Bab. 4. Masa Adaptasi

1076 Kata
Kami pun kembali berjalan menuju rumah saat di perjalanan Bu Dian menceritakan tentang perkataan Bu Tere terhadap Nadin. “Pa, tahu nggak, tadi Bu Tere malah bilang seenaknya katanya kita harus berhati-hati ke Nadin, sebab dia kita adopsi saat sudah besar. Nggak suka tahu, sama perkataannya,” ujar Bu Dian memberitahu. Nadin yang mendengarnya sontak menyahut, lebih baik juga mawas diri. Sebab dia juga tahu diri kalau hanya anak angkat. “Maaf, Ma. Ada benarnya juga kalian harus berjaga-jaga, sebab kalian mengadopsiku saat sudah besar seperti ini. Makasih, kalian sudah baik denganku tapi aku sadar hanya anak angkat.” Nadin pun berkata seperti itu dengan menundukkan kepalannya. “Sayang, kok bilang begitu. Kamu anak baik, kok. Jangan dengarin kata orang, kita lakukan yang baik untuk diri kita agar orang pernah menghina akan malu dengan sendirinya,” ujar Bu Dian. Nadin menatap ke arahnya, lalu tersenyum. Dia merasa beruntung kala mendengar jawaban dari Ibu Dian, sebab dia selalu mendukung dirinya dan membelanya. “Iya, Nadin. Kita hidup jangan terlalu mendengar perkataan orang lain. Sebab tidak semua orang berkata sesuai kenyataannya, terkadang dia bilang baik di depan belum tentu di belakangnya,” sahut Pak Aska. Tak terasa, saat kami asyik berbicara ternyata sudah sampai di depan rumah. Terlihat ada orang sedang menyapu di area halaman rumah orang tua angkat Nadin. “Ma, ibu itu siapa?” tanya Nadin sembari menunjuk ke arah wanita itu. “Oh, itu Ibu Lastri. Dia yang bisa membantu untuk bersih-bersih rumah ini. Tapi, dia nggak menginap, hanya bekerja pagi dan sore saja,” jawab Ibu Dian. Nadin seketika berjalan menghampiri Ibu Lastri, lalu bergegas mencium tangannya. “Halo, Bu,” sapa Nadin. Ibu Lastri terlihat bingung, sebab dia tak tahu saat Nadin datang kemarin. “Neng cantik, siapa?” tanya Bu Latri. “Saya Nadin, Bu,” jawab Nadin dengan santun. Saat itu juga Bu Dian dan Pak Aska menghampirir mereka berdua. “Bu, ini Nadin anak yang selama ini saya ceritakan,” sahut Bu Dian. Bu Dian ternyata selama ini sudah menceritakan tentang Nadin ke Bu Lastri. Bu Lastri tersenyum merekah kala melihat gadis cantik yang di depannya, sesuai dengan yang diceritakan oleh Bu Dian. Dia anak yang ramah, bahkan begitu sopan. Dia anak yang tanpa disuruh bergegas membantu orang. Termasuk, dia membantu Bu Lastri saat beliau sedang sibuk melakukan pekerjaan sebagai asisten di rumah Bu Dian dan Pak Aska. Bu Dian dan Pak Aska pun lagi-lagi merasa bangga. “Ma, Nadin anak yang baik, ya. Dia pun bergegas membantu ketika melihat orang lain,” ujar Pak Aska sedmbari tersenyum. “Coba Mama larang ya, Pa. Mama ingin tahu, bagaimana respon dia,” ujar Bu Dian. Bu Dian dan Pak Aska yang sebelumnya sedang duduk di kursi teras rumahnya, saat ini berjalan menghampiri Nadin dan Bu Lastri yang sedang menyapu halaman rumahnya. “Nadin!” teriak Bu Dian. Nadin pun seketika menoleh ke arah sumber suara, lalu menjawab, “Iya, Ma.” “Biarkan Bu Lastri melakukan tugasnya, Nak. Kamu lebih baik duduk di sini, bersama Papa dan Mama saja,” ajak Bu Dian. “Maaf, Ma. Ingin bantu saja, Ma. Dari pada aku nggak ngapa-apa,” jawab Nadin dengan sopan. “Sayang, memang itukan kerjaannya Bu Lastri. Amu tinggal santai saja, ya,” ajak Bu Dian lagi. “Tapi, Ma,” jawab. “Ayo, sayang. Katanya mau keliling rumah untuk lihat-lihat,” ujar Bu Dian. “Iya, Ma,” jawab Nadin sembari berjalan dengan menggandeng tangan Bu Dian menuju ke rumah. Mereka berkeliling di seluruh ruangan yang ada di rumah ini. Nadin pun sempat tertawa, saat harus mengulang lewat di depan pintu yang tadi pagi dia ketuk dikira kamar orang tuanya. Mereka pun, mengakhiri jalan-jalannya di halaman belakang. Di sana terdapat kolam ikan yang mana pinggirannya di beri pohon kecil-kecil dan tentunya ada kursi taman. Ternyata, tempat itu yang membuat Nadin tampak tertarik saat melihatnya. "Ma, nyamannya ya di sini. Bisa duduk santai, sambil kasih makan ikan," ujar Nadin. Bu Dian tersenyum, kala melihat Nadin tampak bahagia. "Iya, Ma. Coba aja ada Candra, pasti dia juga senng," ujar Nadin. "Lain kali kita ke sana, ya. Tapi, kalau untuk waktu dekat belum bisa. Papa dan Mama lagi sibuk, Nak," ujar Bu Dian memberi alasan. Walaupun sebenarnya buka itu faktor utama tak ingin ke sana terlebih dahulu, namun karena tak ingin Nadin kembali ragu untuk di rumah ini lagi. "Ma, makasih, ya. Mama sudah baik terhadapku. Aku benar-benar terharu, sebab baru kali ini merasakan punya Papa dan Mama yang lengkap dan menyayangiku," ujar Nadin sembari menundukkan kepala. Nadin, walaupun sudah mengucapkan itu berul.ang kali nakun tetap kekeh seperti itu. Sangat merasa aka hal ini. "Sayang, cepat mandi. Nanti keburu telt loh, sekolahnya," suruh Bu Dian. "Iya, Ma," jawab Nadin dengan senang hati, sebab dia tipikal anak yang penurut. Nadin pun segera berjalan menuju dalam rumah dan pergi ke kamarnya. "Candra, kamu di sana ngapain? Maaf, ya belum bisa bawa kamh ke sini," gumam Nadin. Setelah itu, dia segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Mandi, lalu berganti pakaian dan segera menyiapkan buku yang hendak di bawanya. Dia pun kembali turun ke lantai dasar untuk segera menghampi kedua orang tuanya. Terlihat baru Pak Aska yang ada di ruang makan dan Nadin segera ikut bergabung bersama beliau. "Pagi, Nadin," ujar Pak Aska. "Pagi juga, Pa. Mama mana, Pa?" tanya Nadin. "Masih siap-siap, kamu makan dulu aja sayang. Tinggal pilih mau lauk apa." Pak Aska menawari makanan ke Nadin. Tetapi, lagi-lagi saat seperti ini Nadin pasto teringat Candra yang saat ini tak tahu sarapan pakai apa. Tak berselang lama, alhirnya Bu Dian datang, dengan mengenakan pakaian khas ibu-ibu di kantor. "Pagi, Pa, Nadin," sapa Bu Dian. "Pagi, Ma," jawab Nadin yang sedari tadi masih enggan mengambil makanannya. "Kok belum di makan. Sengaja nungguin Mama, ya?" tanya Bu Dian sembari tertawa. Namun, Nadin malah terlihat meneteskan air mata. "Kenapa, Nak?" sahut Pak Aska. "Aku keingat Candra. Di sini aku makan enak, dia di sana kira-kira makan lauk pakai apa? Biasanya kita selalu saling minta walaupun hanya lauk tempe. Tapi, sekarang aku makan pakai ayam, daging bahkan semua makanan tersedia di sini," jawab Nadin. "Sayang, nanti kita bakal ke sana. Tetapi maaf, kalau masih agak lama sebab Papa dan Mama masih sibuk dengan kegiatan kerja," sahut Pak Aska. Nadin hanya melemparkan senyuman sembari menyeka akr matanya. Paling tidak, dia merasa ada harapan untuk bertemu Candra yang selama ini selalu di anggap saudaranya sendiri. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN