Sedang Akur?

1311 Kata
Lea mengambil sebuah vitamin dan menelannya, meneguk air untuk mendorong masuk. Bertepatan ponselnya berbunyi, ia meletakan kembali gelas. Panggilan masuk dari Mentari Catrina—sang Ibu yang masih menetap di Sydney. Hanya tinggal berdua dengan adik laki-laki yang terpaut usia enam tahun dengan Lea. “Ma,” “Hai, sudah di rumah?” “Ya, tadi di jemput Hamish.” Menyebut nama pria itu, mengingatkan Lea akan rasa kesal. Hamish memang memiliki sikap tidak baik padanya, Lea tidak pernah pedulikan tapi berbeda bila menyinggung satu hal sensitive dalam hidupnya. Tentang masa kecil, dan orang tuanya. “Di Sydney sudah pukul dua, kan? Mama kok belum tidur? Lagi overthinking?” Suara tawa terdengar dari sang Ibu, “Mama justru sudah tidur dari jam sepuluh, lalu terbangun dan ingat kamu. Kangen,” “Lea juga, miss you so much, Mama.” Sejak kecil Lea tinggal bersama Tari, menghabiskan banyak waktu dengan Tari dan Jonathan, Ayah sambung Lea yang juga sayang padanya. Sementara untuk bertemu dengan Putra, sang Papa, Lea hanya bertemu saat libur sekolah dan saat ulang tahunya, jika Putra sedang bisa cuti maka akan datang ke Sydney. “Conrad di rumah?” Conrad Thomas, adik laki-lakinya dari pernikahan Tari dengan Jonathan Thomas. “Sejam lalu baru pulang,” “Aku juga merindukannya,” “Dia pun sama, belum sempat meneleponmu karena sedang sibuk.” Conrad sedang melanjutkan pendidikan untuk dapat gelar Magister, dia mengikuti jejak Jonathan yang merupakan seorang dosen. “Kamu betah tinggal di sana, Honey?” Tari mengkhawatirkan putrinya. Lea menghela napas dalam, tidak ingin membuat sang Ibu cemas, “ya, Papa sangat sibuk, kami baru bertemu beberapa waktu. Hanya menghabiskan waktu sebentar, lunch atau dinner. Jadwal kami berdua masih butuh penyesuaian.” Tari terdiam mendengarnya, keputusan Lea untuk pindah ke Jakarta, salah satunya ingin semakin dekat dengan Putra. Namun, sampai di sini, ia tahu betapa sibuk sang Ayah. Bahkan untuk mengurus dirinya sendiri pun seperti tak ada waktu. Maka dari itu, Lea berharap tempat tinggalnya segera selesai, bisa tinggal bersama meski Papa akan sering tidak di Jakarta. “Papa sedang ke luar negeri lagi, ada pekerjaan. Mungkin baru kembali tiga hari nanti.” “Kamu mau Mama bicara dengan Papa?” “Tidak perlu, Ma… Papa juga bilang mau sekali punya banyak waktu bersamaku, tapi statusnya yang jadi pewaris Rajata, membuatnya sangat sibuk. Aku justru lebih mencemaskan kesehatan Papa.” Tari kembali terdiam. “Mama tahu, aku menemukan foto kalian di ponselnya juga dompet yang selalu Papa bawa—” “Lea,” “Dia masih mencintaimu, Ma.” “Meski begitu, tidak akan mengubah apa pun.” “Ma,” “Sebaiknya kamu istirahat, jaga dirimu baik-baik. Perhatikan kesehatan, asupan gizimu.” Jika sudah begitu, artinya Mama tidak mau meneruskan pembicaraan. “I Love you, Mama…” “Ya, Mama mencintaimu selalu, Lea.” Balas Mama, lalu panggilan berakhir. Lea memandangi layar ponselnya, foto yang diambil saat ulang tahun ketujuhnya. Dalam foto itu, Jonathan yang memotret. Lea di tengah-tengah meniup lilin di atas kue ulang tahunya, sementara Putra dan Tari mencium pipinya secara bersama-sama. Salah satu foto favoritnya hingga sekarang. Tidak sulit menerima perbedaan keluarga yang ia miliki sampai akhirnya Lea memahami situasinya. Meletakan ponsel, Lea membawa gelas yang sudah kosong untuk diisi ulang. Di lantai dua ada dispenser air sendiri, tapi sudah dua hari ini galon kosong itu belum juga di ganti. Rumah tanpa sentuhan seorang Ibu memang pasti ada saja yang terlewat, Lea berharap Amira dan Kaflin segera kembali dari Semarang. Selain rumah terasa lebih hangat ada mereka, juga bisa membuat Hamish tidak semena-mena padanya. Hamish, baru ada dipikirannya, saat itu juga mata Lea menemukan lelaki itu tengah duduk di atas permadani. Layar televisi hidup menampilkan pertandingan dua grup bola besar asal Eropa. Sementara itu makanan yang tadi dia beli sesaat menjemput Lea, ada di hadapannya. Bersanding dengan sebuah minuman soda dengan zero sugar. Dia tidak melihat Lea yang melewati ruangan tersebut menuju dapur, Lea kembali tetapi dia berbelok dan saat mendaratkan bokongnya di sofa, atensi Hamish beralih padanya. Pria itu hanya melirik, kembali melahap burger. Sangat menikmati. “Kamu lakukan ini juga saat tidak ada orang di rumah?” pertanyaan Lea membuat Hamish menoleh. “Maksudmu apa?” Lea menunjuk, makanan yang sedang Hamish suap. “Oh, ini? Ayah dan Bunda justru yang menunjukkan waktu paling tepat menikmatinya. Tapi, sekarang sih sudah jarang.” “Really?” “Ya, kamu meragukan ucapanku?” Lea duduk bersandar, menggerakkan kakinya hingga posisi bersilang. “Uncle Kaflin sebagai dokter senior pasti tahu jika makanan dan minuman tersebut hanya tinggi kalori-“ “Tidak setiap hari, hanya saat sedang ingin saja.” Hamish menjaga mulutnya untuk balas Lea, mengingat yang terjadi di mobil. “Halim juga makan yang sama?” “Halim, bahkan Aurora yang menjaga tubuhnya, kerja di dunia entertainment. Dia tetap bisa menikmatinya, sebulan sekali.” Lea hanya mengangguk-angguk paham. “Kamu tidak tidur?” “Belum ngantuk, Mama tadi menelepon.” Ungkapnya, entah mengapa harus mengatakan pada Hamish. “Oh, Tante Tari sehat?” “Ya,” angguk Lea. Hamish sedikit menggerakkan tubuhnya untuk bisa menatap Lea, harus mendongak sebab Lea duduk di sofa. Berada lebih tinggi darinya. Lea menarik napas dalam, “Hamish, boleh aku tanya sesuatu?” Hamish menunggu apa yang akan Lea tanyakan. “Apa memang menurut kamu, aku terlalu kaku?” Hamish terbatuk kecil, “Uhuk!” lalu Lea menyodorkan gelasnya, yang segera Hamish ambil dan meminumnya. “Pelan-pelan,” dia mendekat, mengusap punggungnya. “Thank,” Hamish meletakan gelas tersebut di dekatnya, “nanti ambil gelas baru lagi saja.” “Hm, ya.” Angguk Lea, dan baru menyadari itu gelas bekasnya. Oh ya ampun! Dia sangat refleks memberikannya, “dan, itu gelas bekasku. Sorry, aku refleks memberimu minumku.” “Tidak masalah, kamu tidak punya penyakit menular, kan?” tanya Hamish. Membuat Lea memutar bola matanya malas. “Pertanyaanmu barusan, apa karena pertanyaanku di mobil yang masih mengganggumu?” lanjut Hamish. “Bukan, hm sudah lupakan saja. Anggap aku tidak pernah bertanya.” Lea menggeleng, untuk apa juga ia mempertanyakan pada Hamish! Pikirnya, dia hendak berdiri saat merasakan Hamish meraih tangannya, “apa?” “Duduk di sini,” Hamish memintanya duduk. Berpindah di atas permadani, dekatnya. “Mau apa?” Lea tidak langsung mengiyakannya. “Tinggal duduk aja, Lea. Aku tidak akan mencekikmu, terlihat waspada sekali!” sarkasme Hamish. Lea menurut, duduk bersila dekatnya, kemudian Hamish mengambil satu burger lain yang masih utuh, “untukmu, cobalah.” “No, thank! Aku tidak pernah makan tengah malam, apalagi dengan makanan berat itu!” tolaknya, Hamish tetap membukakan sedikit bungkusan kertas, aromanya memang sangat menggoda, kemudian menyodorkan. “Coba dulu, satu gigitan. Jika kamu tidak bisa menelannya, kamu bisa muntahkan.” Lea menghela napas dalam, ia setuju dan tetap ragu untuk mengambil satu gigitan pertama. Hamish memerhatikan lalu tersenyum saat Lea mulai mengunyah sampai halus dan menelannya. “Enak?” “Ya,” angguk Lea, sejujurnya malam ini entah mengapa dia pun merasa lapar tak seperti biasanya. Hamish tersenyum kecil, “kamu mau dengar pendapatku, kan? Kamu memang kaku,” Lea menarik napas dalam, raut wajahnya berubah seiring kembali meletakan burger tersebut. “Kamu yang tanya, ketika kujawab dengan jujur ya jangan marah.” “Aku tidak marah,” Lea menjawab, kemudian menatap Hamish dalam, “kamu beruntung, Hamish. Terlahir dan besar dengan keluarga lengkap, tumbuh bersama ayah-ibumu.” “Dan kamu, merasa hidupmu tidak beruntung karena Tante Tari dan Om Putra tidak bersama?” Lea tersentak, Hamish memahami apa yang sedang mengganggu pikirannya. “Mereka pasti punya alasan yang tepat untuk tidak bersama, hingga Tante Tari menikah dengan Uncle Jonathan. Lebih dari beruntung, mereka berusaha keras membuatmu tetap merasa utuh dan bahagia sebagai putri mereka.” Selain merasa tiba-tiba lapar, tengah malam ini pun, ia enggan beranjak. Tetap di sana, menghabiskan satu Burger, menipiskan ketegangan yang biasanya selalu ada di antara mereka. Kebetulan Hamish juga sedang tidak menyebalkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN