Lea suka sekali dengan hasil renovasinya. Belum seratus persen, tapi sudah menunjukkan akhir yang sempurna sesuai harapannya. Terutama di bagian Walk in kloset. Dia bisa menata tas dan barang-barang koleksi pribadinya.
“Kamu memilih kaca yang gelap untuk lemari-lemari di sini.”
“Masalahnya aku tidak suka melihat sesuatu tidak tertata dengan baik, jadi kaca gelap menyamarkan isi lemari ini nanti. Jika aku sedang benar-benar malas merapikan, belum sempat.”
Vanya mendekat, bawa sebuah remote khusus hingga lampu dalam kemari itu hidup, “saat lampunya dinyalakan seperti ini, jadi terlihat jelas. Apa ada yang kurang? Mau kamu tambah sesuatu?”
“Udah sesuai, kita lihat yang lain.”
“Oke,” angguk Vanya. Lanjut ke kamar yang nantinya akan ditempati Putra saat di Jakarta.
Lea memeriksa semuanya, “kamar kedua, seperti keinginan Papa, kan?”
“Ya, aku sudah mendapat deal dari Om Putra. Satu kamar tamu pun sudah siap, mau lihat?”
“Boleh,”
Mereka menuruni tangga menuju satu kamar di lantai dasar. Kamar tamu yang lega. “Mama dan adikku bisa menempati kamar di sini saat berkunjung.”
Atau Lea berharap mereka menjadi keluarga utuh, Papa dan Mama bersatu. Walau kemungkinan doanya terkabul hanya nol koma satu persen, Lea tidak akan berhenti menaikkan doa-doanya ke atas langit. Berharap Sang Pencipta mengamini.
Sudah memeriksa kamar tamu, Vanya menunjukkan taman kecil di Balkon utama. Kamar Lea tidak memiliki balkon.
“Jadi mau ayunan aja nanti di sini? Tidak jadi kursi malas?”
“Masih galau, tapi kayaknya mending sofa santai gitu,” angguk Lea pada akhirnya.
“Dua hari lagi di kirim,” beberapa furniture memang ada yang custome. Menyesuaikan dengan ukuran diletakannya. Lea selalu mengingatkan, tetap ingin tertata rapi dan tidak memakan tempat agar terlihat lega dan nyaman. Jika diisi dengan barang tidak sesuai, terasa sesak melihatnya.
Mereka berdua masih di sana, duduk di atas kursi bar.
“Aku senang renovasinya tidak molor dari waktu yang sudah kita perkirakan, malam ini satu hari lebih cepat. Pengecatan dan pemasangan beberapa desain dinding sudah selesai. “Kamu tahu banyak detail tentang desain dan interior, dari mana?” takjub Vanya.
“Belajar aja, suka lihat-lihat artikel di internet terus tanya Mama. Agar pas Mama nanti datang, nyaman seperti di rumah sendiri.”
Vanya tahu sedikit banyak tentang kehidupan orang tua Lea.
“Habis ini ke mana?” tanya Vanya.
Lea mempertimbangkan, “pulang masih terlalu siang, aku sepertinya akan jalan-jalan. Menonton film atau apa pun.”
“Sendiri?”
“Ya,” angguk Lea, “apa terlihat aneh?”
Vanya menggelengkan kepala, “tidak, aku dulu saat tinggal di Italia pun sering melakukan apa pun sendiri. Menonton film, datang ke konser musik. Tidak ada yang salah apalagi aneh dan menyedihkan dengan seorang yang mau menikmati sesuatu untuk dirinya sendiri. Tetap bisa menikmati, justru lebih lepas.”
“Benar, aku juga tidak peduli sama anggapan orang sebenarnya.”
“Ikut lunch denganku saja, setelah itu baru pergi.”
“Oke, aku ikut lunch denganmu.”
Lea memeriksa ponsel, pesan dari Inez jika suaminya belum juga menceritakan tentang masalah Hamish. Tetap, bersikeras untuk menyimpan privasi pasiennya.
[Jangan memaksa dokter Giyan, Nez. Biarkan saja, terima kasih ya sudah mau membantuku.] Lea mengirim pesan tersebut.
“Lea, kita pergi lunch sekarang?”
“Jauh dari sini?”
“Hanya lima belas menit, aku nebeng denganmu ya? Aric kuminta untuk menunggu di sana saja.”
“Ya,”
Sebelum pergi, Lea menunggu Vanya yang bicara dengan tukang di sana. Memberi instruksi detail agar tidak terlewat. Barulah mereka pergi ke tempat selanjutnya. Sebuah resto tidak jauh dari tempat pertama.
“Vanya,” Lea terpikirkan sesuatu, ia juga tahu Vanya teman kecil Aric dan cukup mengenal baik Hamish lebih baik darinya.
“Ya, Lea?”
“Kamu kenal, dekat dengan Arrayan?”
“Arrayan Hutama? Oh, iya. Tentu saja.” angguk Vanya, “ada apa?”
“Dia sudah dekat dengan Hamish dan Aric sejak lama?”
“Ya, ditambah pernikahan dua keluarga ini. Lais dan Hutama, jadi kerabat dekat.”
“Rayan, seperti Hamish juga, Playboy?”
“Tidak, justru aku jarang melihatnya bersama wanita—”
“Tapi, normalkan?”
“Hah?” Vanya bingung dengan pertanyaan dan arah pembicaraan Lea.
“Seksualitasnya, tertarik dengan perempuan.” Lea mengatakannya dengan tenang, “jangan salah paham, tadi pagi Aunty bilang sempat berpikir jika Hamish lebih sering bersama Rayan. Sampai-sampai berpikir mungkin mereka menjalin hubungan sejenis Bromance gitu.”
Vanya tergelak begitu lepas, “OMG! Aunty masa berpikir ke sana? mana mungkin Rayan dan Hamish.”
“Aku juga berpikir tidak mungkin, tapi tetap perlu diluruskan dengan pendapatmu.”
“Tidak, kujamin. Keduanya lebih suka perempuan. Mereka sangat normal.”
Tentu Vanya mengatakan itu, sebab tidak tahu jika Hamish pernah pergi konsultasi ke dokter Adrologi.
“Kamu sangat yakin?”
“Tentu, terutama Hamish. Tidak terhitung mantan kekasihnya, kamu ingat saat kita bertemu Hamish yang makan siang bersama pegawai Lais? Esok harinya yang Hamish gandeng ke suatu acara, beda wanita.”
“Jika ada penghargaan di Oscar kategori Playboy sepertinya dia akan memenangkannya.”
Vanya kembali tergelak, “dia hanya belum menemukan seseorang yang tepat, membuat ia mau menetap pada satu hati saja. Keturunan Lais semua menganut setia dan bucin berat jika sudah menikah walau banyak tingkah saat masih lajang. Makanya aku tidak sama sekali cemas Aric akan selingkuh, meski kutahu masa lalunya yang sebelas-dua belas dengan Hamish sekarang.”
Vanya menatap Lea dengan lekat-lekat. Lea menoleh dan tidak mengatakan apa pun lagi sampai mereka sampai di resto yang dituju.
Cukup sulit mencari ruang parkir, di sana sangat penuh dan padat karena bertepatan jam makan siang.
“Ayo, Lea! Mereka di lantai atas.”
“Mereka?” tanya Lea sambil memelankan langkah.
“Ya, Aric tidak sendiri. Tapi, ada Hamish dan Halim.”
Lea sedikit lega mendengarnya jika ada Halim di sana, tidak hanya Hamish atau mungkin ia bisa membatalkan untuk lunch di sana.
“Artinya Aunty di rumah sendiri?”
“Aunty pergi ke satu acara sama Mommy Anna,”
“Oh, aku baru tahu. Tadi pagi Aunty tidak mengatakan itu.”
Mereka melangkah, menaiki tangga menuju lantai dua. Dari posisinya, Lea meliat di meja hanya ada Aric dan Hamish. Entah di mana Halim.
Mereka berdua berbicara teramat seru, lebih tepatnya Hamish yang bicara sendiri, Aric hanya mendengarkan. Sesuatu yang membuat raut wajah Lea berubah begitu juga Vanya memberi kode pada Aric untuk menghentikan mulut Hamish. Namun, terlambat Lea sudah terlanjur mendengar semuanya.
Hamish dalam bahaya terutama saat Lea begitu saja melangkah dan melakukan sesuatu yang membuat semua tercengang. Hamish berdiri, saling tatap dengan situasi yang tegang. Vanya dan Aric bingung harus melerai mereka, satu yang pasti, bagi Vanya pun yang Lea lakukan tepat. Hamish pantas mendapatkan itu.
***
Beberapa menit sebelumnya...
“Aku ke toilet dulu,” Halim berdiri. Meninggalkan Hamish berdua dengan Aric.
Hamish menatap kembarannya yang menjauh, “aku sedang mencemaskan sesuatu sekarang.” Ujarnya tiba-tiba.
Aric sedang memeriksa pesan dari Vanya yang mengatakan jika Lea akan ikut lunch bersama mereka. Aric tidak mengatakan pada si kembar tentang tambahan orang di lunch mereka.
“Kenapa? Masih Lea?”
“Ya, sekarang bukan karena sikap perfeksionis, kaku dan mulut berbisanya. Tapi, kedekatannya dengan Halim.”
“Hah? Kedekatan dengan Halim?”
Hamish mengangguk, Aric mulai tertarik.
“Sejak dulu, Lea memang lebih dekat dengan Halim. Aku merasa jika Lea menyukai Halim. Semenjak Halim di rumah, mereka dekat. Bersepeda bersama. ngobrol setiap ada kesempatan, selain pagi tadi duduk sangat dekat, Lea menempel terus dengannya.”
“Mana mungkin Lea begitu, Halim juga pasti hanya menghormati Lea. Menganggap sudah seperti saudarinya. Halim mencintai Lou, perjuangan untuk pacaran lama sekali, tidak mudah. Kurasa itu hanya pikiranmu saja.” Aric lebih waras dibanding sepupunya itu.
Hamish mendengkus. Seorang pelayan mengantarkan minuman dingin pesanannya.
“Aku serius, yakin. Halim mungkin cinta sama Lou, tapi Lea… aku harus berhati-hati dengannya. Wanita pintar seperti dirinya tetap saja bisa memakai berbagai cara untuk mendapatkan pria yang dia suka, meski harus jadi orang ketiga. Oh bahkan Lea selalu memakai baju ketat, dan terbuka sejak ada Halim di rumah. Pasti dia menggunakan kelemahan laki-laki dengan tubuh—”
“Hamish…”
“Aku belum selesai bicara, sebelum Halim datang.”
“Kurasa bukan Halim, tapi Lea—”
BYURR!!!
Hamish baru mendongak, menyadari kehadiran Lea tetapi detik yang sama minuman penuh dalam gelasnya berpindah mengguyur wajahnya sampai ia kesulitan bernapas.
Hamish terkesiap, dia berdiri dan berhadapan dengan Lea, “apa yang kamu lakukan, huh—”
Lea meletakan gelas itu begitu saja. Keributan itu mengundang semua atensi pengunjung. Vanya mendekat, coba memegangi Lea.
Tatapan Lea begitu tajam juga kecewa.
“Kamu sudah gila! Menyiramku dengan minuman milikku!” Basah, dingin dan lengket.
“Kamu pantas, agar pikiran busukmu itu enyah!” Lea membalas, kehilangan kendali diri untuk tenang seperti biasa, “pria macam apa dirimu, Hamish? Berpikir sangat buruk tentangku, menggoda Halim, kamu beropini begitu hanya karena kami dekat?”
“Aku tidak buta, Lea! Aku melihat semuanya saat kamu selalu mendekati Halim—”
“Hamish! Hamish cukup!” Bukan Lea, melainkan Halim yang mendekat. ia menatap marah pada kembarannya.
Lea melangkah mundur, Vanya coba menghentikan. Tetapi, Lea tetap ingin pergi, “Maafkan atas perbuatanku yang mengacaukan lunch kalian, Vanya. Aku tidak tahan berada di sini, menatap wajahnya!”
Lea berbalik dan berlari dari sana.