CK BAB 20

1711 Kata
CINTA KEDUA 20 Oleh: Kenong Auliya Zhafira Dalam kamus perempuan seringkali setiap kesalahan akan selalu menjadi bagian pria. Entah itu tentang masalah sepele dan berat sekali pun, pria adalah tempat bersalah paling besar. Meskipun melakukan pembelaan, perempuan tetap yang menyandang pembenaran. Pria yang kini merasa menjadi makhluk paling bersalah mencoba menelan ludahnya kasar. Akan tetapi, tatapan wanita di depannya yang terlihat tenang tapi tajam berhasil meruntuhkan niatnya untuk berbohong. “Oke, aku akan kasih tahu pesan dari siapa. Tapi, aku mohon kamu lihatnya jangan begitu. Aku jadi ngerasa kalau akan disayang, diracun lalu dibuang.” Arfan belajar mengalah pada mahkluk bernama wanita, terutama Nesha Dianti. Nesha bergegas mengambil ponsel di tangan sang pria setelah mendapat jawaban. Ada rasa penasaran yang terus menggelitik keingintahuannya. Akan tetapi, tidak terlalu penasaran seperti video yang sebelumnya dirahasiakan. Dalam sekali sentuhan, ia langsung menuju aplikasi hijau. Ternyata pesan dari wanita sebelum dirinya menempati urutan teratas. Wening [Jangan lupa jatah bulanan untuk anak. Aku tunggu. Oh, ya, selamat untuk video viral kalian.] Wanita pecinta dunia literasi itu membaca pesan dengan dahi berkerut. Namun, anehnya sang pria belum memberi pesan balasan. Padahal ia bisa saja langsung membalas tanpa menunggu apa pun. “Pesan seperti ini kamu mau sembunyikan, Mas? Apa untungnya coba?” tanya Nesha yang merasa sikap Arfan terlalu berlebihan. “Kan, kamu bisa balas. Mau aku tahu apa enggak, kamu pasti lebih tahu apa yang harus dilakukan. Jujur, aku belajar banyak dari hubungan ini sejak dulu. Belajar percaya, belajar jujur, belajar sabar, belajar terbuka, dan belajar mengontrol emosi juga cemburu,” imbuhnya lagi sembari menjelaskan apa yang telah ia dapatkan dari sebuah hubungan tanpa nama. Sementara Afan mendengarkan wanitanya bicara dengan hati teriris. Entah kenapa ada perih membayangkan bagaimana Nesha mampu melewati malam-malam penuh kesenyuian hati saat dirinya memilih diam dan larut bersama perasaannya sendiri. Rasa bersalah pun terkadang menghantui, menjerat kuat pikiran yang membuatnya tidak kuasa melupakan wajah seorang Nesha. Meskipun telah melakukan berbagai cara, tetap saja melekat sempurna pada ingatan. Pemilik nama Arfan itu perlahan menggenggam jemari yang sering merangkai ribuan kata. “Bukan mau menyembunyikan pesan itu, Sha ... tapi aku enggak mau kamu banyak pikiran,” jelas sang pria dengan alasan sederhana tentang sebuah perasaan. Dalam hati tidak ada niat untuk menambah luka lagi semakin lebar dan dalam setelah sekarang bisa saling menatap. “Terus? Kenapa belum dibalas? Entar kamu lalai sama kewajibanmu.” Nesha sendiri pun tidak mau membuat jarak akan kewajiban prianya. “Kalau gitu biar aku yang balas aja. Boleh, kan?” tanyanya seakan meminta izin. Arfan mengangguk. Bersama wanita di depannya benda bernama ponsel seperti milik bersama. Siapa mau memegang dan membuka atau membalas isi pesan sama-sama memiliki hak. “Ya udah kalau kamu yang mau balas. Tapi, a-anu, aku cuma—” Ucapan sang pria tiba-tiba berhenti. “Cuma apa?” sahut Nesha singkat. “Cuma ... aku malu bilangnya, Sha ... aku enggak mau kamu jadi kepikiran. Karena ini memang harusnya aku yang mikir, bukan kamu,” jelas Arfan yang memang tidak ingin menambah apa pun lagi pada wanitanya. Kepalanya pun perlahan menunduk dalam. Seketika Nesha meletakkan ponsel, lalu beralih menatap pria yang dipilihnya untuk menghabiskan sisa hidup penuh tanya. Entah alasan apalagi yang kini menahan bibir itu terbuka tanpa lagi ada rahasia. Bukankah sudah seharusnya keterbukaan menjadi landasan sebuah hubungan? Wanita yang berhasil terlatih dewasa karena keadaan menarik napasnya dalam, lalu memanggil sang pria. “Mas ... apa kamu masih ingat tentang semua mauku dulu? Aku dulu sering minta kamu tidak bohong lagi, tidak diam jika ada masalah, dan kamu tidak boleh pergi. Karena apa? Aku mau kita bisa terbuka dalam hal apa pun. Ya, meskipun ada hal yang mungkin kadang tidak ingin dibagi, tidak masalah. Dan aku pikir kamu sepakat untuk ini. Kita hadapi sama-sama semuanya. Baik itu omongan-omongan orang, Mbak Wening, dan tanggung jawabmu. Aku ingin kita tetap terus saling bergandengan meski diletakkan pada satu keadaan yang memancing perdebatan. Kamu ngerti kan, Mas?” jelas Nesha yang sengaja membuka kembali ingatan lalu saat masa-masa pahit menghantam raga dan hati tanpa ampun. Pelan, Arfan kembali mengingat semua itu satu per satu. Masa itu memang rasanya pahit dan menghimpit raga pada jalan sempit untuk sebuah pilihan. Ia mulai mengerti apa yang diinginkan wanitanya, yakni keterbukaan. “Ehm ... insyaallah aku ngerti, Sha. Terima kasih karena kamu selalu mengingatkan aku. Selalu sabar menerima segala kekuranganku. Bahkan, kamu masih ada di sini meski aku belum bisa menjadi seperti maumu,” jujur sang pria. Ada rasa keyakinan untuk memberi tahu segala hal yang kini menganggu pikiran. Memang benar, tujuan dua hati dipersatukan adalah untuk saling menguatkan satu sama lain dalam berbagai keadaan. Bukan untuk saling melukai dengan kata dan tuduhan. Arfan menarik napasnya dalam dan mengembuskannya perlahan, lalu berkata, “Sha ... aku enggak tahu ini bener apa salah, aku akan ikut apa keputusanmu. Jadi, saat aku pulang kemarin, aku hanya bawa duit seadanya. Em, maksudku enggak banyak, cuma lima juta. Ini karena keadaan memang lagi sepi. Aku juga belum kasih kamu karena aku sengaja ingin menikmati waktu bersamamu tanpa bicara materi. Tapi, pesan dari Wening justru mengingatkan luka lalu. Maafkan aku, Sha ...,” jelas pria yang kini benar-benar diselimuti rasa bersalah. Nesha lebih mendekat, memeluk pria yang dalam diam selalu berusaha memberikan apa pun dengan segala usahanya. “Ya Allah, Mas ... kenapa enggak cerita sih? Kalau gitu, kamu kasih Mbak Wening tiga juta, yang dua juta buat aku. Sekalian nanti buat kamu ongkos balik ke kota. Meski enggak jauh, tetapi paling tidak punya pegangan. Aku enggak mau jika nanti ada apa-apa, kamu enggak ada duit,” terangnya yang tidak ingin menjadi istri tidak tahu diri. “Kamu serius minta segitu aja? Padahal kamu yang harusnya berhak lebih banyak. Dan tentang aku, aku udah biasa dalam posisi begini, Sha ... kamu enggak perlu khawatir,” tanya Arfan memastikan keinginan wanitanya. Wanita yang kepalanya keras itu langsung menggeleng, “Enggak! Justru karena kamu udah biasa begitu, aku mau kamu jadi luar biasa. Udah sih, enggak usah protes. Dan insyaallah duit hasil nulis pun bisa buat jajan aku sama Ibu meski enggak banyak. Asal kamu terus doain aku bisa tetep nulis, udah cukup,” jelas Nesha yang sudah bulat akan keputusannya. “Mau ketemu kapan sama Mbak Wening?” tanyanya kemudian. Arfan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil mencari jawaban. Akan tetapi, ia merasa tidak ada jawaban untuk pertemuan itu. “Kalau menurut kamu baiknya kapan?” “Tentang niat baik itu harus disegerakan, Mas. Apa nanti sore aja? Kalau iya, aku akan kirim pesan balasan sekarang.” “Ya udah. Terserah kamu. Tapi, aku maunya kamu ikut. Kalau enggak, ya, biarin aja,” ujar sang pria yang tidak ingin lagi menuang cuka di atas perih sebab kejadian beberapa jam lalu. “Hayuk aja, Mas. Bentar mau balas pesan Mbak Wening dulu.” Nesha menarikan jemarinya merangkai pesan balasan. Cemburu dan apa pun itu yang memanaskan d**a sengaja dibuang sejauh mungkin jika untuk kebaikan. Arfan [Nanti sore aku ke rumah. Terima kasih juga ucapannya.] Pesan terkirim. “Udah aku balas,” ujar wanita yang selalu berusaha menjadi lebih baik sembari menarik lesung pipi di kedua sudut pipinya Sang pria pun ikut tersenyum melihat mendung itu perlahan berubah cerah. Entah kenapa hatinya tersentil mendapati wanitanya mengalah untuk tanggung jawabnya. Ada keinginan bertanya tentang anak yang sengaja atau tidak diserahkan Nesha pada pihak keluarga prianya terdahulu. Walaupun bukan ayah biologisnya tetap saja ada keinginan tahu kabarnya. Bahkan dulu kerap menjadi topik pembicaraan saat masih terikat hubungan tanpa nama. “Sha ... apa kamu enggak pernah kangen sama Azka?” tanya sang pria dengan lembut. Ia tahu betul jika Azka adalah salah satu di antara alasannya untuk tetap bertahan hidup. Nesha yang hampir melanjutkan paragraf kembali meletakkan ponselnya. Ada nyeri hati mendengar nama bocah yang telah ia lahirkan. Akan tetapi, bibir hanya bisa tersenyum getir. “Kenapa tanya begitu? Mana ada ibu yang enggak kangen sama anaknya. Begitu juga sebaliknya. Tapi, aku balik lagi. Mungkin Azka lebih terjamin sama dia daripada aku. Aku ini bukan ibu yang baik. Aku percaya keluarganya mampu merawat dengan baik. Dan aku juga udah mengirimkan uang. Makanya tahu Mbak Wening sampai kirim pesan begitu, aku enggak tega,” terangnya tanpa menutupi apa pun. Bulir bening pun kembali menetes membasahi pipi tanpa disadari. Sang pria kembali merasa serba salah. Niat hati hanya ingin bertanya malah mengundang hujan kesekian kalinya. “Jangan nangis dong, Sha ... aku janji kalau nanti ada rezeki lebih, kita ketemu Azka sama orang tuamu juga. Aku janji akan kerja lebih keras lagi untukmu,” janjinya yang terdengar serupa angin segar. Ya, Nesha memang memilih ikut dengan Arfan setelah semesta dan takdir saling bertemu. Sesuai keinginan sang pria jika bisa bersama maka Nesha ikut dengannya. Bukan tanpa alasan, selain wanitanya tidak ada lagi orang tua, ia tidak ingin jarak dan waktu menjadi penghalang seperti dulu. Arfan berusaha menghapus air matanya dengan punggung tangan. Mungkin baiknya memang tidak menemani menulis. Bukannya membiarkan dengan imajinasinya, tetapi malah mengundangnya dalam dinginnya hujan air mata. “Ya udah. Kamu terusin aja nulisnya. Aku mau duduk di teras rumah aja. Di sini malah jadinya kamu nangis mulu,” ujar sang pria sembari mengusap lembut pipi wanitanya. “Aku keluar dulu ya?” pamit Arfan. “Hmmm ... tapi cium dulu,” jawab Nesha manja. “Ish! Nanti aku khilaf gimana? Kamu enggak jadi nulis,” ujar sang pria, tetapi sedetik setelahnya mendaratkan bibirnya tepat di atas bibir yang kerap menangis. Satu kecupan singkat tapi tepat tempat terasa manis. Nesha sendiri menarik diri lebih dulu setelah merasa cukup. “Jangan sambil ngerokok di terasnya,” pesannya. “Iya, Sayang, iya ....” Arfan keluar dengan ponsel di tangan. Ia ingin melanjutkan mencari kata-kata yang tertunda untuk hasil tangkapan gambarnya sejak pagi. Akan tetapi, baru beberapa menit mencari inspirasi, satu pernyataan sang ibu membuyarkan segalanya. “Fan, Ibu perhatikan selama beberapa hari di rumah, kamu hampir tidak pernah merokok. Padahal sebelumnya kamu tidak bisa jauh dari rokok. Minum kopi pun hanya pagi dan malam. Apa kamu lagi melakukan pola hidup sehat? Atau untuk hal lain?” Seketika pria yang tengah mencari inspirasi hampir menjatuhkan ponselnya karena mendapat pertanyaan sedetail itu. Ia tidak menyangka kalau sang ibu memperhatikan geraknya selama di rumah. “Mampus! Aku harus kasih alasan apa sama Ibu. Bohong dosa, jujur pun aku tidak kuasa ....” -----***----- Bersambung

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN