8. Fake Happiness

2010 Kata
“Ibu, besok kita mulai sekolah kan? Aku berangkat bersama ibu ke sekolah?” Tanya Liesya penuh harap padaku. Aah iya, besok adalah hari pertama masuk sekolah setalah libur kenaikan kelas di bulan Juni sampai Juli. “Iya sayang, Liesya berangkat bareng ibu. Kita berangkat pagi ya biar tidak terlambat.” Sebenarnya sekolah Liesya tidaklah jauh dari rumah ini. Jaraknya hanya sekitar 4 kilo. Karena berada di daerah elit, jalanan yang kami lewati tidak terlalu padat, mungkin hanya butuh lima belas menit saja kami sudah sampai. Sekolah Saraswati adalah sekolah untuk anak yang membutuhkan perhatian spesial. Murid per kelas hanya 10 orang. Jangan ditanya berapa biaya bulanan sekolah ini. Uang tahunan saja bisa ratusan juta. Aku menjadi salah satu guru bayangan di sekolah ini. Bukanlah seorang guru tetap, melainkan hanya untuk membantu guru utama mengawasi murid-murid kami. Aku mendesah keras saat turun dari mobil. Statusku sebagai istri siri dan ibu sambung bagi Aliesya pasti sudah menjadi gosip empuk di sekolah. Aku bisa mengendalikan perasaanku, tapi tidak Aliesya. Kasian jika dia akan menjadi korban perundungan karena statusku ini. Ada dua orang guru yang menjadi sahabatku di sekolah. Umur mereka selisih satu dua tahun lebih tua dariku, hingga kami bisa akrab, Findina dan Dianti. Hanya dua orang itu yang aku undang saat akad nikahku dengan Mas Rendra. Setidaknya ada orang dari sekolah yang tahu akan statusku sekarang, menjadi seorang Nyonya Rendra. “Ibu ayuk masuk.” Genggaman tangan Aliesya menyadarkanku untuk segera menjenjak bumi. “Yuk.” Melangkahkan kaki saat bertemu satpam, aku merasakan aura yang berbeda. Entah apakah ini karena aku yang terlalu berpikir negatif atau memang terjadi seperti itu. Satpam menjadi lebih hormat kepadaku. Beberapa tenaga admin sekolah juga seperti itu. Tapi kan kita tidak bisa tahu apa yang ada di hati mereka. Apakah itu jujur dan murni atau hanya basa-basi saja karena Mas Rendra pendonor cukup besar untuk kegiatan yang ada di sekolah ini. “Selamat bekerja ibu.” Tiba-tiba saja Aliesya mencium punggung tangan dan pipi kananku. Kelasnya di lantai dua, sedangkan ruang guru di lantai satu. Dengan wajah yang dibuat ceria, aku mendorong pintu ruang guru dan bersiap menerima cemooh ataupun gosip ataupun ucapan selamat dari teman-teman guru lainnya. Bismillah…. Ucapku dalam hati. “Assalamualaikum…, selamat pagi.” Sapaku coba ramah, tapi palsu. Ya, inilah aku, penuh kepalsuan. Bahkan pada kehidupan pernikahan pun juga palsu! Miris sekali kan? “Waalaikumusalam. Waaah yang pengantin baruuu, akhirnya ketemu juga kita. Tambah ceria aja nih Nata, kinclong banget deh. Senyum juga udah beda, senyum bahagia!” Sambut Findi dan Dianti yang heboh memeluk dan mencium pipiku. “Apaan sih?” Aku merasa geli sendiri, hmm…, mereka tahu kondisi rumah tanggaku yang sebenarnya, kenapa aku mau menikahi Mas Rendra, tapi mereka tidak tahu bahwa sampai sekarang kami tidur terpisah. “Ya iyaalah ceria, gimana enggak, jadi istri muda Tuan Rendra, pengusaha muda yang kaya raya, tampan dan terkenal baik. Aku curiga, jangan-jangan kamu yang ngotot pingin dinikahi sama Pak Rendra kan? Jadi istri simpanan juga gak papa tuh.” Sambar seseorang dengan nyinyir, Winona. Hmm, aku sudah mempersiapkan hatiku menerima cemoohan ini. Tapi tetap saja entah kenapa terasa sakit. Aku malas menjawab, jadi cuma kuberikan senyum terbaikku. Bisa pingsan nanti jika Winona tahu kenyataan yang sebenarnya. “Eeh itu bibir kalau ngomong ya Win, jangan sembarangan. Elu tahu kagak kalau Renata sama almarhum istri pertama Pak Rendra itu sepupuan? Lagian yang minta banget tuh Aliesya, dia pingin Renata jadi emaknya! Jaga tuh bibir!” Findi yang menjawab dengan nada tidak kalah sinis. Yang aku tahu, dulu sempat ada perselisihan pada mereka karena ada satu lelaki yang suka pada Findi tapi dihasut oleh Winona. Membuat Findi menendang jauh-jauh lelaki itu. “Huush, sudah, gak usah diperpanjang lagi. Biarin aja si Winona mau berpikir apaan deh.” Aku coba menengahi. Malas melayani orang-orang berbibir nyinyir dan tidak tahu apapun yang terjadi sebenarnya. “Iya Fin, abaikan saja. Dia mah ngiri doang tuh kenapa bukan dia yang dilirik. Ada yang salah sama otaknya tuh.” Dianti mengamini ucapanku. “Tapi nanti dia pasti akan sebar gosip tentang elu loh Nat, pasti pakai ditambahi bon cabe level 30 tuh. Kesel kan!” Masih saja Findi mengomel. “Biarin aja sih, dosa kan urusan dia juga.” Jawabku santai. “Nat, gimana Pak Rendra?” Tanya dua orang itu dengan wajah usil. Aku bingung dengan maksud mereka. “Baik kok, alhamdulilah sehat.” Jawabku asal. “Yaelaah bukan itu maksud kita Nataaa, gimana tuh si bapak ganteng di ranjang? Berapa kali sehari lu gituan?” Tanya Dianti tanpa malu. “Ya Tuhaan, kenapa pula kalian tanya itu sih?” Kenapa aku yang jadi malu? Hei, ini bukanlah tempat dan saat yang tepat untuk menanyakan hal itu. “Yaealah Nata, pakai shy shy cat. Jadi gimana tuh si bapak? Pakai jamu gak? Pakai sarung apa enggak?” “Sarung? Enggak, Mas Rendra gak suka pakai sarung.” Jawabku dengan alis naik, sambil berpikir apakah jawabanku itu benar. Setahuku, Mas Rendra sesekali pakai sarung tapi hanya saat sholat saja. “Wuiih biar Aliesya cepet dapat adik ya Nat, jadi gak pakai sarung. Moga-moga tokcer ya, biar gue cepet punya ponakan baru!” Dianti berteriak gembira. Tentu saja terikannya membuat heboh guru lain. “Waah beneran Renata udah isi? Tokcer banget nih. Selamat yaa Renata.” Beberapa guru memberikan selamat padaku. Tentu saja aku bingun, siapa yang hamil sih? Dipegang aja enggak sama Mas Rendra, boro-boro hamil. “Ada apa ini? Pagi-pagi sudah heboh gini?” Tanya direktur sekolah yang memang rajin datang pagi. “Renata hamil buuu…” Jawab Findi dan Dianti serempak. “Selamat ya Nata, sayang ibu gak bisa datang pas akad kemarin.” “Tapi saya gak hamil kok bu.” Jawabku dengan memberikan senyum palsu. Gimana bisa hamil sih? Gituan aja belum. Asem nih emang Findi dan Dianti. “Bukan enggak, tapi belum. Kamu nih kalau ngomong deh.” Findi mengoreksiku. “Sabar aja Renata, asalkan rajin bikin mah akan hamil kok. Yang penting kalian sudah sah walau belum secara negara. Beruntung saya kenal dengan mamanya Pak Rendra. Sudah-sudah, segera masuk kelas. Sebentar lagi kelas akan dimulai.” Kata Bu Jenni, direktur sekolah ini. Ya, beliau memang kenal dengan mama mertuaku. Sehingga tidak menjadi masalah besar saat aku dan Mas Rendra menikah walau secara siri. “Jadi simpanan aja bangga!” Desis Winona - tapi beberapa dari kami masih bisa mendengarnya. “Renata bukan simpanan Pak Rendra loh Winona. Ibunya Pak Rendra langsung yang cerita pada saya alasan mereka menikah. Jangan menyebarkan gosip. Sudah, kita mulai bekerja.” Bu Jenni menegur Winona. Aku tersenyum saat melihat Findi menjulurkan lidah tanda kemenangan pada Winona. “Sukurin luuuh, week!!” Benar-benar, ternyata usia tidak menjamin kedewasaan. Hari Senin sampai Jumat kulalui dengan relatif aman, walau tentu telingaku masih harus berusaha menyesuaikan diri dengan hinaan dan gosip yang semakin panas tentang status istri siri menjadi simpanan Mas Rendra. Sialan! Jika tidak menjaga nama baik Mas Rendra, mungkin aku akan mengulek sambel di mulut orang-orang usil itu. Seperti kejadian sore ini, saatnya aku mengantar Aliesya ke klinik untuk terapi. Biar tidak bolak-balik, aku mengatur jadwal terapi sepulang sekolah langsung ke klinik. Saat lewat di depan kumpulan ibu-ibu penggosip yang berkumpul di bawah pohon besar, aku mendengar dengan jelas celetukan mereka yang mencemoohku. “Permisi bu.” Aku menyapa dan sedikit membungkuk sebagai tanda kesopanan. Aliesya juga ikut apa yang aku lakukan. Dia kembangkan senyum dan badannya juga ikut membungkuk. Aku bangga padanya karena dia semakin menunjukkan perkembangan yang bagus di aspek kognisinya. Sayangnya senyumku langsung menghilang saat aku mendengar mereka malah dengan sengaja bergosip tentang statusku ini. “Itu tuh, guru baru yang jadi simpanan Pak Rendra. Kok bisa ya? Padahal cantik juga enggak, seksi juga enggak. Tapi kenapa bisa Pak Rendra milih dia jadi simpanan? Jadi ngerusak nama sekolah ini kan? Huuuh kenapa sih Miss Jenni gak keluarin dia dari sekolah ini? Lagian cuma shadow teacher (guru pendamping) doang kan?” Celetuk salah satu, yang tentu saja disambar oleh yang lain. Semoga aja tuh ibu kena ulat berbulu biar gatal bengkak seluruh tubuh, termasuk bibirnya! Bisanya cuma menghina, mencemooh, menganggap dirinya adalah yang paling baik dan benar. Tidak lama setelah kami menjauh, ada beberapa ibu yang berteriak kaget karena tiba-tiba ada ulat bulu yang menempel di rambutnya. Kemudian turun ke tangan dan langsung saja terjadi kehebohan pada mereka. Yang aku tahu kemudian dari kabar yang beredar, dua di antara mereka harus dibawa ke klinik terdekat untuk mendapatkan obat anti gatal. “Maafin ibu ya Liesya, gak sengaja megang tangan Liesya kuat banget.” Mungkin genggaman tanganku ke Aliesya terasa mengetat karena Aliesya tampak meringis. Aku berhenti, menoleh ke arahnya, memelukknya erat. “Iya ibu, tidak apa-apa. Kita jadi ke rumah sakit kan?” Tanyanya dengan nada gembira. Aku menggangguk. Berada di klinik tumbuh kembang ini membuatku bisa berucap syukur luar biasa kepada Yang Maha Pemberi Hidup. Banyak anak dengan segala kelebihan dan kespesialan mereka yang membutuhkan terapi. Aku melihat ada juga beberapa anak sindroma Down yang datang untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Saat masih kuliah di Hiroshima, aku mendapatkan tambahan pendidikan untuk meningkatkan life skills anak-anak berkebutuhan khusus. Mereka tidak dipaksa untuk prestasi di bidang akademik, tapi diajarkan untuk bisa bertahan hidup jika orang tua mereka sudah tidak ada lagi. Ada kurikulum untuk memasak, membuat kue dan pastri, melukis, dan life skills lainnya. Aku sudah mengajari Aliesya memasak dan membuat kue dan pastri. Karena Aliesya juga suka berada di dapur. Secara tidak langsung, aku juga menerapkan ilmu yang aku pelajari kepada Aliesya. Melihat anak-anak itu, terkadang membuatku teringat pada almarhum Mbak Murni. Senyum lebar mereka seakan hidup ini tidak ada masalah, suara sengau khas pada mereka dan cara berjalan yang hampir sama. Kenyataan aku baru saja tahu bahwa Mbak Murni bukanlah kakak kandungku memang menyakitkan, tapi itu membuatku semakin bangga pada ibu yang dengan tulus mau merawat Mbak Murni. Semoga saja aku bisa seperti ibu, agar aku bisa tulus merawat Aliesya. “Hai, boleh saya duduk di sini?” Sapa seseorang. Aku melihat ke arah orang yang menyapaku. Ternyata dia lelaki yang pernah aku tabrak di toilet. “Silakan, ini tempat umum kok.” Jawabku. “Mbak Renata sedang mengantar Aliesya ya?” Lelaki itu coba membuka percakapan karena aku diam saja. Aku bukanlah orang yang ramah dan mudah bergaul. Mungkin dulu aku seperti itu, ramah, periang dan mudah bergaul. Tapi sejak ibu meninggal karena sakit, membuatku tertutup dan lebih suka menyendiri. Itulah kenapa aku tidak punya banyak sahabat. Bisa bersahabat baik dengan Findi dan Dianti juga karena kami seumuran. “Iya.” Jawabku kalem. Aku melihat ke arah Satya. Walau masih membawa kruk tapi dia sudah bisa berjalan lebih tegap dibanding dulu. “Saya masih bawa kruk ini karena kalau pas capek banget, bisa langsung saya pakai. Belum sempurna benar, tapi sudah jauh membaik.” Sepertinya lelaki itu tahu apa yang aku pikirkan. “Saya masih tidak percaya kalau Mbak Renata ini ibunya Aliesya loh. Saya kira masih gadis.” Kembali lelaki itu membuka percakapan. Aku tersenyum simpul. Lelaki yang ramah dan menyenangkan. Aku masih gadis kok Mas, status saja yang tidak gadis, tapi jadi Ny. Rendra, walau istri siri. Sayangnya itu hanya aku ucapkan dalam hati saja. Bisa jadi gosip baru nanti di sini. Lama kelamaan, suasana semakin mencair karena lelaki ini yang bisa membuatku tersenyum dengan cerita konyolnya. Dia tidak menyerah walau aku abaikan. Bagaimanapun juga statusku sekarang Ny Rendra. Cincin nikah bertulis nama Mas Rendra juga aku pakai. Tapi jujur, lelaki ini mampu mengusir kebosanan karena menunggu terapi Aliesya yang cukup lama. Seiring berjalannya waktu, kami semakin mudah terlibat dalam sebuah pembicaraan. Satya memang ganteng dan berbadan tegap, mengingatkanku pada sosok Mas Fadly. Sayangnya, walau secara fisik aku sudah terikat pada Mas Rendra, hatiku sudah dimiliki Mas Fadly. Entah sampai kapan aku akan mampu menjalani sandiwara pernikahan ini. Berpura bahagia, tapi nyatanya tidak. Sebuah pernikahan palsu yang harus kujalani dengan kebahagiaan yang juga palsu. *** Jadiii, Renata mau dibuatin cerita tetap sama Rendra, atau Fadly atau malah sama Satya aja ya? Kasih komentar-komentar dan alasannya ya, siapa tahu bisa jadi ideku hehe biar aku bisa tulis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN