“Assalamu’alaikum, Kelana,” ucap sebuah suara yang saat ini terdengar merdu ditelinganya.
“Wa’alaikumssalam,” jawab Kelana menoleh dan melihat pria yang bernama Adnan itu sedang tersenyum dan menatapnya. “Bang Adnan?”
“Iya. Ini saya. Kabarmu bagaimana?”
“Saya baik, Bang.” Kelana tersenyum dan menunduk sesaat, ia harus ingat bahwa Adnan pun bukan mahromnya, jadi ia tidak boleh seperti itu.
"Alhamdulillah." Adnan tersenyum dan mengangguk.
Wanita idamannya adalah Kelana, terkadang jantungnya labil sekali ketika berdua begini, seraya mengobrol. Ingin rasanya Adnan menyatakan perasaannya. Namun, ia tak boleh gegabah, ia harus membuat Kelana nyaman dulu, setelah itu ia bisa memutuskan untuk menyatakan perasaan atau hanya menjadi teman.
"Bang Adnan ngapain di sini?" tanya Kelana.
"Saya lagi ada urusan di sini."
"Oh iya maaf kalau bertanya, soalnya kan setahu saya bang Adnan ngajar di pesantren." Kelana tersenyum tak enak.
"Oh begitu ya, saya memang mengajar di pesantren, tapi saya juga sebagai pengelolahnya di sana, kebetulan pondok itu milik Abih saya."
"Saya baru tahu kalau orang tua Bang Adnan yang punya pondok itu."
"Apa Abangmu nggak pernah memberitahumu?"
"Nggak pernah, saya juga nggak pernah nanya."
"Saya tahu kalau kamu kerja di sini."
"Pasti Bang Malik yang memberitahu Bang Adnan, 'kan?"
"Iya abangmu yang memberi tahu, tapi jangan salah paham ya kalau kita ketemu di sini, saya benar-benar ada urusan di sini." Adnan tak enak hati.
"Iya, Bang. Nggak mungkin kan Bang Adnan punya waktu untuk itu."
"Sekali-kali jalan-jalan ya ke pondok, nanti saya ajak keliling."
"Iya, Bang. Insya Allah." Kelana mengangguk.
"Kamu mau pulang?" tanya Adnan.
"Iya. Ini lagi tunggu Bang Malik jemput," jawab Kelana lagi. "Bang Adnan mau pulang juga?"
Dari kejauhan, Panji melihat Kelana dan seorang pria sedang berbincang. Panji tidak pernah melihat pria itu sebelumnya dan pria itu pasti bukan salah satu karyawan di perusahaan ini, andaikan saja salah satu karyawan sudah pasti Panji mengenalnya.
Kelana juga terlihat akrab dan tidak menjaga jarak yang biasanya dilakukan Kelana kepadanya. ada rasa cemburu di hati Panji karena Kelana begitu senang mengobrol dengan pria itu, jika dilihat-lihat pria itu cukup tampan, tapi tak ada yang mengalahkan ketampanannya. Ia adalah playboy di kota ini, dan ia terkenal dengan ketampanannya.
Kelana menoleh sesaat dan melihat Panji yang saat ini melihatnya. Panji terlihat marah dan kesal.
(Tak mungkin dia sedang cemburu, 'kan? Kenapa tatapannya seperti itu?) Kelana membatin dan kembali mendongak melihat Adnan.
Kelana mendapatkan pesan dari abangnya, bahwa Adnan sedang di tempatnya bekerja, jadi Adnan yang akan mengantarkannya pulang. Adnan yang akan membawa Kelana kembali ke rumah, karena Malik masih ada kajian yang harus dihadiri.
Kelana bingung dan tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Adnan tentang hal ini.
"Ada apa, Kelana?" tanya Adnan tersenyum menatap gadis itu.
"Bang Malik gak bisa jemput, Bang," jawab Kelana mengelus leher belakangnya yang ditutupi hijab.
"Kebetulan juga abangmu baru telepon, katanya menyuruh saya antar kamu pulang," kata Adnan.
"Apa tidak merepotkan, Bang?" tanya Kelana mendongak menatap Adnan sesaat. "Saya tidak enak kalau merepotkan."
"Tidak akan merepotkan kok. Karena kan kita searah juga." Adnan menggeleng.
Kelana menoleh melihat Panji yang masih menatapnya. Kelana tak enak pada Panji, entah mengapa hatinya malah menjaga perasaan Panji.
"Kelana, kamu kenal dia?" tanya Adnan menyadari lirikan Kelana sejak tadi.
"Hem?"
"Kamu mengenal pria itu? Soalnya sejak tadi dia lihat kita dan kamu juga sering melirik." Adnan memperjelas dengan tatapannya yang sama pada Panji.
"Dia bukan siapa-siapa. Hanya teman kantor. Ayo kita pulang," ajak Kelana lalu melangkah meninggalkan loby.
"KELANA!" teriak Iza yang datang dan langsung mengantarnya. "Kamu mau kemana?"
"Aku mau pulang. Kamu mau pulang juga?" tanya Kelana.
"Lah yo pasti aku mau pulang. Kan sudah jam pulang." Iza terkekeh lalu menoleh sesaat dan melihat Adnan berjalan disamping Kelana. "Dia siapa? Pacarmu?"
Kelana menggeleng. "Aku mana boleh pacaran, Iz. Dia temannya Bang Malik," jawab Kelana.
"Loh kok tampan?" bisik Iza dan menoleh sesaat tersenyum.
"Hush. Kamu jangan ngomong gitu dan jaga pandanganmu. Dia bukan mahrommu," geleng Kelana dan mereka sudah sampai didepan gedung kantor.
"Pasti dia kan yang sering diomongi Bang Malik yang mau dijodohin sama kamu?" tanya Iza masih dengan suara pelan.
"Udah ah. Gak usah dibahas. Gak enak kalau kedengaran. Entar dikira gimana-gimana." Kelana berusaha menghentikan pembahasan Iza.
"Kalau dia ya, kamu harus mau. Kan dia itu tampan, tinggi, putih, kayaknya sholeh juga. Persis kamu, 'kan? Jadi, gak akan kemana-mana deh. Kalian pasti jodoh." Iza terus merocos, membuat Kelana tak bisa menyembunyikan hal itu karena suara Iza cukup nyaring jadi Adnan mendengarnya.
"Aku ambil mobil dulu," kata Adnan.
Kelana mengangguk dan melihat Adnan yang pergi menuju parkiran. Kelana menggeleng dan menoleh melihat Iza yang saat ini masih merocos. "Apaan sih, Iz? Kamu membuatku malu."
"Udah ahh. Terima aja. Wong tampan begitu, kamu gak boleh nolak pokoknya. Dia itu nanti diambil orang, pasti dia populer, dan dia pasti bisa bimbing kamu. Kan dulu kamu ngomong ke aku kalau kamu pengen jodoh yang bisa bimbing kamu ke jalan Allah. Dan, kayaknya dia itu cocok deh dengan kriteria kamu." Iza masih berusaha meyakinkan Kelana, namun sayangnya Kelana tidak memiliki perasaan apa pun pada Adnan. Ia menganggap Adnan sama seperti Abangnya.
"Udah, Iza. Gak usah dibahas ya. Gak enak kalau kedengaran." Kelana menggeleng dan berusaha menghentikan omongan sahabatnya itu.
"Dia itu namanya siapa tadi, Lan?" tanya Iza.
"Adnan."
"Nah Bang Adnan, 'kan?" seru Iza.
Sesaat kemudian, terdengar suara klakson. Adnan sudah ada didepannya membawa mobilnya. Adnan menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangan kepada Kelana.
"Udah ya. Kamu bareng aja sama kami pulangnya," tarik Kelana.
"Eh gak mau ah. Kamu ini apaan sih," geleng Iza masih berusaha menolak Kelana.
"Kamu sahabat aku, 'kan? Kamu harus mau. Jangan menolak. Aku mohon," lirih Kelana karena ia tidak mau berduaan dengan Adnan. Ia harus menghindari pembahasan perjodohan itu.
"Apaans ih, Lan? Kamu kenapa?"
"Udah nanti aku jelasin. Kamu ikut kami saja pulangnya, kan kamu lebih dulu rumahnya dibandingkan kami. Jadi, gak masalah. Kamu kan harus hemat ongkos juga," kata Kelana memaksa Iza untuk masuk ke mobil, Iza tak bisa menolak permintaan Kelana dan masuk ke mobil.
"Ini gak apa-apa kan aku ikut pulang?" tanya Iza tak enak pada Adnan.
"Gak apa-apa lagi. Kita searah, 'kan?" tanya Adnan.
"Iya. Kita searah," jawab Iza tetap tak enak hati.
Kelana lalu duduk didepan dekat kemudi, Kelana menoleh sesaat dan melihat Panji yang masih menatapnya. Tatapan Panji penuh arti. Dan, membuat Kelana tak enak.