BAB 2. DI MANA SUAMIKU YANG DULU, TUHAN?

1042 Kata
. . Klontaaang. Aisyah terpaku, matanya melebar saat menyadari apa yang kini ada di depannya. Wanita paruh baya itu tertelungkup di lantai. Badan ringkihnya menyenggol rak sepatu hingga membuat rak itu terjatuh, sepatu serta sendal berhamburan di lantai. "Umiii..." teriaknya histeris dan langsung menghambur ke arah ibu mertuanya yang terjatuh dari kursi roda. "Umi, mau apa? Kenapa sampai jatuh? Umi nggak papa?" tanya Aisyah beruntun saking panik dan kagetnya dia. Kondisi ibu mertuanya memang tidak baik. Dengan lembut dia memapah tubuh renta sang mertua yang tidak berdaya akibat penyakitnya. Air matanya menetes melihat kondisi sang ibu mertua. Aisyah sangat menyayangi ibu mertuanya, seperti ibunya sendiri. Kedua orang tuanya sudah meninggal sejak jaman dia masih kuliah. Itulah yang membuatnya mandiri, karena Aisyah sadar dirinya sudah sebatang kara. "Ummiii mmmau nelfong ahhhhmaaad," gumaman tak jelas ibu mertuanya tapi masih bisa dimengerti Aisyah. Wanita renta itu merindukan putranya satu-satunya. Beliau tau kalau putranya di Jakarta sudah memiliki istri lagi. Mau melarang juga tidak bisa. Dia sangat menyesal atas tindakan putranya tersebut karena sudah menduakan wanita sebaik menantunya ini. Di jaman sekarang ini jarang sekali ditemukan ada menantu yang rela merawat mertuanya dengan sepenuh hati seperti Aisyah. Kalaupun ada pasti tak lepas dari gerutuan. Berbeda sekali dengan Aisyah, tak pernah sedikitpun keluar dari mulutnya sebuah gerutuan atau kata-kata kasar dari mulutnya. "Oh... Umi kangen Mas Ahmad ya?" tanya Aisyah sendu. Dia merutuki suaminya yang sedang dibutakan oleh iblis wanita yang bernama Nesya. Boleh saja suaminya melupakannya, tapi kenapa ikut acuh dengan ibu kandungnya sendiri. Bahkan bisa dihitung dengan jari si Malin Kundang menelfon wanita yang sudah melahirkannya dengan bertaruh nyawa. Sungguh anak yang berbakti bukan. Namun apa lacur saat hati nurani tertutup nafsu duniawi. Ahmad, suami Aisyah sungguh titisan Malin Kundang di jaman modern ini. Bahkan tak cuma durhaka kepada ibu kandungnya sendiri tapi juga suami yang durhaka. Lelaki itu juga menjadi suami yang semena-mena dan tidak bisa berlaku adil. Berpoligami kok nggak tau ilmunya. Wanita renta itu mengangguk cepat, mata senjanya berpijar penuh kerinduan. Aisyah tersenyum kecut dengan kenyataan yang terpampang nyata di depannya. Miris.... Dengan hati teriris-iris Aisyah mengambil ponselnya, menekan kontak suaminya. Tersambung, namun tak juga diangkat. Aisyah berdecak kesal dan mengulang panggilannya. Entah sedang melakukan apa suaminya tersebut. Begitu seterusnya sampai beberapa waktu. Aisyah memejamkan mata dengan frustasi dia menggeng-gam dengan erat ponselnya menahan amarah yang siap meledak. Dia menatap sang ibu mertua penuh penyesalan. "Maaf Umi, Mas Ahmad nggak angkat," lirih suaranya seakan enggan mengatakan sesuatu yang pastinya melukai hati wanita yang menatapnya penuh harap. Wanita yang sudah melahirkan suami bahlulnya itu menunduk dengan wajah sedihnya. Duh Aisyah jadi makin geram dengan sang suami yang bahlulnya sudah kelewat batas. "Aisyah coba lagi ya, Umi?" tawar Aisyah tak tega melihat wajah muram ibu mertuanya. Wanita di depannya mengangguk dengan wajah cerah penuh harap. Jelas sekali kalau wanita bermata teduh itu begitu merindukan putra tercintanya Kembali tersambung, Aisyah harap-harap cemas. Semoga Mas Ahmad angkat ya Allah. "Halo," suara wanita terdengar indera pendengaran Aisyah, membuatnya terpaku sejenak. Dia belum siap berhadapan dengan wanita lain suaminya. Selama ini dia sengaja menutup mata dan tidak mau tahu siapa dan bagaimana wanita yang sudah lancang masuk dalam rumah tangganya. "Assalamu'alaikum, Mas Ahmadnya ada?" sapanya menahan gemuruh di dadanya. Ingin rasanya memaki wanita perebut suami orang yang seakan tak punya malu lagi. "Mas Ahmad nggak bisa bicara sama Mbak," ucapan ketus yang diterimanya. Ya Allah, kenapa galakan dia dibanding aku sih, batin Aisyah tak percaya. Seharusnya kan istri kedua itu takut dan segan dengan istri pertama. Tapi yang dia alami malah kebalikannya. "Ini Umi ingin bicara dengan Mas Ahmad," sahut Aisyah berusaha berbicara dengan tenang. "Hallah... Pasti itu akal-akalan Mbak aja kan? Bilang aja Mbak kangen pengen di belai manja sama Mas Ahmad. Tapi maaf ya Mbak, Mas Ahmad sudah nggak suka sama Mbak," ejek Nesya, kian menaikkan suhu di kepala Aisyah. "Dek Nesya yang sangat dicintai Mas Ahmad, saya beneran nggak ada niat buat menghiba-hiba pingin di belai manja sama SUAMI saya sendiri. Kalau bukan karena Umi yang ingin mendengar kabar putranya yang jadi durhaka, saya juga males ngehubungi SUAMI saya." Susah payah Aisyah membuat suaranya setenang mungkin seakan tak terpengaruh dengan ucapan nyelekit sang madu. Dia bahkan menekan kata Suami demi menunjukkan di mana posisi wanita itu. "Kan tadi saya bilang kalau Mas Ahmad nggak bisa bicara karena ...." Tak lama terdengar desahan keduanya dan lolongan suami lucknutnya yang menyebut nama Nesya dan ungkapan cinta. Begitupun wanita itu menyebut nama suaminya dan balasan ungkapan cinta suami mereka berdua. Air mata Aisyah meleleh mendengar adegan vulgar yang bisa dia tebak mereka sedang melakukan apa? Hal yang pernah dia terima dari sang suami dulu, sebelum kehadiran wanita perebut suaminya. "Mbak dengar sendiri kan? Mas Ahmad, dia sedang asik menusuk saya dari belakang, emang nakal ya mbak suami kita. Sama mbak pernah gitu juga nggak Mbak?" Sialan!!! Maki Aisyah dalam hati. "Pantesan Mas Ahmad nggak pulang-pulang ya, servis kamu pasti oke. Namun hati-hati ya dek. Biasanya sekali ngerasain enaknya selingkuh dia bisa aja nyari selingkuhan lagi kalau sudah bosen sama kamu. Jagain aja ya dek jangan sampai ada mahasisiwinya yang ngegodain dia lagi. Nanti bisa-bisa ada istri ketiga juga ya. Saya nitip Mas Ahmad ya dek. Sampaikan kalau selesai tusuk-menusuknya bilangin untuk menghubungi Umi, jangan sampai Mas Ahmad jadi The next Malin Kundang, Assalamu'alaikum." Aisyah mencengkeram gamisnya penuh kegeraman. Ibu mertuanya menatap Aisyah penuh luka, dia mendengar semua pembicaraan kedua menantunya. Hatinya ikut terluka akan sikap putra kebanggaannya. Andai saja suaminya masih hidup pasti anaknya tak akan bertingkah kelewatan begini. Dia sangat menyayangi menantunya ini. "Umi, maaf ya... Mas Ahmad belum bisa bicara. Semoga nanti kalau Mas Ahmad selesai dengan pekerjaannya segera menghubungi Umi ya," kata Aisyah lembut. "Mmmaaaafffkhhaaan Ammmat ya." Susah payah ibu mertuanya mengucapakan permintaan maaf padanya. "Aisyah selalu memaafkan Mas Ahmad, tapi entah sampai kapan Aisyah sanggup bertahan Umi," lirih suara Aisyah. Dia semakin ragu mau dibawa ke mana arah kehidupan berumah tangga mereka. Sanggupkah dirinya tetap ikhlas seperti anjuran Islam. Ya Allah... Begitu sulit jalan menuju Syurga-Mu, beri Hamba-Mu ini kekuatan dalam menjalaninya. Ya Allah... Engkau Maha Pembolak-balik hati. Berikan hidayah dan karunia-Mu pada Mas Ahmad. Kembalikan suami Hamba ke pelukan Hamba Ya Robb... Hamba berserah diri hanya kepada-Mu... Kaulah sebaik-baik tempat berserah diri dan bersandar. Astaghfirullah... Astaghfirullah... Ampunilah hamba-Mu ini ya Allah .... >>BERSAMBUNG>>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN