Bab.3. Keluarga baru Nadin

2041 Kata
Nadin pun berjalan mengikuti orang tua angkatnya. Namun, sesekali dia tetap menatap sahabatnya. Dia pun ikut masuk ke dalam mobil dan bubug berdampingan dengan Ibu Dian sebagai mamanya saat ini. “Nadin sayang, kenapa merenung? Kita sesekali bakal ke sini,kok,” ujar Ibu Dian. Nadin pun menatap Bu Dian sembari tersenyum, lalu berkata,”Beneran, Bu?” “Iya sayang, panggil ibu dengan sebutan Mama, ya. Dan Bapak sebagai sebutan Papa,” ujar Bu Dian sembari menunjuk ke suaminya. “Mama? Papa?” ujar Nadin, sembari menatap orang tua angkatnya secara bergantian. “Iya, Nak. Sebenarnya saya sudah tahu kamu sejak lama. Tetapi sengaja baru hari ini memberanikan diri untuk bilang adobsi kamu. Maaf jika Mama dan Papa harus mengintai kamu agar tahu kepribadian kamu. Kamu anak yang baik, cerdas bahkan ramah ke siapa pun,” ujar Ibu Dian. Nadin pun mencoba mengingat sesuatu, sebab dari awal ke sana dia merasa tidak asing dengan wajah kedua orang tersebut. Ternyata saat itu, Ibu Dian menyadarinya. “Memikirkan apa, Nak?” tanya Ibu Dian. “Apa ibu yang waktu itu cincinnya terjatuh di depan sekolan saya, ya?” Nadin mencoba memastikan. Ibu Dian pun menganggukkan kepala, untuk mengiyakan pertanyaan Nadin. *** Waktu itu, saat pulang sekolah seperti biasa Candra dan Nadin harus menunggu mobil angkot lewat untu membawanya pulang. Namun, saat mereka menungg, tepat di seberang jalan ada seorang wanita yang terlihat mencari sesuatu. Nadin pun berinisiatif untuk mengajak Candra untuk menolongnya. “Candra, lihat de. Sepertinya Ibu itu sedang mencari sesuatu, bantu, yuk,” ajak Nadin. “Nggak mau! Kamu saja sana,” jawab Candra. Setelah mendengar jawaban Candra, Nadin pun memutuskan untuk membantu wanita itu sebelum mobil angkot datang. Dia berjalan menyeberang jalan untuk menhampiri wanita itu. “Permisi, Bu. Boleh saya bantu? Sedang cari apa?” tanya Nadin. Wanita itu adalah Ibu Dian, beliau menoleh ke arah Nadin lalu berkata, “Ini, Nak. Cincin saja tadi terjatuh di daerah sini, saat masukin uang ke dalam tas. Tapi saya cari kok nggak ketemu, ya.” Nadin pun mencoba mencari hingga cukup lama Candra pun berteriak memanggilnya, “Nad, kamu pulang nggak, sih. Rept amat ngebantu orang, aku tinggal pulang.” Nadin pun menoleh ke arah Candra, yang mana ternyata mobil angkot sudah datang. Lalu, dia berpamitan ke wanita itu, “ Bu, maaf saya harus pulang. Saya pulang dulu, ya.” Nadin pun bersalaman dulu sebelum meninggalkan Ibu dian kala itu. “Dek, rumah kamu mana?” tanya Ibu Dian. “Saya tinggal di panti asuhan kasih ibu, Bu,” jawab Nadin. Kemudian Nadin segera berlari memasuki mobil angkot. Mulai sejak itu, Ibu Dian mulai tertarik dengan anak itu. Kebetulan dia menikah sudah mempunyai anak, namun harus meninggal karena sakit. Mungkin jika anak beliau hidup mungkin juga seusia Nadin saat ini. Dia menyuruh orang untuk mengawasi Nadin hanya untuk mengetahui di panti asuhan sebagai anak di sana atau anak pemilik panti asuhan itu. Ternyata mereka mengetahui jika Nadin anak asuh yang tinggal di sana. Bu Dian pun berembuk ke suaminya untuk mengadopsi anak itu, awalnya suami Ibu Dian menolaknya. Namun dengan bujukan Bu Dian akhirnya suaminya menyetujui dengan syarat harus mengetahui sifat dan tingkah lakunya. Sehingga mereka berdua pun membayar orang hanya untuk mengetes dan mengetahui sifat Nadin yang sesungguhnya. Setelah mereka tahu Nadin anak yang baik, akhirnya mereka pun memutuskan untuk mengadobsinya. Hari ini mereka pun membawanya pulang ke rumah mereka. *** Sesampainya di rumah barunya, Nadin tercengang melihat bangunan yang besar di depan mata. Dia pun terperangah karena merasa kagum. “ Ini rumah Ibu dan Bapak? Eh, Mama dan Papa?” tanya Nadin. “Iya sayang, ini rumah kamu juga. Kami harap kamu kerasan, ya?” ujar Pak Aska. Mereka pun segera mengajak Nadin untuk masuk ke dalam rumah. Di dalam dia tak kalah kagum lagi, ruangan yang begitu luas, hiasan dan perlengkapan tertata begitu rapi. Lagi-lagi dia terperangah dan tak sengaja matanya pun berkeliling untuk menjangkau semua yang dapat ia lihat. “ Ma, apa aku pantas jadi anak kalian? Aku takut, buat kalian malu,” ujar Nadin merasa minder dengan keadaanya. “Kenapa harus malu? Kamu anak yang baik, sopan dan ramah. Kami bangga memiliki anak seperti kamu. Jangan pernah menganggap kami sebagai orang tua angkat, tetapi anggap saja kami orang tua kandungmu,” ujar Bu Dian sembari mengelus kepala Nadin. “Boleh nggak aku peluk kalian? Selama ini aku nggak pernah tahu rasanya di peluk mama dan papaku sendiri,” ujar Nadin sembari menunndukan kepala. Ibu Dian pun memegang dagu Nadin untuk melihatnya, lalu segera menganggukkan kepala. “Boleh sayang,” ujar Bu Dian sembari merentangkan tangan. Nadin pun memeluknya, kemudian Pak Aska pun iku memeluk mereka berdua. Sebenarnya dalam hati Pak Aska dan Bu Dian juga kangen terhadap anaknya, dengan adanya Nadin dapat mengobati rasa kangen itu saat ini. Setelah itu, Bu Dian segera menunjukkan kamar Nadin yang terletak di lantai dua rumahnya. Kamar itu jauh-jauh hari sengaja sudah di desain serba pink untuk menyambut Nadin. Bu Dian pun membuka pintu, terlihat cat dinding di kamarnya berwarna pink dan terdapat gambar hello kity di sana, kasur berseprei pink dan gorden berwarna pink. “Masuklah, Nak. Ini kamar kamu, semoga suka. Jika nggak suka warnanya bisa kita ganti, kok,” ujar Bu Dian. Nadin pun yang merasa bahagia segera memeluk mamanya dengan erat, dia berkata, “Makasih ya, Ma. Bagus banget, aku suka.” “Beneran kamu suka?” tanya mamanya mencoba memastikan. Nadin pun melepaskan pelukannya, kemudian mengangguk sembari menatap mamanya. Nadin pun segera masuk dan segera duduk di bibir kasur. Dia tak henti-hentinya tersenyum. Dia merasa beruntung mempunyai papa dan mama angkat tak hanya baik hati, namun juga perhatian dan kaya raya. “Ma, aku punya kamar bagus, luas. Bagaimana dengan Candra? Apa dia juga akan merasakan hal yang sama sepertiku?” tanya Nadin. Ibu Dian pun segera ikut duduk di samping Nadin, kemudian kembali mengelus kepalanya semari berkata, “Kenapa kamu malah memikirkan dia? Sedangkan kamu tahu, bagaimana tadi dia memperlakukan kamu, bahkan sampai memfitnah kamu.” “Dia sahabatku dari kecil, Ma. Sudah kuanggap saudaraku sendiri, jujur kadang sakit lihat sikap dia tetapi aku sangat menyayanginya,” jawa Nadin. “Kamu anak yang baik, Nak. Kami nggak salah memilih kamu, berdoa saja semoga Candra mendapat orang tua yang jauh lebih baik dari kami. Dan yang terpenting dia juga bisa menjaga sikapnya jauh dari saat ini. Kamu istirahat ya, Nak. Mama keluar dulu,” ujar Ibu Dian. “Iya, Ma,” jawab Nadin. Ibu Dian pun segera meninggalkan Nadin sendirian di kamar. Saat itu juga, Nadin merebahkan tubuhnya di kasur yang sangat empuk, beda dari kasurnya yang dulu. Namun di pikirannya pun tak bisa di pungkiri selalu terlintas wajah sahabatnya itu. Dia berat untuk jauh dari dia, tetapi dia nggak bisa berbuat apa-apa jika ini sudah takdir hidupnya seperti ini. “Candra, kamu ngapain? Aku di sini banyak boneka, kamu pasti suka. Kita bisa berbagi tempat tidur dan boneka ini bersama, aku akan selalu merindukanmu Candra,” ujar Nadin. Ternyata Bu Dian tak bergegas meninggalkan anaknya itu. Beliau sebenarnya masih ingin menyampaikan sesuatu, namun saat itu beliau malah mendengar Nadin memikirkan sahabatnya yang terlihat ingin menang sendiri. Bu Dian pun bingung harus berbuat apa, tetapi jika untuk mengangkat Candra juga tidak bisa, sebab merasa tak suka dengan anak itu. Akhirnya Bu Dian pun memutuakan untuk mengurungkan niatnya untuk menyampaikan sesuatu itu ke Nadin. Kemudian Ibu Dian pun turun ke lantai dasar untuk menemui suaminya yang sedang duduk di ruang tamu. “Pa,” panggil Bu Dian. Pak Aska pun menoleh ke arah istrinya lalu menjawab, “Iya, Ma. Bagaimana, Nadin suka kamarnya?” “Iya, Pa. Dia suka, tapi malah mikir temannya itu. Kasihan sih, Pa. Tapi mau bagaimana lagi, aku nggak bisa didik dia jika sikapnya begitu, kalau Cuma bantu ekonomi oke saja, sih,” ujar Bu Dian. Mereka berdua pun memutuskan untuk memikirkan ini terlebih dahulu, sebab mereka juga tak ingin Nadin tinggal di sini kalau dalam keadaan tertekan. Tetapi keputusan seperti itu, nggak bisa mereka ambil dengan cepat. Sebab, mereka sudah tahu sifat Candra seperti apa, walaupun hanya sedikit. “Biar saja dulu, Ma. Dia memang lagi masa adaptasi di tempat barunya, mungkin lambat laun pasti juga terbiasa, kok,” ujar Pak Aska. “Iya juga, Pa. Mungkin karena mereka terbiasa bersama, hingga saat terpisah serasa beda mungkin,” ujar Bu Dian menduga-duga. Malam kian larut, mereka berdua memutuskan untuk segera istirahat sebab besok harus melakukan kegiatan seperti biasanya. *** Keesokan harinya, Nadin terbangun karena mendengar suara kumandang adzan yang tak jauh dari rumahnya. “Hoamm, Alhamdulillah masih mendengar suara kumandang adzan. Oh iya, Papa dan Mama sudah bangun belum, ya?” gumam Nadin. Nadin pun segera beranjak dari tempat tidurnya, kemudian berjalan keluar kamar dan turun ke lantai dasar untuk mencari kamar orang tuanya. Dia berkeliling rumah, sebab terlalu besar dan cukup banyak kamar membuat dia bingung. Dia berhenti di depan salah satu ruangan yang pintunya juga tertutup. Tok tok tok!! Nadin mengetu pintunya hingga beberapa kali tidak ada sahutan. “Ma, Pa. Sudah bangun?” tanya Nadin di depan ruangan itu. Di lain ruangan tempat papa dan mamanya tidur pun suaranya terdengar. “Ma, sepertinya suara Nadin, deh,” ujar Pak Aska. “Iya, Pa. Terdengar manggil kita, tapi kenapa terdengar jauh ya. Ayo, keluar, Pa,” ajak Bu Dian ke suaminya. Mereka berdua pun segera bangun dan menghampiri suara Nadin. “Pa, Ma.” Nadin tetap berusaha memanggil kedua orang tua angkatnya. Dalam hatinya berkata, ‘Kenapa susah banget, ya?” Bu Dian dan Pak Aska segera membuka pintu, mereka berdua pun bertanya-tanya ala melihat Nadin berdiri di depan pintu kamar mandi yang ada di seberang kamar mereka. Lalu segera menghampi anaknya itu. “Nadin sayang, apa, Nak?” tanya Bu Dian. Sontak Nadin menoleh ke arah mereka berdua, saat itu juga terlihat wajah Nadin tampak heran. “Loh, Papa dan Mama kok dari situ? Lalu ini kamar siapa?” tanya Nadin tampak penasaran. Bukannya menjawab petanyaan Nadin, mereka berdua malah tertawa terbahak-bahak. Nadin pun tambah semakin bingung kala melihat respon kedua orang tuanya itu. “Kenapa? Salah, ya?” ujar Nadin sembari menggaruk kepalanya. “Hahaha, kamu mau lihat di dalam itu apa? Sini Mama beritahu.” Bu Dianberjalan menghampiri Nadin dan segera membuka pintu yang ada di depannya. “Ini kamar mandi, sayang. Nanti kita tunjukin ke kamu, apa saja yang ada di dalam rumah ini,” ujar Bu Dian. Saat mengetahui apa di balik ruangan itu, seketika aku tertawa terbahak-bahak. Dalam hatiku berkata, ‘Ya Allah, samapi lebaran monyet juga nggak bakal Papa dan Mama bangun dari dalam situ, sebab itu kamar mandi.’ “Ada apa, Nadin bangunin kita tadi?” sahut Pak Aska. “Maaf, Pa. Cuma mau ajak sholat. Mumpung masih belum iqomah,” ujar Nadin dengan nada ragu. Bu Dian dengan cepat memeluk Nadin, sedangkan Nadin yang tak tahu apa maksudnya hanya terlihat melongo dan tak ingin mengelaknya. “Kami beruntung punya anak sepertimu, Nadin. Selama ini kami selalu lupa akan kewajiban kepada yang Maha Kuasa, tetapi kali ini ada kamu sebagai perantara yang meningatkan kami,” ujar Bu Dian masih dalam posisi memeluknya. “Kita sholat yuk, Ma,” ajak Nadin sembari melepaskan pelukannya. Mamanya merespon dengan menganggukkan kepala, setelah itu segera bersiap-siap untuk segera pergi ke masjid. Setelah semua siap, mereka bertiga segera berangkat menuju masjid yang letaknya tak jauh dari rumah Pak Aska. Terlihat senyum merekah dari wajah mereka bertiga. Di sepa Sepanjang perjalanan Bu Dian mencoba mengenalkan lingkungan terdekat dengan rumah mereka. Saat sampai di masjid, segera melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya Tak berselang lama pun selesai, di dalam masjid banyak ibu-ibu yang melihat Nadin. Ada pula yang menanyakan itu ke Bu Dian. “Mbak Dian, dia siapa?” tanya salah satu ibu-ibu di sana. Bu Dian yang sedang melipat mukena, seketika menoleh ke arah ibu itu. “Eh, Mbak Tere. Dia anak saya, Mbak. Kenalin, namanya Nadin,” jawab Bu Dian. Nadin yang latarnya anak yang sopan, seketika menjabat tangannya sembari mencium tangan. Lalu dia berkata, “Saya Nadin, Tante.” Mbak Tere yang wajahnya terlihat ketus pun tak berubah kala melihat sikap Nadin yang begitu santun. “Hati-hati, Mak Dian. Ambil anak tak tahu latar belakangnya, malah buat sakit sendiri nantinya. Ya sudah, saya balik dulu,” ujar Mbak Tere sembari beranjak pergi. Nadin yang mendengarnya, kembali mendadak merasa minder akan itu. Dia merasa benar ucapan Mbak Tere tadi, dia nggak tahu selama ini siapa orang tuanya. Ada benarnya jika Bu Dian dan Pak Aska harus lebih berhati-hati dengan dia. Wajah Nadin yang tampak murung, ternyata di sadari oleh Bu Dian. “Nadin, pulang, yuk,” ajak Bu Dian. Nadin hanya mengangguk sembari beranjak dari tempak duduknya dan tersenyum ke arah Bu Dian. Saat mereka keluar, ternyata Pak Aska sedang berdiri tepat di depan masjid menunggu kami. “Pa,” panggil Ibu Dian. Pak Aska, menoleh ke arah kami sembari tersenyum. Kami pun membalas senyumannya sembari menghampirinnya. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN