"Ikut aku!" Satria langsung menarik tangan Elora, mengajaknya masuk ke dalam pantry yang kosong. "Duduklah!" perintah Satria dengan suara yang terdengar dingin dan datar.
Elora pun hanya bisa menurut dan duduk di salah satu kursi yang ada di sana dan membiarkan Satria duduk di hadapannya lalu mengambil kotak obat untuk membersihkan dan mengobati lukanya.
“Kamu selalu ceroboh seperti ini! Untung saja lukanya kecil! Kenapa? Kamu terkejut saat melihat Miya? Dia itu salah satu manager di perusahaan ini dan kalian akan saling bertemu dan berkomunikasi! Tadinya aku pikir cuma nama yang sama waktu aku mendengar namamu disebut sebagai salah satu karyawan baru, ternyata benar kamu!”
Elora tak menanggapi. Hanya diam tak berani menatap wajah Satria yang sudah sangat dekat dengannya. Diobati oleh Satria ternyata hanya membuat Elora semakin sedih dan kembali ingin menangis, tetapi ia menahan sekuat tenaga. Ia masih diam dan mencoba menghapus air matanya diam-diam saat Satria merapikan kotak obat dengan tergesa-gesa.
“Aku gak tahu ini kebetulan atau tidak, tapi gak ada yang tahu soal hubungan masa lalu kita. Aku harap kamu bisa merahasiakan dan tidak membahasnya dengan orang lain. Terserah apa pendapatmu, tapi aku dan Miya masih bersama sampai saat ini." Ucapan Satria terdengar dingin, membuat d**a Elora terasa seperti ditusuk - tusuk.
“Tenang saja, tujuanku di sini cuma buat kerja,” jawab Elora cepat dengan suara parau, masih tak mampu menatap wajah Satria.
Belum apa- apa, ia sudah kembali ditolak oleh mantan kekasihnya. Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Elora merasa sangat tersudut saat melihat Miya masuk ke dalam pantry.
“Kamu gak apa-apa?” tanya Miya cemas dan sedikit canggung. Sebenarnya, bukan hanya Elora yang terkejut, ia pun merasa jantungnya hampir copot saat melihat Elora.
“Sudah kuobati,” ucap Satria cepat seolah mewakili Elora yang hanya bisa diam membisu tak mampu berkata apa-apa.
Tanpa kata Miya dan Satria pun meninggalkan Elora sendiri di pantry. Dalam hitungan detik, Elora tak bisa menahan air matanya. Andai saja ia punya kekuatan mencaci mereka berdua, tetapi itu tak bisa dilakukannya. Entah kenapa, lidahnya terasa kelu, seolah terkunci. Lagi pula Elora merasa tak pantas untuk mencaci maki mereka. Sejak awal, ia sudah tahu bahwa dirinya hanyalah bumper demi menutupi hubungan Satria dan Miya.
*
“Gak bisa begitu Mbak Elora! Mbak pikir masuk ke perusahaan ini main-main!? Kami mengeluarkan banyak dana dan waktu untuk seleksi, interview, psikotes, dan lain sebagainya! Perusahaan ini bukan perusahaan abal-abal yang baru satu hari berdiri dan bisa seenaknya membatalkan kontrak, apalagi Mbak juga baru satu hari bekerja di sini!” ucap seorang manager HRD dengan begitu tegas.
Elora hanya bisa menundukan kepalanya dan meremas celana kerjanya. Sebenarnya ia merasa malu dan kacau saat ini. Bertemu Satria dan Miya di saat yang sama membuatnya sadar bahwa ia tak mampu untuk bekerja di perusahaan yang sama dengan mereka berdua.
Dengan perasaannya yang kacau, Elora memutuskan menemui HRD dan meminta untuk membatalkan kontrak kerjanya dan berharap permintaannya itu bisa dikabulkan karena baru beberapa jam saja ia masuk sebagai karyawan baru. Namun, harapannya sirna karena yang ia dapat hanyalah kemarahan.
Dengan membawa perasaan sedihnya, Elora keluar dari ruang manager HRD. Dia berjalan lemah. Terlebih saat ia tahu sejumlah penalty yang harus dibayar jika ingin berhenti bekerja. Penalty yang sudah mulai berlaku meski ia baru bekerja beberapa jam saja.
*
Sepulang bekerja, pintu kamar Elora perlahan diketuk seseorang. Setelah memarahi Elora tadi pagi, hatinya merasa tak enak, apalagi sejak saat itu Elora tak lagi membalas pesan-pesannya. Makanya, sepulang kerja Risma memutuskan untuk mampir ke rumah Elora.
“Dia ada di kamar, tadi pulang cepat, padahal hari ini hari pertama dia kerja di kantor baru. Memangnya bisa begitu, ya?” ucap Nirmala–ibunda Elora ketika menyambut kedatangan Risma yang sudah seperti anaknya sendiri.
Risma hanya bisa tersenyum tipis sambil menatap Nirmala yang asik menjahit di studio jahitnya.
“Gak ngerti aku, Tan, tapi coba aku tanya nanti kenapa dia bisa pulang cepat,” jawab Risma santai.
Kini ia sudah berada di depan pintu kamar sahabatnya dan perlahan pintu itu pun terbuka. Wajah Elora terlihat sangat sembab dan saat melihat Risma air matanya kembali tumpah sambil menahan isak agar sang ibu tak mendengarnya menangis.
Risma pun hanya bisa mendengus kesal dan merasa marah karena sikap bodoh Elora yang masih mengejar Satria.
"Kan sudah aku bilang! Lupakan Satria! Apa yang terjadi?” tanya Risma mencoba menahan rasa marahnya sekaligus merasa penasaran.
Elora masih menangis sambil memeluk Risma erat.
“Ada dia di sana … dia juga ada disana …,” bisik Elora pelan.
“Dia siapa?!”
“Miya … kekasih Mas Satria … Miya .…”
Risma hanya bisa diam tertegun. Ia bisa membayangkan betapa canggungnya Elora saat bertemu dengan Satria dan Miya secara bersamaan.
“Kenapa dia ada di sana?” tanya Risma dengan suara pelan. Elora hanya bisa menggelengkan kepalanya perlahan.
Tak pernah terpikirkan bahwa setelah dua tahun ini, Satria akan membawa Miya bersamanya. Elora hanya tahu bahwa Satria masih berada di perusahaan itu dan kini posisinya semakin tinggi, tetapi tak pernah terpikirkan bahwa Miya pindah bekerja ke kantor Satria. Yang Elora tahu, dulu Miya bekerja di perusahaan vendor untuk perusahaan Satria.
Elora pun bercerita bahwa ia sangat kacau dan kalap sehingga segera meminta untuk pembatalan kontrak kerjanya kepada HRD, tetapi ia malah disuruh membayar penalty dan sudah pasti namanya akan tercatat buruk di catatan HRD.
“Kamu tuh selalu begitu! Panikan dan cepat sekali bikin keputusan tanpa berpikir tenang!”
“Aku gak sanggup jika harus bertemu Miya setiap hari, Ris!”
“Tapi sekarang kamu bisa apa? Mau gak mau kamu harus bertahan di perusahaan itu sampai masa probation kamu selesai dan itu tandanya kamu harus bertahan selama enam bulan sebelum kamu bisa mengajukan resign tanpa kena penalti! Bertahan saja!”
Mendengar ucapan Risma, Elora hanya bisa meremas rambutnya perlahan dan kembali menangis perlahan. Dering handphone Elora tiba-tiba berdering nyaring. Elora segera menghapus air matanya dan mengambil handphonenya dan melihat nomor yang tak ia kenal dan dengan malas mengangkatnya.
“Halo,” sapanya dengan suara parau.
“Ini aku … Satria, kamu di mana? Apa bisa kita bertemu?”
Elora tertegun dan segera menatap Risma yang tampak penasaran dengan raut wajah Elora yang mendadak berubah.
“Kalau bisa, temui aku di tempat biasa?” Suara Satria kembali terdengar dan bertanya pada Elora.
Elora merasa kepalanya tiba-tiba pusing, hatinya tak sanggup mendapat banyak kejutan dalam satu hari.