=LUCAS=
"Maksud dari kalimat nomor tiga ini, peraturan apa?" tanyanya.
"Well, ada banyak hal yang harus kaulakukan untukku. Dan aku tidak bisa menyebutkannya sekaligus. Jadi nanti akan kuberitahukan pada saat yang tepat, apa saja peraturan yang perlu kau patuhi itu."
Dia menatapku lurus-lurus. "Jangan membodohi saya, Sir. Perjanjian macam apa itu, jika tidak jelas apa saja yang harus saya patuhi?"
Aku nyengir. Baiklah aku mengaku, memang sengaja untuk menjebaknya kali ini. "Jadi begini, Nona. Selama Anda tinggal di sini, tentu saja Anda harus mematuhi peraturan di rumah ini. Begitu juga jika saya memerintahkan Anda untuk melakukan sesuatu, maka Anda harus bersedia melakukannya tanpa membantah."
"Contohnya?"
"Seperti undangan minum teh kemarin sore. Sangat tidak pantas Anda menolaknya. Yah, seharusnya mungkin aku lebih tegas kemarin. Lebih-lebih Anda sudah berjanji untuk datang." Aku mencondongkan badan ke depan dengan kedua siku bertumpu di meja, serta tangan saling berpaut.
Wajahnya terlihat tegang. "Em, eh, itu. Maaf, Tuan. Saya benar-benar kelelahan kemarin. Tolong jangan bawa saya ke kantor polisi," rengeknya. Terlihat jelas dia masih sadar dengan posisi yang tidak bisa melakukan penawaran. Apalagi aku memberikan perlakuan yang baik, sebagai seorang tamu.
"Baiklah, Nona Leverton. Anda bersedia menanda tangani perjanjian itu?" tanyaku menyudutkan. "Kontrak ini juga sebagai pengingat, agar Anda lebih menghargai janji."
"Baiklah, Tuan."
Yes! Akhirnya dia menyerah. "Bagus! Tuliskan nama lengkapmnu, lalu tanda tangan di bawah situ," ujarku sambil menunjukkan posisi yang harus diisi. "Silakan, ini penanya." Kusodorkan pena yang tercelup pada tempat tinta.
Tangannya yang berbalut kaus tangan berenda terulur mengambil pena. Perlahan digoreskannya ujung runcing itu ke kertas. Tulisan ranganny terlihat cukup bagus. 'Adelle Black Leverton' adalah nama yang disematkan pada kertas itu.
Usai mengembalikan pena ke tempat semula, dia menyodorkan kertas itu padaku. "Terima kasih." Kini giliranku menandatanganinya, Sir Lucas Kingstone. Kemudian aku membubuhkan lilin khusus untuk membuat segel, dan menekannya dengan stempel milikku.
"Nah, selesai. Kini tinggal menunggu stempel resmi dari Anda."
Dia terlihat panik. "Em, nanti Tuan. Maksudku, aku tidak membawanya. Kita tunggu koperku datang," ujarnya.
"Oh, kalau begitu baiklah. Saya akan menyimpan dokumen ini untuk kita. Yang penting Anda harus paham bagaimana konsekuensi dari perjanjian tersebut. Saya tidak akan menempuh jalur hukum, jika Anda memenuhi janji." Kutegaskan lagi hal ini, untuk membuatnya setuju pada tiap permintaanku.
"Baiklah, Sir. Saya mengerti." Suaranya sedikit bergetar.
"Baiklah Nona. Untuk permulaan, Anda bisa ikut saya hari ini sambil menunggu koper datang."
"Ikut ke mana?" tanyanya.
"Ke secret garden," jawabku mantab.
Wajahnya pias, dengan mata terbelalak. Aku tahu ada yang dia sembunyikan. Jadi kali ini akan kukorek informasi darinya pelan-pelan.
"Aku ingin Anda menunjukkan padaku, jalan yang Anda gunakan kemarin untuk masuk ke secret garden."
"Em, itu. Ba-baiklah. Tapi, aku tidak bisa memakai gaun seperti ini untuk ke sana. Jalannya lumayan sulit. Apa sebaiknya kita tunggu koperku datang, jadi aku bisa memakai baju yang tepat."
"Hmmm, sebentar. Baju seperti apa yang kau butuhkan?" tanyaku.
"Baju berkuda. Iya, dengan celana panjang akan membuat gerakku lebih leluasa."
Sejenak aku berpikir. Jika ukuran gadis ini sama dengan Marry Ann, tentu tidak kan menjadi masalah. Memang sebagian besar baju milik mendiang telah disumbangkan, tapi ada beberapa baju yang sengaja kusimpan. Pelayan juga secara rutin merawatnya. Ines mungkin bisa membantu untuk menemukan baju yang diperlukan. Lagi pula, semakin lama baju-baju itu akan lapuk dimakan usia. Sudahlah, lebih baik berikan saja padanya.
"Baik, kalau begitu. Akan kuminta Ines untuk mencarikan baju itu untuk Anda. Semoga saja masih ada."
"Eh, tidak perlu repot-repot, Tuan. Lebih baik kita tunggu saja koperku datang."
Gadis ini keras kepala memang. "Tapi, saya tidak suka menunggu, Nona. Apa yang bisa kita kerjakan sekarang, lebih baik segera dikerjakan. Lebih cepat lebih baik," ujarku sambil berdiri.
Tanpa menunggu persetujuannya, aku berjalan menuju pintu. Setelah membukanya, terlihat Ines masih berdiri dengan patuh di baliknya.
"Sir?" Dia cukup terkejut melihatku.
"Bantu Nona Leverton pindah ke kamar barunya. Lalu tolong carikan baju berkuda di lemari Marry Ann. Semoga saja ukuran mereka sama."
Sekarang Ines benar-benar terkejut. "Ma-maksud Anda, baju berkuda milik mendiang Nyonya?" tanyanya meyakinkan.
"Iya. Punya siapa lagi? Kalau kau punya baju berkuda, bisa kau pinjamkan pada Nona Leverton."
"Oh, tidak Tuan. Tentu saja saya tidak punya. Maksud saya ...."
"Berarti sudah jelas bukan, perintahku?" tukasku.
"Baik Tuan," kata Ines akhirnya.
"Bagus." Lantas aku berbalik ke dalam ruangan. Terlihat Nona Leverton telah berdiri dari duduknya. "Ines akan membantu Anda bersiap, Nona. Silakan bergegas! Saya tunggu di bawah."
Dia berjalan mendekat tanpa bicara. Begitu sampai di ambang pintu, aku menepi, memberinya akses keluar ruangan. Hanya tatapan mata tidak suka yang dia berikan, saat lewat di hadapanku. Bahkan Ines pun diabaikannya.
Aku tersenyum simpul.
"Permisi, Tuan," pamit Ines yang kujawab dengan anggukan. Pelayan wanita itu pun tergopoh-gopoh menyusul Nona Leverton.
Lucu juga melihat pemandangan seperti itu. Nona satu itu memang sedikit mengabaikan manner. Keberaniannya pun cukup membuatku tertantang. Jarang sekali ada wanita seperti itu, benar-benar seratus delapan puluh derajat jika dibandingkan dengan Marry Ann.
Hmmm, semoga dia bahagia di surga bersama bayi kami. Setelah sekian lama, rasanya aku mulai bisa menerima kepergiannya. Tapi, bagaimana pun juga, tidak akan ada yang bisa menggantikan posisinya di hatiku. Tidak akan!
Dering telepon di meja membuyarkan lamunanku. Segera aku kembali masuk ke ruangan dan mendekati meja kerja.
"Halo, Kingstone's manor."
"Selamat pagi, Sir Kingstone. Ini Tatiana, sepupu Adel," jawab di seberang.
"Selamat pagi, Nona. Ada yang bisa kubantu?"
"Saya hanya ingin mengabarkan kalau koper Adel sudah dikirim pagi tadi. Semoga segera sampai." Ada jeda sejenak setelah dia mengatakan itu. "Em, semoga Adel tidak merepotkan Anda, Tuan," lanjutnya.
"Oh, jangan khawatir. Semua bisa diatasi."
"Syukurlah kalau begitu."
"Apakah Anda ingin bicara dengannya?" tanyaku.
"Ah, tidak. Sampaikan saja salamku padanya. Sepertinya saya akan sibuk beberapa minggu ke depan, karena harus keluar kota."
"Baiklah, Nona."
"Terima kasih Tuan. Selamat pagi."
"Selamat pagi."
Setelah menutup telepon, aku mengambil lembaran kontrak yang tergeletak di meja.
Lady Adell Black Leverton, sepertinya musim panas kali ini akan lebih menarik dengan teka teki yang kau buat. Lihat saja, aku akan memecahkannya. Semua rahasiamu akan terungkap pada waktunya.
Segera saja kugulung kertas itu dan mengikatnya dengan pita. Aku berjalan menuju lemari arsip, dan menempatkan perjanjian itu bersama beberapa kontrak bisnis lainnya. Aku tahu perjanjian ini tidak akan memberikan keuntungan finansial, tapi mungkin Rully benar, aku harus mengalihkan perhatian dari sekadar menumpuk kekayaan.
Paling tidak, jika Nona Leverton memang seorang mata-mata aku jadi tahu siapa orang dibalik semua ini. Akankah dia pesaing bisnis? Atau hanya orang yang tidak suka padaku.
Setelah mengunci kembali lemari arsip. Aku keluar ruangan dan menuju lantai bawah. "Richard! Richard!" panggilku, sembari menuruni tangga.
"Iya, Tuan!" sahut Richard dari lantai bawah. Dia muncul dari arah ruang tengah.
"Siapkan dua kuda. Aku ingin jalan-jalan sebentar."
"Kuda?" tanyanya meyakinkan.
"Iya, kuda."
"Oh, kukira tadi Anda salah bicara. Bukan kereta kuda ya?"
"Bukan. Aku ingin berkuda," jelasku begitu sampai di bawah.
"Oh, baiklah, saya akan ke tempat Alfred sekarang."
"Terima kasih, Richard."
"You're welcome, Sir."