BAB 5. APA URUSANNYA DENGANKU?

1093 Kata
. . "Tapi dia Umi aku Nes," suara Ahmad mulai meninggi. Belum pernah selama mereka saling kenal Ahmad meninggikan suara kepada Nesya. Baru kali ini, karena istri sirinya itu begitu keterlaluan. Tak pernah Ahmad bayangkan akan menitipkan uminya ke panti jompo. Apa kata dunia nanti? "Berani kau membentakku Mas?" tanya Nesya tak percaya sang suami yang biasanya selalu bertutur kata manis padanya berani membentaknya. Dia tak suka dibentak-bentak. Apalagi di sini ada Aisyah yang sudah pasti akan tersenyum melihat pertikaian mereka. Nesya begitu marah pada suaminya itu. Jadi suami kok nggak peka. Awas saja kalau minta jatah nanti malam, Ogah Nesya memberi. "Maaf, Sayang, tetapi aku hanya punya Umi. Tolong mengertilah," hiba Ahmad berusaha bersabar dengan sifat istri mudanya, eh sekarang jadi satu-satunya istri bagi Ahmad. Dengan salah tingkah sudut matanya melirik mantan istrinya yang menjadi saksi pertengkaran mereka. Ternyata Ahmad masih punya urat malu ternyata. Dikira Aisyah sudah tidak punya. "Selesaikan permasalahan kalian berdua di dalam kamar. Nggak enak kalau di dengar Umi," lerai Aisyah yang sudah bosan dengan pertikaian yang terpampang nyata di depannya. Aisyah merasa heran, apa bagusnya wanita itu sampai Mas Ahmad lebih memilih wanita itu dibanding dirinya yang sudah lebih dulu menemani dan selalu mensupport langkah Mas Ahmad. Namanya juga godaan setan, paling tahu kelemahan manusia. Setan akan menutup kekurangan wanita yang ingin merusak sebuah rumah tangga hingga lelaki hanya melihat kemolekan dan kecantikan wanita simpanan. Beda kalau sudah sah menikah, akan diperlihatkan wujud aslinya. Dan yang tersisa hanyalah penyesalan kala rumah tangga sudah kadung hancur lebur. "Untuk Umi, Ais bersedia merawat beliau jika kalian keberatan merawat beliau," kata Aisyah lagi karena pasangan di depannya itu hanya diam mematung. Memang dia hanya menantu bagi wanita yang begitu disayangi oleh Aisya itu, baginya umi lebih dati sekedar ibu mertua. Baginya sudah seperti pengganti ibunya sendiri. Dia tak mungkin keberatan kalau hanya sekedar merawat beliau. Daripada wanita paruh baya itu disia-siakan oleh anak kandungnya sendiri. "Tidak Ais, Mas yang anak Umi. Jadi sudah seharusnya Mas yang merawat Umi. Terima kasih karena selama ini Ais sudah merawat Umi dengan baik," elak Ahmad merasa kian malu. Dia sadar, selama ini dia menyerahkan tanggung jawab merawat Umi pada istri tuanya. Namun kini dia tak ada alasan lagi menitipkan Uminya pada wanita yang beberapa waktu lalu ditalaknya. Apa dirinya sudah melakukan kesalahan??? Apa keputusannya sudah benar dengan melepas wanita sebaik Aisyah, mantan istrinya? "Ck... Mas, tapi aku nggak mau ya ngerawat Umi kamu. Kamu lihat sendiri kan Mas, aku ini sedang hamil muda, masih rentan kehamilannya. Jadi tidak boleh stres dan kerja terlalu keras," gerutu Nesya kala Ahmad tetap kekeh ingin merawat Umi cacatnya itu. Iya, cacatlah. Wong nggak bisa apa-apa gitu, bisa apa wanita itu? batinnya. "Kamu nggak usah ngurusin Umi, nanti aku bakal gaji orang untuk ngejaga Umi." Ahmad akhirnya memiliki solusi terbaik baginya, umi dan rumah tangganya dengan Nesya. "Bagus deh kalo gitu, tapi awas aja ya kalo jatah bulananku dikurangi. Apalagi sekarang kan Mas nggak ngasih Mbak Aisyah lagi, jadi jatahku lebih besar kan?" tanya Nesya memastikan. "Iya, Sayang. Kamu jangan khawatir, tapi boleh ya Umi ikut kita?" tanya Ahmad lembut, tak ingin membuat bumil emosi jiwa. Aisyah yang melihatnya merasakan hatinya teriris sembilu. Dia memilih menjauh dari pasangan yang sebentar berantem sebentar manis-manisan. Dasar pasangan labil. Tak mau berlarut-larut dalam luka, Aisyah memilih membuat Artikel yang sudah setengah dibuatnya. Kini dia duduk di depan Televisi dengan memangku Laptop yang baru saja diambilnya di dalam kamar tidurnya. Di depannya sudah tersedia teh ‘Tarik’ favoritnya dan beberapa camilan yang memang selalu disediakan si bibik. Tak lupa beberapa buku sebagai acuannya. Dia tak mau asal membuat artikel, semua harus sesuai dengan pustaka yang nyata. Bukan hanya sekedar argumen apalagi cuma sebatas perkiraan saja. Bisa didemo massal dia. Selain Artikel 'Jaminan Syurga bagi wanita yang rela dipoligami', Aisyah kini menulis Artikel dengan tajuk 'Keutamaan Ramadhan'. Aisyah berharap bisa menjadi acuan dan penyemangat buat saudara muslimnya dalam menyambut bulan Ramadhan yang akan kita sambut bersama beberapa hari lagi. Lebaran kemarin, rumah tangganya belum diterpa badai. Hanya dialah permaisuri hati sang suami. Namun usai lebaran badai yang bernama Nesya sukses merebut paksa suami yang dulunya sangat mencintainya. Kini tak ada lagi suami. Aisyah berusaha menerima garis takdir yang sudah digariskan oleh Allah azza wajalla. Ya, setahun sudah suaminya mendua. Kalo mau detail memang tidak dua belas bulan juga, tapi baginya tetap saja satu tahun. Brugggghhh. Bunyi benda jatuh membuat konsentrasinya terpecah. Aisyah mencari asal suara, sepertinya berasal dari kamar Umi. Dengan langkah tergesa Aisyah menuju kamar Umi. "Umiii!!!" teriaknya histeris. "Apa yang kau lakukan!" bentaknya lagi. "Wanita ini membuatku marah, jadi aku mendorongnya." "Kau apa???" Aisyah menjerit tak percaya ada manusia sekeji wanita di depannya kini. "Bik!!! Bibik!!!" teriaknya lagi. "Aya naon Neng?" tanya si bibik dengan nafas terengah-engah. "Ya Allah, Nyonya!!!" pekiknya tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Cepet panggil mang Jajang atau siapa aja untuk bawa Umi ke mobil saya," titah Aisyah yang langsung dituruti si bibik yang berlalu dengan setengah berlari. "Ada apa ini Ais? Ya Allah Umi?" Ahmad yang baru datang tampak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Umi kenapa?" "Ais juga tidak tahu Mas, tadi Ais denger sesuatu jatuh. Pas Ais tengok ternyata kondisi Umi sudah begini." "Apa ini kelakuanmu?" tanya Ahmad pada sosok yang bahkan tak ada sedikit saja rasa bersalah. Entah terbuat dari apa hati wanita itu. "Iya, kenapa? Marah?" tantangnya dengan pongah. "Kau!!!" "Sudah Mas, ini tolong Umi dulu. Ais tadi udah suruh bibik untuk manggil Mang Jajang," sergah Aisyah yang gerah dengan pertengkaran keduanya yang unfaedah. Bisa-bisanya lelaki itu bahkan tidak segera membawa Umi ke rumah sakit malah menanyakan hal yang sudah terpampang jelas di depan mata. Dasar!!! Katanya pinter.... Tak lama datang Mang Jajang yang dengan sigap mengangkat tubuh Umi yang sudah tidak sadarkan diri. Aisyah mengekor di belakangnya. Segera dia mengambil kunci dan tas selempangnya yang berisi barang-barang penting. Mereka menuju rumah sakit dengan Aisyah yang mengendarainya. Sudut matanya melirik kondisi Umi yang ada di pangkuan mantan suaminya, sedang di samping Mas Ahmad duduk Nesya yang asik dengan ponselnya. Ya Allah, terbuat dari apa hati wanita itu? Bahkan tak ada sedikit saja penyesalan tersirat dari wajahnya karena sudah melukai ibu mertuanya sendiri. "Bik, tadi rumah sudah dikunci kan Bik?" tanya Aisyah memecah kesunyian. "Hallah rumah nggak ada isinya saja dipikirin. Emang siapa yang mau nyuri," sinis wanita itu menimpali pertanyaan Aisyah. Aisyah mendesah lelah, entah wanita itu makan apa sih? Kayaknya yang keluar dari mulutnya hanya kalimat ejekan. Gemar sekali menyakiti perasaan orang. Padahal dia sedang hamil. Harusnya malah perbanyak amal saleh. Apa urusanku? pikirnya lagi. >>BERSAMBUNG>>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN