4. My Special Persons

2039 Kata
Baru tujuh hari mendapatkan status sebagai Nyonya Rendra - walau dengan status istri ketiga - aku sudah menjalankan penuh kewajibanku sebagai ibu sambung Aliesya. Hari ini aku mengantar Aliesya ke klinik tumbuh kembang anak langganannya. Klinik ini menyatu dengan rumah sakit swasta mahal. Hari ini jadwal rutin Aliesya untuk dicek perkembangannya. Aku lihat Aliesya lebih nyaman berada di klinik tumbuh kembang ini dibanding ada di sekolah. Mungkin karena di klinik ini ada beberapa anak sebayanya yang juga anak indigo. Di sini dia bisa tertawa lepas, benar-benar berbeda dengan Aliesya yang sehari-hari aku lihat. Mendadak aku merasa kandung kemihku harus dikosongkan segera. Aku menuju ke arah toilet yang bersih. Aku tidak boleh lama di sini, takut Liesya mencariku. Tiga hari tinggal bersama dengannya membuatnya sangat terikat padaku. Katanya aku sangat mirip dengan almarhumah mamanya, Mbak Keyna, hingga membuatnya merasa nyaman dan aman bersamaku dibanding dengan Mama Felicia - katanya. Karena tergesa, aku berjalan dengan menunduk sambil membetulkan rok yang kupakai. Hingga aku sampai menabrak sesosok tubuh tinggi kekar. “Aaww…” Pekikku. “Maaf, maaf ya Mbak.” Kok malah dia yang minta maaf, padahal aku yang salah kan. “Saya yang seharusnya minta maaf Mas, tadi sudah menabrak Mas karena saya jalan sambil menunduk. Maaf ya…” Aku mendunga, sejenak aku terpesona melihat wajah lelaki muda nan tampan ini. Tubuhnya tegap dan kekar, wajahnya ganteng dan nampak ramah. Tapi dia berjalan memakai alat bantu. Aah kenapa tadi aku sampai tidak mendengar bunyi alat bantunya? “Sama-sama Mbak. Saya sedang coba belajar tanpa alat bantu, tapi tetap saya bawa makanya tadi Mbak tidak dengar bunyi ketukan di lantai.” Sepertinya lelaki ini tahu apa yang aku pikirkan. “Kalau begitu, saya permisi ya Mas. Mari…” Aku berpamitan dan menyelesaikan pembicaraan tidak jelas kami. Sampai di lokasi Aliesya, seorang perawat memanggilku untuk bertemu dokter yang biasa menangani Aliesya. Kami bicara cukup lama, dia tampak heran saat aku memperkenalkan diri sebagai ibu sambungnya. Tapi abaikan saja, dokter ini tetap profesional berdiskusi denganku tentang Aliesya. Aku bersyukur kondisi anak sambung yang juga keponakanku itu membaik. “Hari ini dari hasil tes terlihat bahwa Aliesya semakin baik dalam berkomunikasi. Sudah mau bertatapan lebih lama dibanding bulan lalu. Menurut saya ini kemajuan yang sangat pesat. Ternyata ada andil ibu juga.”  Kata si dokter sambil tersenyum. “Iya dok, alhamdulilah. Saya punya sedikit pengalaman dan latar belakang pendidikan yang berhubungan dengan anak-anak berkebutuhan khusus, anak-anak spesial seperti Aliesya.” Sahutku. Sekitar lima belas menit kami mengobrol, berdiskusi tentang Aliesya. Aku tahu diri, dokter ini masih ada pasien lain, hingga akhirnya aku berpamitan, kembali menuju ke tempat Aliesya. Keningku berkerut saat melihat Aliesya dan beberapa teman sesamanya sedang mengelilingi seorang lelaki. Aliesya biasanya takut bertemu orang asing, berarti dia sudah kenal lelaki ini. Lelaki yang tadi aku tabrak di toilet. Entah kenapa dia menjadi pusat perhatian anak-anak itu. Mataku fokus melihat ke arah Aliesya. Aku tersenyum saat melihat Aliesya yang tampak terpesona melihat lelaki itu. Usia Aliesya yang sebelas tahun lebih saat ini mungkin sudah saatnya timbul rasa suka pada lawan jenis. Menurutku itu masih wajar untuk perkembangan psikologisnya, hanya saja ketertarikan Aliesya pada lelaki itu heeuummm… entahlah, lelaki itu mungkin sepantaran denganku, dua puluh empat tahun jelang dua puluh lima tahun. Semoga saja ini hanya rasa suka sesaat yang dirasakan oleh Aliesya. Tapi melihatnya yang memandang ke arah si lelaki tadi dengan malu-malu tiba-tiba membuatku teringat masa lalu. Saat aku juga seumuran dirinya. Hubunganku yang ada di antara Mas Rendra dan Mbak Keyna. Waktu itu, sebagai seorang gadis kecil, aku juga sempat terpesona pada Mas Rendra. Tapi hanya saat itu saja, karena aku tahu diri. Selain jarak umur kami yang cukup jauh, aku tahu pasti hati Mas Rendra hanya ada Mbak Keyna.   Tiga belas tahun lalu   Aku melihat ke arah Mbak Keyna dengan senyum lebar. Hari ini Mbak Keyna pulang kampung. Aku sengaja pulang sekolah langsung mampir ke rumah bude agar bisa menagih oleh-oleh darinya. Sebagai kakak sepupu perempuan dengan selisih umur yang cukup jauh, Mbak Keyna sangat sayang padaku. Mungkin juga karena aku dan Mbak Murni yang sudah tidak punya bapak lagi. Euum lebih tepatnya tidak tahu di mana keberadaan bapakku itu. Sejak bapak pergi meninggalkan kami, hanya ibu yang berjuang mati-matian bekerja menghidupi kami. Walau tentu saja dibantu oleh Bude Harun. Mengingat kondisi Mbak Murni yang butuh perhatian khusus, membuat ibu tidak bisa menabung banyak. “Hai Nata, ke sini. Mbak punya banyak hadiah buatmu dari kota.” Mbak Keyna memanggilku, tangannya juga melambai agar aku mendekat padanya. “Waaah apa itu mbak? Mau mau mau… aku mau hadiah dari Mbak Keyna. Aku gak pernah dapat hadiah kalau bukan dari Mbak Keyna dan bude.” Jawabku. Sebagai bocah dengan umur sekitar sepuluh tahunan jelang sebelas tahun, aku masih bertingkah layaknya bocah kepada Mbak Keyna. Aku tidak mungkin bermanja pada Mbak Murni, karena Mbak Murni memang tidak bisa seperti itu. Tapi aku bisa bermanja pada Mbak Keyna. “Nih, ada buku-buku, n****+, majalah, boneka, cemilan, boneka dan tas sekolah. Kamu harus berbagi dengan Murni ya, tidak boleh diambil sendiri.” Mbak Keyna memelukku erat. Aku balas memeluk dan mencium pipinya penuh sayang. “Terima kasih Mbak Key. Aku pasti akan bagi dengan Mbak Murni, tapi aku yang banyak. Yeaay yeaay…” Aku bersorak bahagia. “Bocah itu mirip sekali denganmu Key.” Aku mendengar suara khas lelaki bertanya pada Mbak Keyna. Aaah iya, aku lupa bertanya siapa lelaki ini. Karena terlalu bahagia dengan hadiah yang diberikan Mbak Keyna aku lupa bertanya siapa lelaki tampan yang sedari tadi berdiri di dekatnya. Seperti takut kehilangan Mbak Key. “Iya. Kata tetangga juga begitu. Renata lebih mirip denganku dibanding Murni, kakaknya. Tidak hanya wajah, tapi kata ibu fisik Renata mirip denganku saat aku sebaya dirinya. Cantik kan?” Aku juga mendengar Mbak Key memujiku, eeh memuji dirinya juga ding. Kami memang sepupu. Ibuku dan Bude Harun kakak adik. Wajahku sangat mirip dengan Mbak Key, lebih cocok menjadi adik Mbak Key dibanding menjadi adik Mbak Murni. Tapi aku suka kesal jika disebut seperti itu. Bagaimanapun kondisi Mbak Murni, dialah yang menjadi kakakku, kakak kandungku - itu yang aku tahu. “Iya cantik dong. Kamu kan cantik banget. Nantinya bocah itu juga akan jadi perempuan cantik sepertimu.” Aku merasa dikacangi oleh mereka berdua. Aku melihat lelaki tampan itu memeluk pinggang Mbak Key dengan mesra. Hei… ini ada anak di bawah umur!  Kenapa seenaknya peluk-peluk sih? Aku pura-pura menutup mata. “Ah Nata, nanti kalau kami menikah, kamu jadi pagar ayu ya. Terima tamu.” Tiba-tiba Mbak Key memintaku menjadi pagar ayu. Eeh emang siapa yang mau menikah? Apakah Mbak Key dan lelaki tampan ini? “Eheem… eheem… Mbak Key, Mas ini siapa sih?” Aku menarik baju Mbak Key dan berbisik agar lelaki tampan dan dewasa itu tidak mendengar apa yang aku tanyakan. “Ooh Mas ini calon suamiku, Renata. Namanya Rendra. Kenalan dulu dong.” Tiba-tiba Mbak Key menarik tangan lelaki tampan itu, mau tak mau aku menggamit tangannya dan kucium punggung tangan itu dengan sopan. Hmm, ibu mengajarkanku untuk bersikap sopan pada orang yang lebih tua. “Hai, Renata.” Kudengar suara lelaki itu, aku memang baru berusia sebelas tahun kurang. Tapi aku sudah terpesona oleh lelaki tampan ini. Ganteng, suara yang membuatku merinding dan tentu saja terlihat orang kaya. “Saya panggil Mas Rendra ya. Calon suaminya Mbak Key ganteng banget deh. Saya juga mau nanti punya suami kaya Mas ini. Ganteng. Kaya bintang sinetron. Eeh bintang sinetron atau bukan sih?” Tanyaku dengan polos membuat Mbak Key dan lelaki itu tertawa. Entah apa yang membuat mereka tertawa. Aku kan tidak bohong, yang namanya Mas Rendra ini memang ganteng. Aku terpesona oleh ketampanan lelaki ini. Wajar gak sih? Aku yang belum genap sebelas tahun tiba-tiba terpesona oleh seorang lelaki tampan banget. “Kamu lucu.” Kata lelaki itu padaku. Apanya yang lucu sih? Aku tidak pakai baju badut kok. Aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Tiba-tiba terdengar sebuah suara khas yang memanggil namaku. Aku tahu itu Mbak Murni. Karena di desa ini hanya Mbak Murni yang mempunyai suara khas seperti itu. Suara sengau dan terbata. “Na… ttaa… Pu llaang.” Mbak Murni memberikan senyum terbaiknya, padaku dan Mbak Key. Umur kami selisih enam tahun. Tahun ini Mbak Murni akan berumur tujuh belas tahun. “Key, dia siapa?” Aku mendengar calon suami Mbak Keyna bertanya siapa Mbak Murni. “Ini kakak saya. Namanya Mbak Murni. Mbak, salim sama calon suami Mbak Keyna ya.” Kataku, sambil menarik tangan kanan Mbak Murni untuk bersalaman dengan Mas Rendra. Dengan patuh Mbak Murni juga mencium punggung tangan calon suami Mbak Keyna, tapi sekilas aku melihat pipi Mbak Murni bersemu pink, dan dia melihat dengan malu-malu ke arah Mas Rendra. “Haha, Mbak Murni ih kok malu-malu gitu. Ini calon suami Mbak Keyna loh. Yuk, kita pulang. Lihat deh Mbak Keyna kasih oleh-oleh banyak banget buat kita loh. Nanti kita bagi dua di rumah. Bilang makasih dulu ke Mbak Keyna terus kita pulang yaa. Ibu pasti sudah menunggu kita di rumah.” Aku mengingatkan Mbak Murni untuk berterima kasih kepada Mbak Keyna. Aku membereskan hadiah yang diberikan oleh Mbak Keyna. Tapi aku bisa mendengar pertanyaan calon suaminya yang heran dengan keadaan Mbak Murni. “Key, itu…” “Murni penderita sindroma down. Umurnya tahun ini tujuh belas tahun. Tapi tubuh dan wajahnya sangat khas. For your info, Murni selalu tersenyum walau dia menerima perundungan dari banyak orang. Hidupnya tampak tidak pernah susah dan sedih, walau aku tahu dia menderita.” Aku mendengar Mbak Keyna menjawab hal itu. Hatiku terenyuh mendengarnya. Mbak Key memang malaikat cantik, berhati baik dan berujud manusia. Iya, mbakku ini menderita sindroma down. Sebagai penderita sindroma down, Mbak Murni mempunyai ciri khas wajah bulan (moon face) dan suara sengau agak serak, juga tubuh yang kurang berkembang sempurna. Mbak Murni sering sekali menerima hinaan dari anak-anak kampung ini. Mereka selalu melakukan perundungan pada Mbak Murni. Kalau sudah begitu, aku pasti akan mengamuk dan mengomeli bocah-bocah tidak tahu diri itu. Ibu selalu mengingatkanku untuk penuh perhatian pada Mbak Murni, karena hanya aku satu-satunya keluarganya. Aku hanya mengangguk layaknya anak kecil yang menerima perintah tanpa mencerna lebih lanjut. Kata ibu, mungkin aku dilahirkan untuk menjadi pelindung Mbak Murni. “Mbak Key sama Mas, kami pamit pulang yaa. Terima kasih oleh-olehnya. Mau pamit dulu sama Bude dan Pakde terus kami pulang. Assalamualaikum.” “Na… tta… Embak baawaa iituuu.” Mbak Murni menunjuk ke tas sekolahku. Mungkin dia kasian melihatku kerepotan membawa oleh-oleh dan tas sekolah. Aku mengagguk dan memberikan tas sekolahku padanya. “Terima kasih Mbak. Mbak Murni baiiik banget.” Kataku sambil memeluk erat Mbak Murni. ***  “Liesya, kita pulang yuk. Sudah sore.” Ajakku pada Aliesya saat lamunanku usai. “Iya ibu.” Jawab Aliesya dengan gembira, dia langsung berdiri dan memelukku. “Ibu??  Loh kemarin-kemarin itu Liesya diantar sama mama siapa tuh? Sekarang diantar ibu?” Tanya lelaki itu dengan heran. “Iya, ini ibunya Liesya, namanya Ibu Renata. Kenalan dulu. Ibu…, ini Om Satya.” Aliesya coba memperkenalkanku pada lelaki yang bernama Satya. “Hai saya Renata, saya memang ibunya Aliesya.” Aku mengulurkan tangan. “Saya Satya, tapi maaf saya jadi bingung. Kalau yang dulu mengantar Aliesya siapanya?” Tanyanya dengan nada heran. “Saya ibu sambungnya Aliesya.” Aku menjelaskan hanya dengan empat kata itu saja. Kalau dia pintar dia akan mengerti statusku apa kepada Aliesya. “Ibuuu sam… bung?” Tanyanya sambil mengenggam erat tanganku. Lelaki tampan ini melihat ke arahku dan Aliesya bergantian. “Padahal saya kira masih gadis.” Lanjut lelaki tadi dengan cengiran lebar di bibirnya. Aku tidak menjawab, hanya tersenyum saja dan membatin dalam hati agar tidak ada seorang pun yang tahu. Secara status saya memang sudah bersuami plus bonus dapat anak gadis kok. Tapi secara kenyataan berasa masih gadis, seperti keramik saja. Dilihat boleh, disentuh jangan. *** Renata gak tahu aja dia bakalan bersinggungan terus sama lelaki tampan dan dewasa ini walau dengan cara yang dia gak duga sama sekali. Oiya, ada yang ingat gak Satya siapa hehe? Ada di cerita Badai Pasti Berlalu (Arfi - Kinan) - sila baca. Insya Allah cerita ini akan daily update di bulan September 2021 ini - doakan lancar jaya yaa.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN