CINTA KEDUA 19
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Menanggapi keinginan wanita yang di luar nalar terkadang menyisakan perasaan serba salah. Apalagi jika keinginan itu nantinya menggoreskan ujung pisau dan membuatnya perih. Ada keinginan menuruti untuk memuaskan rasa haus wanitanya sebab penasaran, tetapi ada ketakutan akan memercikkan api perdebatan kedua kali. Akan tetapi, hati tidak ingin lagi melakukan kebohongan seperti beberapa menit lalu.
Arfan menatap wanita di depannya dengan perasaan entah. Wajahnya menangkap isyarat jika melihat video tersebut akan baik-baik saja. “Ya udah ... tapi, janji enggak boleh marah kalau baca komentar. Enggak boleh nangis juga,” ujar sang pria sembari menyerahkan ponsel.
Ya, semenjak hidup bersama Nesha, benda bernama ponsel itu tidak lagi se-privat sebelumnya. Tidak ada kata sandi apa pun kecuali dengan menggeser layar. Keduanya selalu mempersilakan jika salah satu ingin meminjam dan melihat. Karena memang hubungan seperti inilah yang mereka dambakan, yakni hidup bahagia tanpa ada curiga yang berarti. Cukup menjadikan kegagalan lalu sebagai guru sekaligus kaca.
Nesha sendiri menerima ponsel tersebut, lalu menelusuri galeri. Video di rumah Ravi seketika terlihat mata. Ada kesedihan melihat dirinya sendiri dalam layar ponsel. Entah kenapa bulir bening menetes begitu saja tanpa permisi. Apalagi setelah membaca beberapa komentar yang cukup menghantam pikiran. Akan tetapi, lagi dan lagi kembali teringat janji untuk tidak menangis. Karena di antara mereka masih ada yang memberi komentar untuk melanjutkan hidup.
‘Cinta itu unik. Tidak masalah bagaimana Tuhan mempertemukan kalian berdua. Tetap nikmati, jalani kehidupan dengan sebaik-baiknya.’
‘Lebih baik mengaku punya salah daripada harus memperebutkan hal yang sudah berlalu.’
‘Hai, siapa pun kamu, entah berasal dari mana, tetaplah tersenyum menjalani hidup yang semakin hari seminggu parah.’
‘Cintamu tidak salah. Jika Tuhan membawa takdir yang berbeda, terima dan jalani. Karena tidak semua kisah yang salah bisa berakhir sepertimu.’
Wanita yang sengaja mengiris luka sendiri masih terus meneteskan butiran kristal. Ya, ia lupa janjinya pada sang pria untuk tidak menangis lagi. Entah kenapa, selalu ada rasa yang membuat mendung mampu menurunkan gerimis jika ingatan dulu terkenang kembali. Seolah ada luka yang pernah disebut mati-matian untuk bertahan dengan keyakinan perasaan di atas kesalahan.
Sementara sang pria menarik napasnya dalam melihat wanitanya kembali menangis. Ia juga menghapus air mata yang menetes membasahi pipi tanpa henti. Pikirannya mendadak habis memahami sikap seorang Nesha yang selalu suka melukai diri sendiri dengan keingintahuannya.
“Kan, kan, kan ... katanya janji enggak nangis? Ini malah nangis,” ujar Arfan sembari mengusap lembut punggung wanitanya. “Udah nangisnya, Sha ... nanti matanya bengkak, enggak bisa lihat tulisan. Lagian mau kabar ini sampai ke satu Indonesia, aku masih tetap menjadi orang yang sama. Orang yang akan selalu membuatmu menangis dengan hal-hal sepele," imbuhnya lagi tanpa mengurangi apa yang sering ia lakukan pada wanita di depannya.
Seketika Nesha menghentikan tangisnya. Ia tidak ingin lagi menangisi masa yang telah berlalu. Biarlah kisah lalu menjadi kenangan diri akan perasaannya untuk seorang Arfan. Ia percaya kalau badai seperti ini akan mampu teratasi asal tetap bersama.
“Aku nangis bukan karena komentar dalam video ini. Aku hanya terlalu bahagia karena akhirnya kita bisa satu perahu. Bahkan, aku sendiri jadi punya cinta kedua dari wanita bernama ibu. Dan juga kamu ...,” jujurnya tanpa malu jika membahas tentang perasaan sendiri. Karena ia tahu dengan mengatakan itu lebih baik daripada harus memendamnya.
“Kalau bahagia itu bukan nangis, tapi ketawa. Atau senyum," jelas sang pria. “Tapi, aku jadi tanda tanya. Maksud Ravi unggah video itu untuk apa? Apa dia sengaja ingin memberi tahu pada orang tentang kehidupan yang kita jalani?” tanyanya lagi yang menyadari ada sesuatu dari tujuan unggahan video.
“Mana aku tahu, Mas ... emang Ravi sepicik itu? Aku rasa enggak, deh ....” Nesha berusaha berpikir positif. “Udah sih, anggap aja karena video ini, kita semua jadi saling melindungi satu sama lain. Ibu yang ikut emosi karena membela menantunya, dan kamu juga berbohong agar aku enggak sakit. Harusnya kita bersyukur. Karena mau bagaimanapun kita hidup sekarang, balasan untuk hubungan kita dulu akan tetap ada. Contohnya seperti ini,” ujarnya menjelaskan sisi baik dari gempuran omongan orang-orang.
Arfan dalam diam merenungkan dan membenarkan apa yang dikatakan wanitanya. Tidak mungkin jika Ravi punya pikiran jelek untuk dirinya dan Nesha. Namun, tidak ada salahnya jika nanti mempertanyakan tentang ini pada Ravi di lain waktu.
“Iya, Sayang ... aku juga bersyukur sekarang punya kamu. Ya udah, masuk kamar yuk? Aku temenin kamu nulis sambil tiduran. Kamu buat s**u buat temen nulis, kan?” tanya Arfan yang terselip aroma keisengan.
Nesha mengerutkan dahi mendengar ajakan sang pria. “Ngapain ngajak masuk kamar? Pakai jadi temen nulis segala? Bukannya nemenin nulis malah nanti ngajak becanda,” ujarnya yang paham maksud tersembunyi sang pria.
Bukannya menjawab, Arfan justru mengacak asal rambut wanitanya. “Dasar! Aku enggak akan ngajak becanda. Pengin tiduran aja sambil lihat kamu nulis.”
“Ya udah kalau gitu.”
Keduanya bersamaan masuk ke kamar. Arfan lega jika wanitanya tidak menelusuri galeri ponselnya lebih jauh. Rasa malu masih bisa terus disembunyikan dengan baik. Karena hanya memandang gambar seorang Nesha dulu menjadi penawar rindu saat ikatan terpisah jarak dan keadaan juga waktu serta pasangan masing-masing.
Ada nyeri teramat hebat apabila saat-saat itu terlintas dalam benak. Di mana dirinya harus menjaga dua hati di atas keadaan yang tidak berpihak. Meskipun pada akhirnya waktu membawa situasi semakin rumit dan sulit, Wening memilih pergi dari segala kekurangan diri membuatnya jatuh ke titik paling dasar. Akan tetapi, Nesha selalu ada dan terus mengirim pesan tanpa malu ketika dirinya berada dalam kehancuran. Meski sikap diamnya pasti menyakiti, wanita yang kini tengah sibuk dengan ponselnya justru tetap menuliskan kata rindu.
“Ah ... ternyata perih itu masih terasa,” gumam Arfan dalam hati. “Apakah kamu juga perih ketika berpisah dulu, Sha? Ah, iya aku lupa ... kamu menikah hanya karena alasan yang penting ada yang mau. Apa kehidupanmu sebelumnya sesakit dan sehancur itu?” tanyanya lirih pada ingatan.
Entah kenapa tiba-tiba pikiran akan kehidupan terdahulu wanitanya melintas begitu saja. Alasan itu pula yang menarik setengah hatinya untuk mendekat dan terus mendekat. Meksipun tahu keadaan akan menancapkan lara dalam hingga mengoyak hebat, tetapi untuk pergi meninggalkan selalu tidak bisa.
“Sha ...,” panggil Arfan.
“Hmmm ....”
“Apa aku boleh tanya?”
“Boleh. Mau tanya apa memangnya?” jawab Nesha tanpa memalingkan tatapan pada ponsel. Paragraf-paragraf itu masih menyihir konsentrasinya.
“Apa kamu menyesal berpisah dengan suamimu dulu untuk memilih hidup bersamaku? Padahal kamu tahu pasti kalau aku hanya memberimu sakit dan air mata. Bahkan, aku tidak bisa memberi kamu kehidupan seperti pasangan lain. Seperti hidup enak, punya rumah idaman sendiri, uang banyak, bisa jalan-jalan, dan mempercantik diri. Tapi, kamu ... kamu sama aku malah begini. Di rumah terus dan bahkan memberi waktu aja hanya sebisaku. Aku memang bukan pria yang baik,” tanya sang pria yang menjabarkan segala kekurangan diri.
Nesha seketika menghentikan jemarinya merangkai paragraf. Bahkan, ia sengaja berbalik dan duduk mendekat. Melihat sang pria dengan isi kepala yang dipenuhi tanda tanya. Tidak biasanya seorang Arfan mempertanyakan hal yang jelas sudah tahu jawabannya.
“Kamu kenapa sih? Tumben tanya tentang itu? Tentang omongan orang-orang itu aku beneran enggak apa-apa. Kamu enggak perlu mengaitkan dengan kehidupan dulu. Dari awal ikatan kita ada pun memang memberikan luka dan air mata. Karena kita dipertemukan dalam keadaan yang tidak tepat. Kan, aku udah pernah bilang. Aku hanya ingin kamu tetap ada. Ya memang setiap wanita pasti punya keinginan seperti itu, tapi tidak semua. Lagian aku lebih suka di rumah. Jalan-jalan kan, capek, Mas. Dan aku selalu cantik dengan caraku, juga doaku tidak pernah berhenti untukmu. Apa pun itu,” jawabnya seolah tidak ada rasa penyesalan sedikit pun hidup bersama dengan pria yang kini tengah menatapnya.
Arfan tidak tahu harus menjawab apa kenapa bisa mempertanyakan hal demikian. Ia hanya merasa rendah diri, takut tidak bisa membuat wanita di depannya bahagia. Sungguh, ada harapan tinggi kapal yang sekarang bisa berlayar hingga ujung dunia tanpa harus kandas dan tenggelam. Cukup sudah merasakan kehancuran dan kegagalan.
“Boleh peluk kamu, enggak?” pintanya untuk menyembunyikan segala perasaan yang tidak bisa diungkap kata.
Wanita yang memang bahagia dengan caranya langsung membuka kedua tangan. Memeluk erat pria yang telah membawa setengah hatinya sejak awal perkenalan. Bahkan, ia sengaja menghirup aroma tubuh Arfan untuk mengisi botol kerinduan jika nanti jarak kembali memisahkan. Akan tetapi, suara getar ponsel membuat celah pelukan di antara keduanya.
Pria pemilik ponsel pun menarik diri. Ia membuka dan membaca pesan dari seseorang yang tahu betul siapa pengirimnya hanya dengan melihat foto profilnya. Arfan mengerutkan dahi untuk isi pesan yang selalu sama.
Wening
[Jangan lupa jatah bulanan untuk anak. Aku tunggu. Oh, ya, selamat untuk video viral kalian.]
Seketika Arfan tertawa, menyembunyikan keadaan yang tengah lebih besar pasak daripada tiang. Karena memang usaha yang dijalani mengalami penurunan. Namun, ia memilih kembali sejenak untuk menemui Nesha agar hujan tidak membasahi pipi terlalu sering.
“Ternyata kamu tetap sama. Selalu duit, duit, dan duit. Aku tahu memang semuanya pakai duit. Tanpa kamu ingatkan pun, aku tahu itu masih kewajibanku. Tapi, tidak terlalu berterus terang begini juga. Nesha saja sampai detik ini ketemu belum bertanya tentang itu. Dan apa maksudmu juga ikut komentar pada video yang diunggah Ravi,” batinnya.
Nesha yang menatap prianya aneh langsung bertanya, “Apa ada yang lucu, Mas? Pesan dari siapa, kok, bisa buat kamu begitu?”
Pria yang masih mengukir tawa langsung terdiam. Ia menatap wajah wanita yang mempunyai sikap berbanding terbalik dengan perasaan entah. Arfan tidak mau menambah beban pikiran wanitanya dengan masalah finansial yang ada, termasuk keadaan usahanya dan pesan dari Wening. Karena urusan tulang punggung adalah kewajibannya yang akan terus terhubung.
“Maaf, bukan bermaksud menutupi, Sha ... aku hanya ingin kamu tidak cemas dan khawatir. Walaupun aku sendiri kadang merasa tidak berguna sebagai pria. Dan hal ini yang membuatku merasa bersalah belum bisa memberikan kebahagiaan,” batinnya lagi dan lagi.
“Mas, malah diem ... pesan dari siapa?” Nesha mengulang lagi pertanyaannya.
“Em, a-anu ....” Arfan mendadak gagap bicara.
“Aku harus jawab apa? Haish, kenapa selalu menjadi makhluk paling salah jika di hadapan wanita?”
-----***-----
Bersambung