Kebanggaan?

1263 Kata
Pagi hari keesokannya. “WOYY!!!” teriak Gambir di atas wajah Gane. Sukses membuat remaja itu auto kedandapan atau istilah Jawa untuk respon kaget sampai terkejut sekali. “Owalah, Mas Gembur ini, lho. Kalau mau bangunin aku itu tho ya yang elegan sedikit, lah. Jangan kayak orang mau nyeruduk maling begitu. Kalau aku ternyata punya lemah jantung terus tiba-tiba jatuh koma dan gak bangun lagi gimana coba? Mau tanggung jawab gantikan nyawaku apa bagaimana, hah?” respon Gane langsung beranjak duduk. “Lha kamu sendiri kalau mau tidur malam itu ya mbok sing elegan sedikit. Di kasur gitu biar gak kayak orang susah aja kamu,” balas Gambir seraya menggampari wajah adik terakhirnya dengan gepokan uang nilai pecahan paling tinggi. Aroma uang baru yang bersih menguar kuat dari wajah tersenyum dua proklamator yang wajahnya bertahta dengan elegan di sana. “Ini, Mas Gam,” ucap Gane seraya mengembalikan lagi gepokan uang yang baru Gambir berikan padanya tadi malam. “Hidih,” respon Gambir bak melihat kecoa terbang. “Uang sudah diberi haram diterima kembali. Kenapa, sih? Ada masalah apa? Tumben kamu kok bersikap seperti ini. Tidak biasa sekali,” tanyanya seraya duduk di sofa yang lain. Langit di luar jendela masih sangat gelap. “Aku tidak tau apa guna punya uang banyak seperti itu kalau teman tidak ada yang mau dijajani atau dibelikan sesuatu. Rasanya hampa dan kosong aja hatiku,” jawab Gane berusaha ungkapkan kegelisahan hati yang tengah melanda diri. “Kenapa kamu bisa sampai punya pikiran seperti itu, Gan?” tanya Gambir lagi memperjelas. Kali saja si adik sebenarnya punya masalah yang ingin ia diskusikan. Tapi, karena terlalu gengsi atau alasan laki-laki yang lain akhirnya ia memilih untuk diam saja dan biarkan masalah itu menumpuk tak pada tempatnya. Gambir pikir, timbang biarkan adik terakhirnya malah jadi aneh atau salah langkah. Ia pikir tidak masalah kalau sekali-kali jadi kakak laki-laki yang sedikit perhatian. Hal itu juga tak akan mengurangi harga dirinya sebagai seorang abang, kok. Ia percaya sekali pada hal itu. Semoga saja. “Maksud Mas Gam apa?” tanya Gane balik merasa sedikit ganjil melihat sikap abangnya yang tidak seperti biasa. Apa ia sedang rasakan sesuatu yang aneh dari dirinya atau hal lain? Hmm, sepertinya patut dicurigai. “Kamu tidak boleh sampai menjalani suatu relasi atas dasar keterpaksaan seperti itu, Gane. Itu bisa buat suatu hubungan jadi kehilangan makna yang sebenarnya,” nasihat Gambir berusaha bijaksana hadapi sikap sang adik terakhir yang tampaknya memang hanya sedang galau ria saja. Biasalah anak baru dewasa. “Lantas apa alasan yang bisa buat kami terus bersama? Terus jalin hubungan? Kalau tidak ada ikatan perasaan apa pun yang berhasil diciptakan,” tanya Gane lagi memperjelas sampai tanpa sadar sedikit menaikkan oktaf suara. “Gane, jawaban dari hal yang baru saja kamu tanyakan. Hanya bisa kamu dan para teman kamu sendiri yang jawab,” jawab Gambir. Mendirikan tubuh dan mengangkat tas. Menghampiri mobil serta supir yang sudah siap di depan teras. Sementara itu Gane mendirikan tubuh dan melangkah menuju kamar mandi. * Rasendrya Onderzoek International High School. Gane melangkah memasuki gedung sekolah yang tertutup dan miliki warna cat abu-abu itu dengan raut bosan. Melihat sekumpulan anak-anak yang mengenakan pakaian serupa dengannya. Ia malah tambah merasa muak. Rasendrya Onderzoek International High School adalah sekolah private yang sangat elit dengan biya pendidikan selangit. Tidak heran hanya para anak dari golongan keluarga super mampu yang dapat bersekolah di sana. Sejak lahir hanya pendidikan di tempat semacam itulah yang pernah Gane cicipi. Kehidupan sekolah para anak orang kaya. Yang sebenarnya sedikit membosankan untuknya pribadi. Itu kenapa bertemu dengan ketiga member band Children of the Labyrinth yang… kalau dilihat dari luar sepertinya susah dibayangkan jika mereka berasal dari latar belakang sama. Terasa sangat “menyegarkan”. Kemiskinan dan orang melarat sendiri adalah hal yang sangat menarik untuknya pribadi. “Gane!” panggil seorang teman laki-laki. “Ada apa, Al?” respon Gane. “Ini lho kita ada rapat pagi. Kamu dihubungi sejak tadi malam tidak bisa, sih,” jawab siswa bernama Aldo itu. “Ahh, tadi malam aku memang sedikit sibuk, sih. Lagian mau bicarakan hal apa juga, sih?” tanya Gane. “Wakil kita untuk olimpiade cerdas cermat antar sekolah yang akan diadakan sebentar lagi baru saja mengalami musibah kecelakaan mobil kemarin sore. Dia sudah pasti tidak akan bisa berangkat karena waktunya juga sudah sangat mepet,” jawab Aldo. Raut wajah Gane tiba-tiba tampak bingung dan tanpa sadar ia mengambil beberapa langkah mundur untuk menjaga jarak antara dirinya dan Aldo. “Memang itu urusan kita, ya? Sejak awal kan OSIS sudah menyatakan diri tidak akan ikut campur perihal masalah olimpiade-olimpiadean,” ia bertanya dengan intonasi malas. Bukannya apa, ya. Jika OSIS yang ia pimpin harus turut mengurusi hal seperti itu juga. Ia bisa tidak akan punya waktu untuk ngeband bersama Children of the Labyrinth lagi. Membosankan juga kan kalau sampai jadi seperti itu, batinnya bermuram durga sekaligus tidak suka. “Soal itu… kamu lihat saja nanti, deh,” balas Aldo seraya menepuk punggung Gane. Ada apa ya sebenarnya, batin Gane yang tiba-tiba perasaannya jadi tidak enak. * “HAAAAHH???!!!” respon Gane sedikit berlebihan saat mendengar keputusan guru pembimbing tim olimpiade yang menunjuk dirinya sebagai pengganti siswa yang baru mengalami musibah kecelakaan itu. “That's right, Gane,” konfirmasi Mister Suryono. “Mr. Suryo, I have become the student council president as well as a supervisor for several sports extracurricular activities. Wouldn't it be too much if I had to replace the students who supposed to take part in the Olympics? I also haven't passed any tests to be his successor, have I?” tanya Gane kalut bin carut marut. Kalau bicara dengan yang namanya orang dewasa sekaligus lebih dihormati di negara ini memang sangat sulit. Habis bagaimanapun atau apa pun yang ingin kita maksudkan sebenarnya itu harus diputar-putar dulu agar terkesan jauh lebih sopan dan proper serta tak menyakiti hati lawan bicara. Padahal inti ucapan anak remaja itu mah, saya tidak mau ikut, Pak Suryo. Sudah, hanya itu saja, tapi basa-basinya harus sepanjang jalan kenangan dan putar balik dulu. “Yes. We have also discussed this with the competition committee. The only student allowed to fill the void of Molla's position. Only students with an average grade during their time at this school as you have obtained,” terang Mister Suryono lagi dalam bahasa Inggris yang memang lazim digunakan untuk hidup bermasyarakat di sekolah bertaraf internasional itu. Alamaak, padahal selama ini aku rajin belajar agar bisa lebih banyak main selama SMA. Kok malah jadi s*****a makan tuan begini, sih, batin Gane sedih, menyesal, kesal, emosi, segala macamnya bercampur jadi satu hingga tak memiliki bentuk lagi dalam diri. “This is something to be proud of, right?” tanya Mister Suryono menutup pertemuan mereka pagi itu. Pertemuan yang sangat menyebalkan dan tidak bisa diterima. “Selamat ya, Bos Gane,” ucap Aldo yang entah bermaksud apa. Padahal ialah yang paling tau kalau selama sekolah Gane itu siswa yang paling malas ikut-ikutan lomba jenis apa pun. Sekalipun sudah sering dicalonkan sebagai peserta daalam berbagai macam kompetisi. Saat situasi sudah mendesak seperti itu. Gane jadi kepikiran untuk menggunakan “suaranya”. Tapi, apakah benar-benar harus ia gunakan secara sengaja? Ia sendiri belum mengetahui efek samping jika sampai digunakan pada orang lain. Bahkan bukan hanya itu saja. Ia terlalu khawatir untuk membayangkan apa yang mungkin terjadi. Haruskah aku gunakan “suaraku” untuk mengembalikan. Zona nyaman yang selalu aku perjuangkan, batin remaja dengan potongan rambut ala idola kpop itu, aku tidak butuh kebanggaan apa pun dalam hidup. Lagipula aku sudah memiliki semuanya. Kecuali… mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN