Bab 7. Mulai Berubah

1010 Kata
Sudah sebulan mas Ahmad pindah kerja di Jakarta. AISYAH merasa suaminya mulai berubah. Awal tiba di sana, sang suami masih sering berkabar meski terkadang dengan nada yamg ketus. Tapi masih sering berkabar. Sekarang seminggu sekali belum bisa dipastikan ada kabar dari suaminya. Biasanya suaminya masih menghubungi bertanya kabar umi. Sekarang entah sibuk apa suaminya itu kini. Tak hanya tak ada kabar, tapi sulit sekali jika dihubungi. Bahkan saat umi merasa rindu dengan putra semata wayangnya itu. Hingga terpaksa Aisyah menghubungi suaminya itu. Meski kalaupun mengangkat panggilannya, suara ketusnyalah yang menyapa. Pagi ini Aisyah tak menyangka saat ada panggilan dari suaminya. "Assalamualaikum mas. Ada apa tumben pagi banget," sapa Aisyah lembut. Hatinya berbunga mendapati sepagi ini sang suami mengelponnya. Bahkan dia saja baru selesai sholat Shubuh. "Kamu ini tumben tumben. Kalau aku nggak nelpon kamu neror terus nelponin. Nggak tau waktu," cerocos Ahmad tanpa menjawab salam dari Aisyah. Hal baru lagi dari Ahmad. Biasanya meski ketus tapi suaminya tetap menjawab salam darinya. Karena Ahmad pasti tau kalau menjawab salam itu kewajiban sesama muslim. "Iya maaf mas," ucap Aisyah memilih mengalah saja. Sepagi ini tak bagus memulai hari dengan bertengkar. Bisa menjauhkan rejeki. Lebih baik menekan ego masing-masing saat ada masalah dalam rumah tangga. Tak peduli siapa yang bersalah. Aisyah pikir begitulah yang baik dalam rumah tangga. "Bagus kalau kamu sadar. Begini ... aku cuma mau bilang kalau kemarin aku sudah menikah lagi. Kamu harus menerima aku poligami." Suara Ahmad kembali terdengar. Bukan kabar baik yang Aisyah terima, tapi kabar pernikahan kedua sang suami. Duar. Ucapan Ahmad laksana petir di siang bolong. Mengagetkan Aisyah yang sama sekali tidak pernah berpikir akan di madu. Diam. Hanya itu yang bisa Aisyah lakukan. Tubuhnya bergetar tak terkendali. Tak lama dia merosot ke lantai. Dia menggenggam ponselnya dengan erat hingga buku jarinya tercetak jelas. Giginya gemeretuk menahan amarah. Padahal tadi dia mencoba menahan diri. Tak mau bertengkar sepagi ini. Tapi masih bisakah dia terus menahan diri saat suaminya tak lagi menghargainya sebagai seorang istri? Menikah? Itu artinya suaminya berpaling hati. Kenapa? Apa salahnya? Bagaimana bisa suaminya menghadirkan orang ketiga dalam rumah tangganya. Kemana janji dan sumpah setia yang dia ikrarkan saat meminang nya sebagai satu-satunya ratu dalam hidup nya. "Tapi mas. Kamu janji tak akan pernah menghadirkan orang ketiga dalam rumah tangga kita. Kenapa sekarang ingkar?" Tanya Aisyah marah. Ini pertama kali nya Aisyah menaik kan suara nya saat berbicara dengan sang suami. "Yang sopan kamu! Sama suami kok main bentak-bentak segala. Ingat, saya punya hak untuk menikah lagi. Agama bahkan memperbolehkan. Saya ingin punya anak dan kamu tidak bisa memberikannya," bentak Ahmad tak kalah keras nada bicaranya. Ini juga pertama kali Ahmad semarah ini pada Aisyah selam mereka menikah. Aisyah diam terpaku. Badannya luruh begitu saja. Genggaman pada ponselnya terlepas sudah. Ponselnya terlempar hingga bawah kolong meja. Entah retak atau tidak. Sayup-sayup Aisyah masih bisa mendengar suara Ahmad yang terdengar marah karena Aisyah tak membalas ucapannya. Tak lama sambungan telpon diputus Ahmad secara sepihak. Dia menekuk kedua kaki dan memeluk kedua lututnya. Menopangkan kepalanya yang terasa berat di kedua lututnya. Dia kehilangan kata-kata untuk membantah keinginan sang suami untuk berpoligami. Ahmad benar, lelaki boleh menikah bahkan sampai 4 batasannya. Apalagi kalau sang istri memiliki kekurangan. Maka kian kuat alasan Ahmad untuk mendua. Salahnya kah? Kalau sampai kini tak juga bisa menghadirkan janin pada rahimnya? Dosanya kah hingga tak juga ada tangisan bayi dalam rumah tangganya? Bukankah hak prerogatif Tuhan siapa yang berhak untuk diberkahi dengan kehamilan. Bukan mau Aisyah hingga saat ini belum juga hamil. Aisyah bahkan begitu mendamba akan adanya bayi dalam kehidupan rumah tangganya. Tega sekali Ahmad menjadikan belum adanya anak sebagai alasan untuk menikah lagi. Padahal usia pernikahan mereka baru dua tahun tapi sudah merasa jenuh menunggu buah hati hingga tega mendua. Padahal di luar sana banyak yang bahkan menikah sampai belasan tahun dan belum dikaruniai anak tapi kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja tanpa adanya orang ketiga yang masuk dalam maghligai pernikahan mereka. Tinggal bagaimana mereka menerima takdir dari Allah. Sebagai makhluk yang beriman harusnya suaminya menyadari hal itu. Toh selama ini kondisinya dan suami sehat tak ada masalah dalam hal kesuburan. Hanya memang belum diberi saja sama Allah. Harusnya .... Air mata terus menetes dari kedua netra Aisyah. Kilas balik pertemuan pertamanya dengan Ahmad berkelebatan dalam ingatan. Masa-masa di mana seorang Ahmad mengejar cinta Aisyah. Banyak yang menjadi saksi betapa keras dan teguh perjuangan Ahmad untuk mendapatkan Aisyah. Aisyah tak pernah berpikir bahwa Ahmad akan berubah secepat ini. Kemana semua cinta yang dulu selalu Ahmad dengungkan di telinga Aisyah. Kemana? Lupakah lelaki itu akan janji manisnya dulu? Dan siapa wanita yang kini menjadi madunya? Aisyah terus tergugu dalam tangis nya. Hingga tanpa sadar dia tertidur karena kelelahan menangis dalam posisi duduk menekuk kedua kakinya dengan kepala bertumpu di lututnya. Pembantu rumah tangga tak sengaja menemui Aisyah dengan posisi yang sangat tidak nyaman untuk tidur. "Non ... astaghfirulloh," serunya kaget melihat posisi majikannya yang tidak biasa. Bik Mar segera membangunkan Aisyah. "Non. Jangan tidur di sini," ucap bik Mar membangunkan Aisyah. "Bik. Saya kok tidur di sini. Jam berapa sekarang?" Tanya Aisyah ling lung. Kepalanya pusing begitupun dengan sekujur tubuhnya terasa kaku. Apalagi tengkuknya di sana yang terasa paling nyeri. "Jam tujuh pagi non. Tumben non ketiduran jam segini," sahut bik Mar tak mengerti. Biasanya majikannya itu sudah pergi mengajar di jam sekian. "Astaghfirulloh, saya terlambat ngajar haduuuh," ucap Aisyah langsung bangun menuju kamar pribadinya. "Mau dibuatkan sarapan apa non?" Tanya Bik Mar sedikit berteriak supaya majikannya mendengar. "Nggak usah bik. Tolong buatkan untuk umi saja. Saya nanti aja sarapan di sekolah," ucap Aisyah dengan suara setengah berteriak juga. "Untung tadi sebelum sholat malam sudah mandi sekalian jadi tinggal ganti baju dan dandan tipis-tipis," gumam Aisyah sembari berganti pakaian yang lebih rapi dari tadi. Dia mengenakan seragam khusus untuk pengajar di yayasan al ikhlas. Tak lama dia sudah siap berangkat. Gegas dia berpamitan dengan ibu mertua dan juga bik mar. Aisyah berangkat mengendarai sepeda motor kesayangan nya. Sejenak dia harus melupakan kondisi rumah tangganya yang tidak baik-baik saja. Semoga dengan bertemu dengan murid-murid nya bisa sedikit mengobati gundah di hati nya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN