Ileana Kamaniya-Si Dokter Perfeksionis!
“Tidak menginap lagi, Hamish?”
Sebuah seruan tak asing itu menghentikan langkah Hamish yang siap menaiki tangga, dia menoleh. Satu alisnya terangkat menatap seorang wanita dengan baju tidur satinnya berwarna hitam serta bagian pelapis luar yang tidak ia ikat simpulnya. Rambut panjangnya tergerai.
“Mulai perhatian sekarang?” balas Hamish dengan pertanyaan lagi. Dia berdiri tegak, bersedekap.
Ileana Kamaniya, putri dari teman baik Kaflin Lais dan Amira. Sejak pindah ke Jakarta, Hamish menganggap ‘musibah’ untuknya. Setiap detik yang ia doakan sekarang adalah Lea segera enyah dari rumah mereka.
Lea membawa segelas air putih, meneruskan langkah hingga berhenti dekatnya.
“Hanya heran,” dia mengedikan bahu, bertanya sebab sudah beberapa kali Hamish tidak pulang, “biasanya kamu akan manfaatkan kesempatan baik tidur di luar saat tidak ada Aunty dan Uncle dokter.”
Kaflin sedang menjemput Amira ke Semarang, setelah Halim—kembaran Hamish pun sedang di Semarang, tempat keluarga besar pihak ibunya menetap. Masih dalam masa berduka setelah kepergian Ibu dari Amira.
Di rumah Lais, selain para pekerja, hanya ada Lea dan Hamish.
“Ini rumahku, terserahku mau tidur di rumah atau saat ingin menginap di luar.”
Lea tidak menanggapi lagi jika Hamish sudah memasang wajah dingin, pilih berlalu menaiki tangga. Hamish berjalan dibelakangnya.
“Kapan kamu akan pergi selamanya dari rumah ini?” tanya Hamish secara terang-terangan tepat Lea sudah sampai di depan kamarnya.
Lea berbalik dan kembali bertemu tatap dengannya. “Besok, Papa akan jemput.”
“Baguslah, kamu berhenti merepotkanku—”
“Jika sejak awal kamu merasa direpotkan dengan kehadiranku, seharusnya protes saja pada Aunty Amira dan Uncle.”
Hamish mendengkus dengar ucapan wanita itu, jika bisa Hamish ingin protes bahkan menolak dengan tegas. Tapi, hal itu akan membuat terutama Bunda sedih. Hamish paling tidak bisa melihat Bunda sedih apalagi marah, kecewa padanya. Dia sangat menyayangi Ibunya, tapi bersikap buruk pada Lea.
“Paling tidak berterima kasihlah padaku, banyak waktu berhargaku yang terbuang dengan menemanimu mencari tempat tinggal yang sesuai dengan selera tinggimu itu! Mengantar-jemputmu, dan banyak lagi!”
Lea tidak terpengaruh, tetap tenang menatapnya, “ucapan terima kasih hanya pantas di berikan pada seseorang yang bukan sepertimu.”
Hamish kembali berdecak, “wah, bisa-bisanya! Aku juga tidak mengharapkannya—”
“Aku salah mengartikan dari kalimatmu sebelumnya? Oh tidak mengharapkan tapi meminta.” Lea mengangguk-anggukan kepala. Sangat cerdas membalikkan kata-kata Hamish.
“Lea—”
“Good night, semoga aku tidak merepotkanmu sampai ke mimpi.” Kata Lea, tersenyum setelah berbalik dan masuk kamar.
Hamish yang masih berdiri di sana, mendengarnya tentu saja sekali lagi berdecak sebal, “dasar si Lady Perfeksionisme! Harusnya gelar itu ada di belakang gelar dokternya yang panjang!”
Tiba-tiba pintu kembali terbuka, kening Lea mengernyit, kembali heran, “lho kamu masih di sini? Bicara sendiri? apa kamu baik-baik saja, Hamish… mau aku per—”
“Periksa dirimu sendiri, agar kamu tahu betapa menyebalkannya dirimu!” jawab Hamish berbalik cepat, melangkah meninggalkan Lea.
Lea menarik napas dalam-dalam, sejak dirinya datang ke Jakarta, sebenarnya tidak ingin merepotkan siapa pun. Bila pun dia setuju tinggal di rumah keluarga Lais sampai dapat tempat tinggal yang cocok, itu karena Lea tidak bisa menyakiti hati Amira dan Kaflin yang meminta ia tinggal.
Hamish yang Lea kenal sejak kecil, walau hanya bertemu saat liburan bersama, sudah berubah banyak. Terutama sikap menyebalkan, dan kabar pria itu suka sekali berganti-ganti teman kencan seperti mengganti pakaian.
***
Hamish bangun kesiangan, alarm memang otomatis hanya di atur saat weekdays. Jam sembilan ia baru turun. Duduk di salah satu kursi yang ada di ruang makan keluarga, lalu pekerja rumah langsung membawakannya sarapan.
“Ini ada kiriman Croissant dari Mbak Aurora,” kata pekerja rumah yang mengurus sarapannya pagi ini.
Selain mempunyai saudara kembar, Halim Benjamin Lais, ia juga punya kakak Perempuan, Aurora Kyomi Lais yang sudah setahun menikah. Kebetulan Aurora sedang tinggal di rumah mertuanya, bulan depan baru bagian ia tinggal di sini. Rumah mereka masih dalam proses pembangunan.
Hamish memainkan ponsel saat mendapati kehadiran lainnya, Lea muncul dengan setelan pakaian larinya. Celana legging hitam, sementara bagian atasnya memakai jaket yang memiliki topi. Ia menurunkan bagian yang menutupi kepalanya tersebut. Tampak sangat berkeringat.
Mata Hamish terus memerhatikan terutama saat Lea meletakan ponsel dan earphone Bluetooth. Lalu ia menurunkan restleting jaket putih dan melepasnya, hingga menyisakan bra sport hitam.
Sebagai pengagum wanita, Hamish jelas mengakui Lea memiliki tubuh yang proporsional. Tinggi semampai, perut dan pinggang ramping. Sebagai dokter, Lea pasti mematuhi dirinya untuk hidup sehat.
“Hm! Sejauh apa isi otakmu sekarang?!” Lea berdehem keras saat menyadari tatapan Hamish.
“Pastinya tidak ada dirimu dalam pikiranku!” pembelaannya setelah tertangkap basah, Hamish segera mengalihkan tatapan, tetap santai, memilih makan Croisant, sambil menunggu suhu kopinya menurun.
Lea hanya meminum segelas air putih, Hamish jarang melihatnya sarapan dan wanita itu memang pemilih soal makanan.
Lea kembali berdiri, tetapi berhenti di dekatnya. Hamish menoleh saat Lea menunduk begitu dekat dengan sisi wajahnya, “lain kali tolong jaga pandanganmu, tidak semua wanita merasa dipuja saat dapat tatapan penuh arti pria sepertimu! Oke?”
“Apa maksudmu?!” Hamish tidak terima, dia berdiri, mencekal lengan Lea.
Lea menarik lepas tangannya, bersedekap sambil memegangi barang-barangnya.
“Tidak terima? Aku hanya memberikan pendapatku saja, itu yang aku rasakan saat matamu menjelajahi tubuhku. Aku merasa dilecehkan!”
Hamish kembali melongo, tidak ada kesempatan membalas begitu Lea berbalik dan pergi dari hadapannya.
“Sialan sekali dia, menuduhku begitu!”
Pagi menyebalkan, membuat mood seorang Hamish Benedict Lais berantakan lalu nelangsa sepanjang hari, sudah terjadi sejak Lea tinggal di rumahnya.
Hamish mengambil ponsel, menelepon sepupunya sepagi ini.
“Aric—”
“Biar aku tebak, sepagi ini menelepon di hari Sabtu pasti karena Lea sudah menguji dirimu. Iya kan?”
Tepat!
“Jika Lea tidak jadi keluar dari rumahku hari ini, aku bersumpah akan mengarunginya malam nanti, lalu membuangnya ke laut Ancol!” Ucap Hamish penuh kesal.
Sepupunya yang mendengar sumpah anehnya itu justru tertawa. Kalimat Hamish jelas hanya ungkapan kesalnya saja pada Dokter Lea.
“Kau jelas hanya sedang jengkel, mana mungkin kamu serius!”
“Aku serius, dia semakin hari kian membuat tensi darahku naik!” Hamish serius bicara soal tensi darah yang naik.
“Kalu begitu aku tidak mau membantumu. Kamu tahu kalau pasal pembunuhan berencana akan dijatuhi hukuman ber—"
Tidak sampai Aric selesai bicara, Hamish menutup panggilan secara sepihak.
“Bicara dengan Aric sama saja, malah menambah kesal! Astaga!” Dia menggerutu sendiri. Kembali duduk dan menyeruput kopi yang ia lupa jika masih panas.
Membuat Hamish menyemburkan kembali kopinya, “Fiyuh!!! Sial panas!”
Dia meletakan kembali cangkir tersebut, lalu bersandar dan mengusap wajahnya sendiri. Bertepatan ia mendengar suara langkah yang mendekat, “Om Putra?”
Hamish berdiri, menghampiri teman baik ayahnya sekaligus Papa dari Lea.
“Pagi, Hamish. Lea sudah bangun, kan?”
“Lea ada di kamarnya, baru pulang jogging. Om mau jemput Lea?” Penuh harap.
Putra menatap Hamish, “oh bukan, tidak jadi hari ini karena Om ada pekerjaan mendadak yang harus menggantikan ayahmu untuk pertemuan di Vietnam. Sore nanti Om berangkat. Sampai Om kembali, untuk itu Lea akan tetap di sini. Tidak apa-apa kan, Hamish?”
Kabar tersebut jelas bagian terburuk yang tidak ingin dia dengar. Tapi, mana mungkin Hamish langsung mengatakan keberatan.
“Hamish?” tegur Putra karena pria muda di depannya belum menjawab.
Hamish memaksakan senyum, mengangguk kaku, “Oh iya, Om. Tentu. Lea bisa tetap di sini, Bunda dan Ayah juga pasti tidak akan mengizinkan Lea tinggal sendiri sampai Om kembali.”
Diam-diam dia menarik napas berat. Pasrah.