Pertengkaran Lagi

1028 Kata
Malam semakin larut tapi Silla belum juga bisa memejamkan matanya. Pikirannya terus berkelana memikirkan tentang sang suami yang juga tak kunjung pulang. Berkali-kali juga ia mencoba menghubungi, juga mengirim pesan, tapi sama sekali tak ada jawaban dari Ardo. Wanita itu kini menjadi semakin bingung dan juga kalut. Dalam hatinya juga merasa curiga bertanya-tanya mengapa Ardo tak juga pulang? Apa mungkin suaminya itu menikmati malam panjang bersama wanita lain? Sebagai seorang istri tentu pikiran itu sah-sah saja. Apalagi, tadi jelas sekali yang mengangkat panggilan itu adalah seorang wanita. Pagi datang begitu saja, semua terasa lama untuk Silla. Sudah membuat keputusan untuk datang ke kantor Ardo dan juga mencari konfirmasi. Setidaknya dia harus tahu dengan siapa malam tadi suaminya itu menghabiskan waktu bersama, lalu siapa wanita yang mengangkat panggilan darinya? Dalam hati jelas tak akan siap jika menerima jawaban yang akan menyakiti hatinya. Namun, kejujuran akan lebih baik dibanding Ia terus merasa gelisah seperti malam tadi. "Bi, saya minta tolong hangatkan lasagna yang kemarin saya buat, ya?" Silla meminta tolong pada Bi Imah yang kini tengah sibuk merapikan dapur. "Baik Nyonya," sahut Bi Imah pada Silla. Wanita itu sudah berpakaian rapi dan bersiap untuk berangkat menuju kantor sang suami. Masih berharap kalau malam tadi tak ada sesuatu hal yang buruk dilakukan oleh Ardo. Sengaja meminta bi Imah menghangatkan makanan yang semalam ia buat. Berharap Ardo akan senang kemudian menjadikan itu sebagai santapan paginya. "Nyonya, sudah saya hangatkan dan saya masukan ke kotak makan lasagnanya." Bi Imah memberitahu itu pada Silla yang kini tengah meneguk teh manis hangat sebelum ia berangkat. "Terima kasih ya, Bi," ucap Silla. Setelah selesai menikmati teh manis, Silla segera melangkahkan kaki untuk berangkat ke kantor sang suami. Melajukan mobil sendiri di padatnya ibukota. Jalan pagi ini masih cukup ramai, kepadatan jalanan ibukota di pagi hari itu sudah menjadi hal yang umum. Di mana para warga yang berangkat kerja berbarengan dengan mereka yang mengantarkan anaknya untuk sekolah. Bunyi klakson yang bersahutan sudah menjadi backsound yang ramah didengar. Sama seperti pagi ini, hanya saja gemuruh di luar mobil tak sebanding dengan gemuruh di dalam hati Silla. Pikiran dan hati wanita itu jauh lebih riuh daripada suara klakson yang bersahutan di luar. Perjalanan menghabiskan waktu sekitar 40 menit sampai akhirnya ia tiba. Melangkahkan kaki menuju ruangan Ardo. Seperti biasa yang ia lakukan adalah meminta pada sang sekretaris untuk memberitahu kepada Ardo bahwa ia datang. Silla segera melangkahkan kaki masuk ketika sahutan Ardo dari dalam terdengar. Silla berdiri sejenak ketika pintu tertutup, dia lalu berjalan mendekat ke arah sang suami, meletakkan lasagna buatannya di atas meja. "Tumben kamu pagi-pagi ke sini? Ada apa?" Ardo bertanya pada sang istri, tapi tatapannya terpaku pada dokumen yang berada di tangannya. Silla bergerak duduk di kursi yang berseberangan dengan meja Ardo. Manik matanya menatap pada Ardo sebelum akhirnya ia bertanya, "Kemarin Kakak tidur di mana?" Mendengar pertanyaan itu membuat Ardo menatap Silla dari balik dokumennya. Pria itu lalu menghembuskan napas, kemudian menjawab, "Untuk apa kamu tanya-tanya?" "Aku hanya ingin tahu Kakak semalam di mana? Kakak juga tidak pulang? Hmm?" Silla masih mencoba menahan emosi yang ia rasakan. Tak ingin membuat situasinya jadi buruk. "Bukannya kita sudah sepakat?" Ardo bertanya pada wanita di hadapannya itu dengan penuh penekanan. Berharap kalau seharusnya sila sadar bahwa hubungan mereka hanya sekedar perjodohan. Silla embuskan napasnya berat. Seharusnya sejak awal ia tahu dan bisa menahan diri akan perasaannya sendiri. "Aku kan hanya ingin tahu Kakak ada di mana semalam?" "Inti dari kesepakatan kita itu adalah, bahwa kita bisa tetap hidup bebas dan tidak mencampuri urusan satu sama lain. Aku coba ingatkan kamu ya?" Ardo kembali menekankan ucapannya. Mengingatkan agar seharusnya Silla sadar diri dengan posisinya saat ini, yang hanya menikah dengannya karena perjanjian bukan karena cinta. Silla menghela napas, ada rasa sesak yang perlahan merambat di dalam hatinya. Seharusnya dia memang tak perlu merasa kecewa jika Ardo tidak kembali ke rumah. Bahkan seharusnya juga tak perlu merasa marah jika Ardo menghabiskan malam bersama wanita lain. Hanya saja sepertinya ada yang salah dengan perasaannya sendiri. "Aku hanya ingin tahu, Kak." Silla menekankan lagi. Mendengar pertanyaan yang terus-menerus membuat Ardo merasa kesal. Pria itu lalu membanting dokumen yang ia pegang. "Aku malas didesak begini! Paham kamu?!" "Semalam aku telepon kakak, dan yang angkat panggilan itu adalah seorang wanita? Kita memang sama-sama berjanji untuk tidak mengurusi urusan pribadi, tapi apa memang harus terus kakak begini?" "Begini gimana maksud kamu?!" "Tidur dengan wanita lain, minum-minum di kelab, melakukan hal-hal semacam itu." Ardo menatap sinis pada Silla yang seolah kini hendak mengatur dirinya. "Kenapa kamu jadi mengatur aku seperti ini? Tidak sadar diri kamu? Aku muak karena kamu terus maksa aku seperti ini!" Nada suara Ardo semakin meninggi akibat terus didesak oleh Silla. "Aku hanya ingin tau Kakak bersama siapa?" Silla bertanya lagi. Sepertinya ia tak akan menyerah sebelum Ardo memberikan jawaban. "Kalau tujuan kamu ke sini hanya untuk membuat kita bertengkar begini, lebih baik kamu pulang saja. Pekerjaan aku banyak dan aku malas kalau harus meluangkan waktu hanya untuk hal yang tidak berguna." Ardo lalu kembali pada dokumen di tangannya. "Lagian kalau aku tidur dengan wanita lain memangnya kenapa? Kamu mau larang aku? Sadar kamu." Silla jelas semakin kesal dan emosi. Dadanya bergemuruh keras sekali pertanyaan dari Ardo tadi benar-benar memancing emosinya. Padahal sejak tadi ia sudah menahan diri untuk tak marah. Sudah berusaha menekan emosinya. "Mau perjanjian seperti apa pun, kamu ini tetap suami aku, Kak. Dan sepertinya bukan hal aneh kalau aku mau tahu kamu ada di mana." Silla masih berusaha untuk mencari kepastian dari Ardo. Pria itu melirik pada Silla kemudian tersenyum di sudut bibirnya, terlihat sekali meremehkan. "Its a joke? Ceritanya kita lagi main rumah-rumahan dan drama rumah tangga begitu? Oh please Silla. That your wishes." Silla yang kesal kemudian bangkit dan melempar lasagna yang ia buat ke tembok, menyebabkan noda saus berantakan. Setelahnya ia meninggalkan tempat itu. Sementara Ardo marah sekali melihat kantornya jadi berantakan akibat kelakuan Silla. "Silla!!" teriaknya kesal. Wanita itu tak peduli, dirinya tetap melangkahkan kaki untuk berjalan ke luar ruangan Ardo. Bahkan ketika mendengar namanya diteriaki beberapa kali oleh Ardo, dia tak peduli pada pria itu. Lagi pula Ardo juga tak peduli dengan dirinya, jadi ia biarkan saja pria itu berteriak-teriak seperti kesetanan sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN