daerah Setia Budi, tempat kos mereka. Isrina yang barusaja menutup pintu rumahnya dengan rapat atau bahkan menutup pintu hatinya untukku, Sejatinya adalah perempuan yang penuh lautan kasih untukku. Langit senja makin memerah, bayangan Gunung Guntur berdiri kokoh di barat kota, setengah bersembunyi di bawah arakan mega yang menguning. Aku tersenyum pahit, Gunung Guntur selalu memiliki kenangan yang dalam bagiku. Gunung Guntur selalu menjadi tempat pendakian paling disukai bagi anak-anak kuliah sepertiku kala itu, selain tarif masuknya lebih murah dibanding Gunung Papandayan, alamnya pun lebih menantang. Dengan tingkat kemiringan yang aduhai. Bertahun silam aku menyatakan cinta pada Anggita di atas puncaknya, di bawah sinar keemasan matahari terbenam, di bawah deru angin yang mulai kencang. Aku ingat, riak rambut perempuan itu indah menutupi sebagian wajahnya yang jelita. Di puncak gunung itu juga untuk pertamakali aku meminta pada Isrina, sesaat setelah Anggita pergi, untuk bersedia menjadi pendamping hidup. Aku tidak bisa lupa, dibawah purnama penuh dan di atas hamparan city light kota Garut dimalam hari, aku melihat linangan air mata Isrina. Dalam iringan dawai gitar para sahabatku yang ikut ngecamp di ujung tenda, Isrina menerima cintaku. Aku menghembuskan napas ke udara, berharap kenangan itu berlalu. Langkahku terhenti, setengah tidak percaya mataku menangkap sosok semampai dengan rambut merah keemasan tertimpa cahaya senja yang berdiri di ujung halaman rumah Isrina, Anggita. "Kamu.... " Aku mengerjapkan mata mengurai rasa heran. Melihat penampilan Anggita yang nampak letih, sepertinya perempuan itu menyusulku menggunakan kereta. "Ya Mas, aku tahu kau ke sini, aku tahu diam-diam kau pergi menemui Isrina," ucapnya perlahan. "Bawa aku menemui istrimu, " pintanya meraih tanganku, menuju kearah pintu rumah Isrina yang tertutup. "Aku ingin, Isrina tahu kita tidak mungkin berpisah. Undangaan pernikahan kita sudah disebar, sepantasnya dia mengerti." "Sudahlah Anggita ayo kita kembali," kataku menarik tangan Anggita. Berharap perempuan itu segera mengkuti langkah, aku tidak mau deburan hati ini menjadikanku semakin menyesal karena meninggalkan Isrina. Anggita menggeleng, dengan langkah lebar dia malah mengetuk rumah Isrina. Dadaku berdegup, khawatir ada pertempuran hebat, dari dua wanita yang paling spesial dalam hatiku. "Anggita?" Isrina termangu. "Tak usah kaget Rin, bukankah dulu rumah ini juga rumahku." Anggita menebar senyum, berusaha membuka percakapan seperti seorang pemenang. Isrina tersenyum, membuka pintu lebar-lebar. "Tentu saja Gita, rumah ini akan jadi rumahmu juga kini. Ayo kita masuk," ucapnya lembut diluar dugaanku, Intonasi suaranya tenang dan terkontrol. luar biasa, aku baru menyadari Isrina bukan pecundang. "Aku disini saja, Rin." Anggita menggeleng pelan, dia tetap berdiri dengan jarak dua meter dari Isrina. "Baik, katakan padaku apa yang kau inginkan." "pergi jauh dari kehidupan Sagara, biarkan dia mengisi hari-harinya hanya denganku." Pinta Anggita tegas, Suaranya mengambang di udara. "Aku berharap engkau mengerti, kalau episode cintamu dengan Sagara telah berakhir. Dia hanya mencintaiku dan kami akan segera menikah," ucap Anggita lagi, kali ini suaranya penuh penekanan. Matanya yang indah seperti bintang Venus menatap tajam ke arah Isrina. Sementara aku menahan napas. Isrina mendengar setiap kata Anggita dengan seksama, ujung hijabnya meriap indah dalam sinar matahari senja dan angin yang mulai menderu. Sepasang matanya yang teduh dan selalu menyapu jiwaku, menatap lirih ke arah lambaian daun padi di sebrang sana. "Anggita, kenapa engkau harus mengucapkan kalimat seperti itu padaku?" tanyanya pelan sekali memecah sunyi. "Bertahun kamu mengenalku semenjak malam Inagurasi itu, seharusnya kamu mengerti siapa aku," Anggita terdiam, menatap awas gerakan bibir Isrina menanti setiap kalimat yang akan keluar dari bibir yang selalu menebar sapa dan senyum lembut itu. "Bertahun kita bersama sebagai Mahasiswi daerah yang mencoba hidup di rantau dalam segala keterbatasan, bertahun kita bersama karena kita diterima di fakultas yang sama." Aku terdiam, kata-kata Isrina begitu runtut membawaku pada kenangan bertahun silam saat kami bersama-sama hidup di Bandung sebagai mahasiswa rantau. "Seharusnya kamu sudah mengerti, siapa perempuan yang kau panggil sahabat waktu kau bernyanyi di depan cahaya api unggun, saat perkempingan jurusan kala itu. Aku yang kau sebut, sahabat sejatimu, aku tidak lupa itu Gita," "Aku yang menangis dan menungguimu berhari-hari saat kau terkena tiphus karena kecapean dan kurang asupan nutrisi yang bergizi di semester tengah, aku juga yang berdiri menentang orang tuamu saat kau di jodohkan oleh orang tuamu," Aku mendengar suara Isrina basah. Ada bilur luka yang menganak di pandangan matanya, sementara Anggita mendengarkan dengan tubuh mematung. "Anggita, perempuan yang kini berdiri dihadapanmu, yang kau sebut lilin penyemangatmu saat kau hampir putus asa karena banyak mata kuliah yang tidak selesai, aku perempuan yang kau sebut pelita saat kau terluka karena ulah kakak tirimu yang jahat." Hening. "Akulah perempuan yang sama waktu itu, kini dan nanti." "Aku perempuan yang akan memberikan apapun yang kupunya padamu dulu dan hari ini." Suara Isrina semakin pelan. Hatiku bergemuruh. Rasa penyesalan itu semakin dalam. "Jika dengan mengambil Sagaraku kau bahagia, ambilah Gita." "Jika dengan menikah kalian akan bahagia, lakukan. Dari awal aku tidak pernah menghalangi apapun tentang kisah cinta kalian.Dan kamu, Anggita, jika kamu ingin memiliki Sagaramu dengan utuh, ambillah. Aku yang pergi," Isrina mengakhiri kalimatnya, sebait puisi luka, kutangkap dari sudut matanya yang basah. Untuk kesekian kalinya aku menangkap perempuan itu menangis dalam sunyi. "Mas, hari sudah senja. Pulanglah, tak ada ya harus dibicarakan lagi diantara kita." Mata Isrina berpaling padaku, tatapannya menjelaga dan penuh luka. Tuhan, putar kembali waktuku agar aku tidak harus jatuh cinta pada kisah lamaku. Agar aku tidak dihadapkan pada posisi tersulit seperti ini. "Pulanglah Mas, persiapkan pernikahan kalian. Buat momen penting itu sebagai momen yang indah, aku ikut bahagia." ucap Isrina pelan sambil tersenyum. Diraihnya tangan anggita, digengamnya dengan kelima jemarinya. "Anggita, bawa Sagaraku pergi dan jadilah isri yang baik baginya. Buat dia bahagia," bisiknya lirih, segaris air mata samar menganak di netra matanya. Aku termenung, menatap punggung Isrina yang hilang dibalik pintu. Sementara Anggita menatap tubuh yang hilang dibalik pintu itu dengan senyuman. Tuhan, aku menangis. Buat laki-laki yang bermimpi kebahagiaan dengan merajut kisah lama, bertanyalah padaku tentang arti sebuah penyesalan. Senja makin merah, dengan hati yang beku, karaih tangan Anggita untuk segera pergi. Senja hampir punah,sinar merahnya makin menipis di ufuk barat, dalam gelap yang mulai turun, aku memacu mobilku meninggalkan sepotong hatiku untuk seorang Isrina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN