Kembar

1456 Kata
Sepanjang jalan meninggalkan Kafe menuju rumah Lais, Lea memikirkan Hamish. Menerka-nerka masalah apa yang dia alami hingga datang menemui dokter Giyan, di rumah sakit lain. Lea memiliki kebiasaan jika sedang ada sesuatu yang membuatnya resah, tangan akan menggerak-gerakan dua jari, mengetuk-ngetuk apa pun yang ia raih. Seperti sekarang, mengetuk-ngetuk kemudinya. Sampai ia tiba depan gerbang rumah Lais, yang terbuka otomatis ketika penjaga mengenalinya. Lea menatap layar, kamera menunjukkan belakang mobilnya, bertepatan sebuah motor ada di belakangnya, kemudian maju dan berhenti di depannya. Mendapati Lea yang tidak juga maju, Hamish menaikkan kaca helm full face yang dikenakan. Lea masih terdiam, sampai menimbulkan keheranan. Hamish mengetuk kaca mobil tepat di sisinya, Lea perlahan menurunkan. “Kenapa? Tidak pernah lihat pria ganteng naik motor?” Tegurnya setengah percaya diri, Lea sampai memutar bola matanya. Hamish mengedikan bahu, menutup kembali kaca helm, lalu motor kembali melaju, mobil Lea di belakangnya. Lea keluar dan Hamish turun dari motor, melepas helm yang membuat rambutnya berantakan. Dia menyisir asal sambil mengaca pada spion motornya. Lea tahu pria itu lebih suka mengendarai motor jika sedang sendiri. “Bunda, Ayah dan Halim sudah di dalam, Oh Lou juga ada.” Beritahu Hamish. “Kapan mereka sampai?” “Jam tiga sore tadi, lebih cepat karena Ayah akan menyusul pertemuan.” “Oh bareng Papa?” Hamish mengangguk, “sepertinya.” Mereka berjalan bersama masuk rumah. Disambut seorang pekerja. Dari langkah mereka yang semakin dekat dengan ruang keluarga, terdengar obrolan seru. Rumah kembali hangat setelah Amira dan Kaflin pulang. “Kalian datang bersama?” tanya Amira melangkah mendekati. Hamish sudah membentangkan tangan, “tidak, bertemu di depan—Bunda, kok Lea duluan, aku udah effort lebih nih buat dipeluk!” protesnya saat Amira melewati dirinya. Malah lebih dulu memeluk Lea. “Apa kabar sayang? Maaf ya Aunty tinggal lama.” Amira tidak menanggapi gerutuan sang putra. “Baik, Aunty juga terlihat baik. Syukurlah. Semua teratasi kok, termasuk si anak Bunda itu.” Lirik Lea pada Hamish. Amira terkekeh, mengusap pipi Lea dengan jenis tatapan lembut dan membuat Lea seperti berhadapan dengan Mama sendiri. “Aunty kan udah bilang kalau Hamish menyebalkan, tarik saja telinganya.” Lea tersenyum kian lebar, kemudian saat Amira menghela napas dalam bersamaan ekspresi yang berubah sendu, Lea kembali memeluknya, “memang sulit menerima kehilangan orang tercinta,” “Ya, tapi hidup terus berjalan,” Amira menyeka air matanya, kini ia tidak lagi memiliki orang tua setelah ibunya tiada, “terima kasih sudah menguatkan dengan pelukan penuh arti.” Lea melepaskan pelukan sampai Hamish muncul dan berganti merangkul ibunya. Amira memeluk putranya, memerhatikan wajah sang putra. “Kamu juga terlihat sehat,” Hamish malah memasang wajah mengeluh, “selama Bunda tidak di rumah, tidak ada yang memerhatikan diriku.” Kaflin lalu muncul menarik Amira, merangkulnya posesif, “itu artinya kamu perlu pasangan, untuk mengurusmu. Bunda tidak selalu bisa bersamamu, terutama saat Ayah ada di rumah.” Hamish menatap ayahnya. Amira tersenyum dapati sang suami ikut menjahili Hamish. “Sudah, sudah... sebaiknya kalian bersihkan diri, bersiap untuk makan malam bersama. Aurora dan Zayan akan bergabung juga.” Beritahu Amira pada Lea dan Hamish. Mereka kompak mengangguk, sebelum pergi ke kamar masing-masing, sempatkan diri menghampiri Halim dan Lou yang ada di sana juga. “Nanti kita bicara,” Halim bicara pada Lea. Menarik atensi Hamish dan Lou sendiri. Lea memberi jenis senyum yang jarang diberikan pada Hamish, “ya, Halim. Banyak yang ingin kudiskusikan denganmu,” Kemudian dia melangkah, menaiki tangga ke lantai dua. Hamish berjalan di belakangnya, “pasti senang, orang yang kamu tunggu sudah di rumah ini.” Lea sampai berhenti berjalan secara mendadak, membuat Hamish hampir menabraknya. Lea berbalik, menghadapnya. Satu tangga di atasnya yang membuat ia lebih tinggi. “Apa maksudmu Halim?” tanyanya sambil bersedekap. “Ya,” “Oh tentu, karena Halim lebih baik darimu. Dia tidak pernah bersikap menyebalkan kepadaku, bicara dengannya pun sangat menyenangkan.” Hamish hanya mendengkus dan melewatinya. Jadi dia yang ambil langkah di depan Lea. Sejak dulu, Lea memang lebih dekat dengan Halim, terutama karena mereka sama-sama dokter. Halim mengambil spesialis kardiologi di Jerman. Sudah di tahun terakhir, ia akan segera selesai dan kembali ke Jakarta. Lea membersihkan diri, saat berendam dalam bathtub pun ia kembali memikirkan. Tapi, Giyan dan Inez memintanya tidak mempertanyakan pada Hamish. Selain privasi, ada perasaan sensitive pada pasien yang harus mendatangi dokter Andrologi. “Hamish pasti tidak akan mau menjawabku, dia selalu pakai emosi jika tersinggung sedikit saja. Sebaiknya aku lupakan,” Lea tidak mau cari masalah dengan pria itu. *** Saat makan malam tiba, kursi di ruang makan itu hampir penuh dengan seluruh keluarga yang berkumpul, termasuk keluarga Kakak dari Kaflin yang berkunjung, membuat suasana hangat kembali, mereka melakukannya karena saling peduli dan mendukung, terutama setelah satu kehilangan berat yang harus di hadapi Amira dan Kaflin. Lea duduk bersebelahan dengan Halim dan Amira. Sementara di hadapannya bertepatan dengan Hamish yang duduk di sebelah Aric serta Vanya. Beberapa kali Lea lebih banyak menatap Hamish. Rasanya sulit percaya, pria penuh percaya diri, berpenampilan nyaris sempurna tanpa cacat, mempunyai satu hal yang ia sembunyikan. Lihat saat ia tertawa seperti sekarang, lepas seolah tidak ada beban. ‘Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan, Hamish? Apa semua yang terlihat hanya caramu menutupi sesuatu dari semua orang?’ Batin Lea. “Lea…” Kaflin memanggil putri dari temannya itu, semua orang terpusat padanya terutama saat Lea seperti hanya fokus pada satu orang. Yaitu Hamish. Hamish juga menatap lurus, balas tatapan Lea dengan ekspresi penuh tanya. Lea tersentak saat Halim menyentuh tangannya. “Lea, sayang… ada apa?” pun Amira bertanya lembut juga. Lea menoleh bingung. “Ya, Aunty?” tanyanya. “Itu Uncle tadi bertanya padamu,” Kaflin menjelaskan. “Oh, sorry Uncle. Aku tadi tidak fokus.” “Kenapa?” Lea menghela napas, “bukan sesuatu yang berat kok, hanya pekerjaan saja.” Kaflin mengangguk, “Uncle sudah dengar, satu pasienmu yang berusia dua tahun tiada beberapa jam setelah operasi. Operasi kalian berjalan lancar, yang terjadi di luar kuasa kita sebagai dokter. Terpenting kamu dan tim sudah lakukan yang terbaik.” “Hm, ya.” Angguk Lea. Sejujurnya bukan itu alasan ia tidak fokus. Namun, Lea tidak mungkin mengatakan jika ia sedang memikirkan Hamish dan memerhatikannya. Kaflin tentu saja percaya, tapi tidak dengan Hamish. Beberapa kali menangkap Lea terus memandanginya. Seolah ada yang wanita itu sedang pertimbangkan. Hamish mengerjainya dengan balas menatap, menyeringai. Lea lalu berpaling, tetap tenang. “Renovasi tempat yang akan Lea tinggali sudah hampir sembilan puluh persen, Uncle. Vanya memastikan selesai tepat waktu.” Vanya menjawab pertanyaan Kaflin yang ingin tahu sejauh apa renovasi tempat tinggal Lea nanti. Sebuah penthouse yang sebelumnya milik Kaflin. Lea tertarik, Putra membayarnya untuk sang putri. Kaflin tidak akan melepasnya jika bukan karena Lea yang ingin. “Jangan cepat selesai,” ujar Amira, Lea menoleh. “Nanti Lea cepat meninggalkan rumah ini.” “Aunty, Lea akan sering main ke sini kok nanti pas sedang bisa.” “Harus, atau Aunty yang jemput kamu nanti ke rumah sakit,” angguk Amira. Semua orang di meja itu tahu Amira menganggap Lea sudah seperti putrinya sendiri. Lea tersenyum dan mengangguk. Semua anggota Lais menerimanya dengan baik, terlepas dari sikap Hamish yang kadang menyebalkan tapi tetap bertanggung jawab menjaganya. Selama tinggal di rumah Lais ini, Lea kembali merasakan rumah sebenarnya. Seharunya seperti inilah arti keluarga, dan suasana rumah. Bukan karena rumah besar dan mewah, keluarga Lais kaya raya, tapi yang Lea maksud adalah kompak, kehangatan dan kasih sayang mereka, jarang ada di luar sana. Bahkan keluarga Rajata, keluarga ayahnya sendiri sangat dingin. Di tambah krisis keturunan, sebab Putra tidak pernah menikah dan hanya Lea putrinya, yang akan meneruskan Rajata. Setelah makan malam, semua orang lanjut berbincang sambil menikmati beberapa makanan khas Semarang yang Amira bawa. Sementara Kaflin sudah bersiap-siap untuk pergi ke Bandara. Lea lebih memilih tidak bergabung, dia berjalan ke halaman belakang rumah. Suka duduk di sebuah gazebo yang tepat di bawahnya ada sebuah kolam ikan KOI. Informasi yang Lea dapat, bagian ini dipertahankan tetap sama berpuluh tahun lamanya. Hanya ada beberapa renovasi. Lea berdiri dan menatap ikan-ikan dalam kolam yang tenang. Sampai ia melihat Halim berjalan ke arahnya dan bergabung di sana. “Sudah aku duga kamu di sini,” katanya dan berdiri tepat di depan Lea. Lea tersenyum, “tempatnya tenang.” “Ya, di sini favorit semua orang terutama Ayah dan Bunda.” Lea mendapat teman seimbang dalam berbincang, sampai tidak menyadari dari jauh ada dua pasang mata yang memerhatikan. Dia adalah Lou, tunangan Halim lalu disusul Hamish. “Apa memang Lea dan Halim dekat?” tanya Lou pada Hamish. “Ya, di banding denganku. Lea memang lebih dekat dengan Halim. Lou menatap Hamish, “itu artinya aku harus khawatir pada kedekatan mereka?” Hamish tidak menatapnya, fokus pada Lea dan Halim yang amat serius berbincang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN