Malam itu, masih di celah pintu apartemen Zeedan yang mana Lena kesulitan untuk menutupnya sebab ada sosok Pak Wili yang menjelma sebagai ganjalan. Membuat suasana kian meresahkan bagi Marlena yang waswas takut ketahuan.
Oh, Lena diselimuti ketegangan yang mapan. Terlebih saat tubuh Pak Wili semakin merangsek maju, menggunting jarak hingga pundas, mempertegas seberapa tidak berdayanya Lena di sana.
Tersisa pasrah tanpa bisa dia langitkan asanya. Lena berdoa semoga Zeedan lekas tiba. Penyamarannya terancam gagal di depan laki-laki yang merupakan dosen sekaligus teman Bang Genta. Mungkin saja Pak Wili sudah menyadari bahwa wanita bergaun merah ini adalah Marlena Utama.
Kian dekat, bahkan pintu apartemen akhirnya menutup, hanya saja dengan sosok Pak Wili yang telah ikut masuk. Lena tersudut. Terimpit dinding dan tubuh bongsor lelaki 30 tahunan itu.
Dengan dentum di d**a yang tak biasa, debarannya mengerikan. Lena memalingkan wajah, lalu melipir ke samping untuk meloloskan diri. Namun, begitu gesit lengan Pak Wili menjulur, mengentak tembok, membuat Lena terkungkung penuh kesiap. Dia bahkan tersentak, lalu mematung.
Bisa dibayangkan bagaimana daruratnya posisi Lena sekarang? Dia kontan memejam, merasakan aura tatapan menikam dari sorot mata gerangan.
Betapa runcing tatapan Wiliam. Wajah yang tercetak galak semakin menyeramkan di mata Lena, makanya dia ketakutan. Ah, sudahlah!
Sudah tamat riwayatnya.
Yang kini sisi wajah Lena merasakan sentuhan lembut jemari, dia mengintip dari balik bulu matanya yang lentik, melihat area hidung hingga dagu Pak Wili, juga jakunnya ... Lena menciut tanpa bisa beringsut.
Terngiang di benak, apakah Pak Wili hendak menjatuhkan kecup? Kok, semakin mendekat? Deru napasnya pun kian terasa menerpa-nerpa. Lena kembali merapatkan kelopak mata. Atau dia tendang lagi saja aset Pak Wili?
Ya, dalam hitungan ketiga kaki Lena akan menonjok Pak Wili dengan dengkulnya.
Satu ....
Dua ....
Namun, justru Lena yang memekik. Di mana dalam satu kali entakan, topeng merahnya ditarik. Lepas itu, terdengarlah suara jepretan kamera saat Lena hendak menjelaskan situasinya ... yang sudah ketahuan oleh Bapak Wiliam Budiman.
Betul, wanita bergaun dan bertopeng merah ini adalah Marlena, adik Genta.
"Pak--!"
"Sudah saya kirimkan ke Genta." Foto Marlena.
Gadis itu membeliak menatapnya. Wiliam masukkan ponsel ke saku celana, dengan tetap menatap Lena. Merah padam wajah gadis itu senada dengan gaunnya.
"Genta harus tahu kenakalan adiknya," imbuh beliau.
Hei, tunggu dulu!
Gantian Lena yang menghadang jalan Pak Wili. "Pihak kampus juga harus tahu kelakuan nakal Bapak kalau gitu."
Lena merasa punya senjata.
"Buktinya?"
Tidak ada.
Bola mata Lena bergulir gelisah. "Jangan kasih tahu Bang Genta." Saking resahnya.
"Tidak bisa. Sudah telanjur saya kirim foto tadi."
Seriously?!
Pak Wili pun melenggang dengan mudahnya menyingkirkan tubuh Lena, ditubruk juga dia oleng. Argh!
Sial.
Lena langsung mengecek ponsel, tak ada notifikasi dari Bang Genta--atau belum, sampai saat Zeedan datang, Lena menangis tanpa ada air mata.
"Lena, hei ... tenang. Udah, udah ada gue."
Namun, bagaimana, ya? Sejak saat itu, bahkan hingga saat ini, sebetulnya Lena belum benar-benar tenang, tetapi sampai hari itu berlalu ... Lena aman dari amukan Bang Genta yang semestinya terjadi, kalau-kalau memang Pak Wili sudah mengirimkan foto gadis bergaun merah itu.
***
Tadi, saat menyadari di mana seharusnya Lena duduk dan bangku ini kosong, Zeedan kalang kabut.
"Lha ... ke mana dia?" Fio bertanya mewakili.
"Coba telepon!" seru Hilda.
Fio hendak melakukan itu, tetapi sudah didahului Zeedan. Tampangnya amat mengkhawatirkan.
Serangkaian hal buruk bergentayangan, hal yang membuat Zeedan menggigil ketakutan. Dia akan menyalahkan dirinya sendiri lebih dari apa pun jika hal itu terjadi. Dan lebih dari apa pun pula Zeedan akan bertanggung jawab atas Marlena.
Sahabatnya.
"Sayang!"
Mulut Zeedan yang terbuka auto tertutup.
Sa-sayang?
Dengan sialannya, Zeedan malah senang. Dia pun melipir mencari tempat lain yang lebih sunyi, dibuntuti Fio dan Hilda. Mereka membawa serta tasnya.
"Halo, Len? Lena, kan?" Bukan saatnya untuk terbawa perasaan, Zeedan kendalikan akal sehat. Di sana Lena pasti sedang terdesak.
"Ha-halo? Sayang? Ih, kok, putus-putus? Di chat aja, Yang."
Meski begitu, gemuruh di d**a Zeedan tak dapat dia kendalikan. Melampaui akal sehat. Disebut 'sayang' oleh Marlenong--panggilan ala sobat--membuatnya berdebar.
Lena: [Dan, tolong password apartemen kamu apa? Urgent.]
Lena: [Aku di sini, tapi tolong kasih tau dulu pinnya. Nanti aku jelasin.]
Dengan demikian, tanpa bertanya dan basa-basi, Zeedan langsung membalas pesan itu berupa angka sandi unitnya. Pun, dia gegas pulang setelah sebelumnya bilang kepada Fio dan Hilda bahwa, "Lena aman. Kalian pulang aja, biar gue yang jemput dia. Nanti gue telepon."
***
Kurang lebih seperti itu, yang sudah berlalu. Di mana Lena tidak menceritakan detail kejadian yang menimpanya di kelab. Hanya soal dia kabur dan ingin sembunyi sesegera mungkin, terlintas tiba-tiba unit apartemen Zeedan. Itulah kenapa dia menangis tanpa air mata.
Zeedan memercayainya.
Lena pun menceritakan hal yang sama kepada Fio dan Hilda. Malam itu, sesudahnya Lena diantarkan Zeedan ke kediaman Fio, menginap di sana. Esok hari, dia pulang dan demi apa pun ... tak satu pun abangnya me-notice soal gadis bergaun merah, khususnya si abang nomor wahid.
Itu berarti Pak Wili tidak benar-benar mengadukannya kepada Bang Genta, kan?
Aman.
Demikian Lena menilai baik sosok beliau. Ah, nggak. Setengah-setengah, alias 50 banding 50 antara sisi baik dan buruknya. Karena ada kejadian macam di kelab yang Pak Wili bertanya berapa tarifnya.
Tak patut!
So, saat ini, selepas membuatkan teh untuk mereka; kawan-kawan Bang Genta, Lena mendapat ajakan main dari Hilda di grup.
Gegas saja dia ganti pakaian, bersolek secukupnya, lalu pamitan.
"Jangan terlalu mudah memberi izin, Gen."
Well, Pak Wili menyela. Membuat langkah Lena harus urung karena Bang Genta memanggilnya. Membatalkan izin yang sudah diberi.
Hei!
Mana bisa begitu. Biasanya Pak Wili tidak pernah berkomentar, tetapi sekarang jadi terasa ikut campur.
"Seorang adik punya banyak cara untuk mengelabui kakaknya," imbuh Pak Wili tanpa melirik Lena yang hendak protes kepada sang abang, alih-alih protes kepada Wiliam.
Di tempatnya, Mas Reinal tertawa. "Lo lagi nyindir gue, ya, Wil?"
"Udah sana masuk, Len! Nanti lagi mainnya. Lagian kamu main mulu," putus Genta, teruntuk adiknya. Dia mendengarkan dengan baik saran sang sobat. Merasa Wili ada benarnya bahwa, "Selama ini kamu terlalu membebaskan adikmu."
Barulah saat itu mata Lena dan Pak Wili bertemu.
Bersinggungan sepersekian waktu.
Tahu?
Lena gugup hanya dengan begitu. Namun, tak membuatnya ciut walau memilih kembali masuk.
Ah, terserahlah!
Rupanya, meski di antara Lena dan Pak Wili seolah sama-sama bersepakat untuk melupakan kejadian di malam itu, secara tidak langsung. Namun, efeknya jadi demikian.
Lena mendengkus.
Ini tidak bisa dibiarkan. Kenapa jadi terasa Pak Wili punya kendali lebih besar dari Bang Genta atas kebebasan hidupnya?
"Duduk sini aja, Len!"
Dan itu Bang Aji, teman Bang Gilang. Masih duduk di ruang tamu, makanya Bang Genta mengalah duduk di teras bersama dua sohibnya.
Lena abaikan itu. Kembali masuk kamar. Kesal.
Sampai waktu membawanya pada akhir Kuliah Kerja Magang, lega betul karena tidak pernah lagi bertemu Bapak Wiliam. Di kampus pun terasa jarang berpapasan. Toh, Lena sudah tidak sesering semester lalu datangi kampus, Pak Wili juga jarang ke rumah sekadar mendatangi Bang Genta.
Baguslah.
Lena sampai betul-betul lupa kalau dia dengan Pak Wili pernah ada 'sesuatu'.
Lalu sekarang, hari ini, hari di mana akhirnya Lena sudah melalui masa-masa tersebut dengan cukup jauh. Sampai tiba masa di mana kuliahnya menapaki akhir semester 7.
Ya, hari itu.
Lena melihat barisan nama dosen pembimbing skripsi.
Satu, Ibu Martalia Pradipta dan dosen pembimbing duanya adalah ... Dr. Wiliam Budiman, S.S., M.Pd.
Lho, lho?!
Lena melotot.
Maksudnya, Bapak Wiliam yang 'itu'?
***
"Lena! Len, tunggu!"
Lena rasa, dia jatuh dan tertimpa tangga. Itu peribahasa. Kesialan yang berlipat ganda. Kabar buruk tentang siapa gerangan pembimbing skripsinya, kini malah dihadapkan dengan sang mantan.
"Ada apa lagi, sih, Kak?" Lena mengentak lepas lengan yang Kak Kean cekal.
Ya, Kak Kean.
"Len, ayo kita ngobrol dulu. Ada banyak hal yang harus Kakak jelasin."
"Soal pernikahan Kakak? Udahlah, udah lewat jauh. Lagian aku gak mau tau." Lena pun mengambil langkah maju, tetapi lengannya lagi-lagi dicekal. Lena tertahan.
Sekadar mau masuk rumah, membuka pagar, Lena selalu harus melewati drama ini dulu.
Plis, ya!
Ini sudah lebih dari tiga kali Kak Kean menghadangnya. Kalau nanti kayak gini lagi, Lena akan lapor kepada Bang Genta.
"Kakak dijebak, Len. Kakak nggak bener-bener suka sama cewek itu--"
"Tapi dia sampai hamil dan Kakak sendiri padahal yang kasih undangan nikahan ke aku melalui Bang Gilang. Kalau lupa," tekan Lena, "Aku, sih, inget terus. Paling penting, senyum Kakak di pelaminan. Kita salam-salaman di sana dan Kakak bilang makasih ke aku karena udah datang, kan? Seolah di antara kita nggak pernah ada apa-apa. Itu yang Kakak sebut nggak suka dia? Dijebak?"
"Len ... kondisinya mengharuskan Kakak berlaku kayak gitu waktu itu. Aslinya--"
"Persetan, Kean!" tukas Lena, agaknya terpancing emosi sampai memupus embel-embel 'kakak'. Dia lepaskan lagi kungkungan jemari Kean di lengannya. "Apa pun itu, lebih baik berhenti ngejer-ngejer aku. Soalnya sejak hari itu, jalan kita udah buntu. Aku pun udah nggak mau balik lagi. Ngerti?"
Lena berlalu.
Yang dari kejauhan, akhirnya seseorang kembali dapat melajukan kendaraan selepas tadi berhenti sebab tak mau menjeda komunikasi sengit antara dua manusia di depan gerbang rumah Genta.
Dia lalu bertamu.
Namun, saat turun dari mobil tadi, laki-laki itu masih di sana, memandang Wili penuh permusuhan.
Astaga.
Siapa, sih, dia?