Bab 8. Nesya ... Nesya

1033 Kata
"Non," sapa Bik Asih membuyarkan ingatan Aisyah sebelum hadirnya Nesya dalam kehidupan rumah tangganya. "Eh iya Bik, Ada apa?" tanya Aisyah .menatap Bik Mar dengan pandangan bertanya. "Kita sudah sampai," sahut Bik Asih mengingatkan. Aisyah memindai sekeliling. Mobil sudah berhenti dan benar kata bik Asih kini mereka sudah berada di teras rumah sakit. Mas Ahmad turun dengan wajah bingung. Entah lelaki itu kenapa tidak siaga sama sekali. Padahal yang sakit ibunya sendiri. Gegas Aisyah memanggil perawat untuk membawa brangkar untuk umi. Dua perawat sigap membawa brangkar ke arah pintu penumpang dan mengangkat tubuh Umi yang sudah tidak sadarkan diri. Aisyah mengikuti dari belakang. Bik Asih juga mengikuti langkah nyonya nya. Dia tak peduli mantan suaminya ikut atau tidak. Yang jadi prioritas nya adalah Umi segera ditangani dengan cepat. Kedua perawat itu langsung membawa umi ke ruang IGD. Aisyah melihat Ahmad mengikuti langkahnya ke dalam IGD begitupun dengan Nesya. Meski wanita hamil itu tak lepas dari ponsel tapi tetap mengikuti suaminya memasuki ruang IGD. Keduanya tak berinteraksi seperti biasanya. Aisyah mencoba abai dengan semua yang dia lihat. *** Ahmad berjalan mondar mandir di depan brangkar Umi yang tertutup tirai. Saat ini Umi diperiksa di IGD karena ruangan inap di rumah sakit yang penuh. Kondisi Umi masih tak sadarkan diri. Aisyah duduk di ruang tunggu ditemani oleh si Bibik. Sedang Nesya sudah pergi entah ke mana. Air mata Aisyah tak kunjung surut. Meski kini statusnya bukan lagi istri dari Ahmad, tapi Umi sudah dia anggap sebagai pengganti dari ibu kandungnya sendiri. Tak pernah terbersit dalam hatinya membedakan keduanya. Apalagi selama ini dialah yang sidah merawat Umi bahkan setelah kepergian Ahmad ke Jakarta. Mereka hanya hidup berempat dengan Bik asih dan Mang Ujang. "Semoga Umi baik-baik saja ya, Bik," rapal Aisyah penuh harap dan doa. Dari tadi mulutnya melafalkan al-fatihah yang dia tujukan untuk keselamatan dan kesehatan Umi. "Aamiin," sahut Bik Asih mengusap wajah dengan kedua telapak tangan nya. "Keluarga Bu Maryam," panggil bagian pendaftaran di IGD tadi. Ahmad segera mendekat. "Bapak bisa mengurus administrasi dan pendaftaran terlebih dahulu, kami siapkan kamar Ibu segera. Alhamdulillah baru saja ada pasien yang exit," terang wanita berkaca mata itu dan menyerahkan form pendaftaran ke arah Ahmad. "Alhamdulillah," gumam Aisyah. Setidaknya umi bisa dirawat dengan lebih intens kalau sudah dapat ruangan. Berbeda apabila masih di IGD. terlalu banyak orang berlalu lalang membuat pasien dan penunggu tidak terlalu nyaman. Ahmad hanya mengangguk tanpa mengeluarkan satu patah katapun. Lelaki itu bahkan tidak bisa diharapkan di saat genting begini. "Terima kasih ya, Mbak." Aisyah yang menjawab karena lelaki di sampingnya bagai orang-orangan sawah. "Sama-sama, Bu. Semoga ibunya cepat sembuh ya," doa wanita berkaca mata itu tulus. "Aamiin," sahut Aisyah mengamini. Aisyah mengambil form dari tangan mantan suaminya yang masih diam mematung. Aisyah bergegas mengurus pendaftaran ke bagian administrasi. Karena tergesa Aisyah tak terlalu memperhatikan jalan hingga menabrak seseorang yang tiba-tiba melintas di depannya. Aisyah nyaris saja terjengkang hingga dua tangan menahan beban tubuhnya tetap tegak berdiri. "Maaf," ucap Aisyah setelah meredakan keterkejutan nya. "Saya yang harusnya minta maaf," sahut suara bariton yang sukses membuat Aisyah menatap wajah lelaki tampan di depannya. Netra matanya menatap makhluk ciptaan Allah yang nyaris sempurna. Subhanallah, batin Aisyah terpesona. Sejenak dia teringat akan dosa zina mata, segera dia menundukkan pandangannya. Astaghfirullah, batinnya terhenyak saat netranya terpesona dengan apa yang dilihatnya. Bibir merah natural menghipnotisnya. Lelaki itu pasti menjaga pola hidupnya dengan baik. Aisyah memejamkan matanya, takut kian terjerumus dengan zina-zina yang lain. Lelaki di depannya adalah godaan yang sangat berat bagi kewarasannya. Astaghfirullah, rapalnya dalam hati. "Adek nggak papa?" suara lelaki itu terdengar khawatir. "Apa Adek pusing?" tanya lelaki itu lagi karena tak ada respon dari gadis manis di depannya itu selain kian memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya. Menggemaskan, batin lelaki itu. Tangannya menyentuh dahi Aisyah, ingin mengecek kondisi gadis manis yang hanya diam membisu sambil memejamkam mata. Lelaki itu tidak menyadari kalau wanita didepannya bukanlah seorang gadis, dia seorang janda. "Saya tidak apa-apa, Mas," jawab Aisyah akhirnya. Lelaki itu mendesah lega. Tapi tangannya seolah enggan beranjak dari kening Aisyah. Sengatan listrik statis dirasakan keduanya. Kedua netra bertemu sejenak. "Astaghfirullah!!!" teriak Aisyah sesaat tersadar posisi mereka yang terlihat intim. Dia merutuki hatinya yang sempat berdesir manjah. Dia menjauhkan dirinya hingga jemari tangan lelaki itu terlepas dari keningnya. Bisa kebayang terus nanti kalo kelamaan. "Maaf, saya harus mengurus beberapa berkas dulu, assalamu'alaikum," pamit Aisyah tanpa menunggu jawaban salamnya, dia bergegas berlalu dari hadapan lelaki yang sukses meletupkan kembali gejolak yang lama mati. Tidak!!! Tidak boleh!! Mau bagaimanapun secara hukum negara dia masih sah sebagai istri Mas Ahmad. Lelaki itu godaan terberat dalam hidup Aisyah yang lurusnya kayak tol bebas hambatan. Dia harus menjauh dari feromon yang dikuarkan oleh sang Arjuna. Lelaki setampan dan semempesona itu pasti lebih bikin sakit hati. Wong yang muka standar macam mantan suaminya saja, sukses mengoyak hati nuraninya. *** "Mbak kenapa masih ada di sini?" tanya Nesya tak suka kala datang ke kamar rawat ibu mertuanya masih saja mendapati Aisyah sedang duduk di dekat sang ibu mertua sambil mengaji. Tak jauh dari sana tampak suaminya memandang penuh kekaguman ke arah mantan istrinya. "Lalu kamu sendiri dari mana saja? Kalo bukan Aisyah yang mengurus ini itu maka Umi pasti saat ini masih berada di ruang UGD. Kamu yang harusnya nemenin Mas malah pergi nggak pamit sama suami," bentak Ahmad meradang. Amarahnya kian tersulut kala melihat wajah tanpa dosa istrinya. "Mas, aku tuh hamil muda-gampang capek," sahut Nesya acuh. "Sekarang kan aku udah nemenin Mas, suruh Mbak Ais pulang aja deh. Pokoknya ya, kalo Nesya masih lihat Mbak Ais di sini, Nesya ogah datang." "Ais balik dulu ya, Mas," kata Aisyah enggan memperkeruh keadaan. Dia mengajak Bik Asih untuk pulang bersamanya. Masih di dengar oleh pendengarannya percekcokan pasangan itu dari dalam kamar rawat mantan mertuanya. Ya, mantan. Nesya benar, dia sudah menjadi orang luar bagi Umi dan mas Ahmad. Hal yang sampai kini bagai mimpi untuknya. Betapa nasib hidupnya bisa begini. Ditalak tanpa kesalahan yang berarti padahal dia sudah mau menerima pernikahan kedua suaminya. Tapi kata TALAK jelas sudah terucap dari mulut sang suami dengan disaksikan oleh madu dan juga ibu mertuanya. Maka talak itu jatuh padanya. Kepalanya menunduk menyadarinya. Lengannya dibelai lembut sama Bik Asih yang mengerti sekali kegundahan hatinya. "Sabar ya, Neng," hibur bik Asih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN