Kain Putih Berkibar-kibar

1692 Kata
Kain Putih Berkibar-kibar CIKA baru saja keluar dari ruang perkuliahan ketika telepon selularnya berdering. Nada panggilan. Diliriknya. Pangilan dari Ganda Wibawa. Mulutnya mengeluh pendek. Rasa enggan membaluri hatinya. Malas sekali menerima panggilan dari nomor itu. Namun, jika tak diangkat, bukan tak mungkin malah berabe. Nanti, sejam atau dua jam kemudian, akan berdering lagi. “Pagi, Cikaaa…” “Pagi, Om…” balasnya. “Kamu di kampus?” “Ya, Om. Cika baru saja beres kuliah jadwal pertama.” “Om lagi tidak di kantor. Lagi di lapangan. Tadinya, Om mau ajak kamu makan.” “Makan pagi kan udah… sekarang udah pukul sepuluh.” “Maksudnya, makan siang.” “Cika ada kuliah selepas zuhur.” “Apa kita bisa ketemu sekarang atau selepas kamu kuliah jadwal kedua?” nada suara Ganda Wibawa mulai merajuk. Cika berpikir keras. Ia harus bisa mencari alasan. “Maaf, Om. Hari ini Cika padat acara. Sekarang ada tugas yang belum selesai dari dosen. Dan usai kuliah siang, mau ke pondokan teman.” Terdengar decak kecewa dari mulut Ganda Wibawa. “Kalau malam… Om tak bias, pinginnya sih malam bisa. Semisal… nanti malam Om ada waktu, Om mau jemput kamu ke pondokan.” “Nggak usah ke pondokan, Om!” sergah Cika cepat. Ia berusaha menghindari kedatangan lelaki itu ke Pondok Gasela, apalagi masuk ke kamarnya. “Kenapa sih kamu selalu menolak kalau Om mau ke pondokanmu?” “Malam, Cika lebih banyak di kamar dan maaf… Cika nggak mau kedatangan tamu. Mau sendirian, Om.” “Hemmm, siang juga Om susah menemui kamu. Kamu selalu sibuk.” “Ya, tapi sibuk urusan kuliah.” “Baiklah, kalau hari ini kamu nggak punya waktu buat Om.” “Sekali lagi, maaf ya, Om…” “Ya, tapi besok-besok usahain, ya?” rajuk Ganda Wibawa. “Om… sangat kangen sama kamu, Cika.” Cika segera menutup perbincangan. Sesaat termangu. Melintas wajah lelaki itu. Lelaki berusia empat puluh lima tahun. Seorang aparat dan memiliki pengaruh. Cika mengenal lelaki itu ketika di rumah nenek dan kakeknya. Lelaki itu teman pamannya. Bahri. Mereka tengah melakukan sebuah bisnis yang Cika juga tak paham apa bisnis mereka. Tatkala Cika tengah dilanda bingung karena ayahnya tak menemuinya untuk memberi biaya kuliah semester baru juga sewa kamar, Ganda hadir sebagai pemberi solusi. Lelaki itu memberi semua uang yang dibuuthkan Cika hingga Cika bisa membayar uang kuliah semesteran, bayar dua bulan pondokan yang kini ditempatinya. Bukan hanya itu. Ganda juga memberi Cika banyak benda yang dibutuhkan Cika untuk kamar. Termasuk baju, tas, sepatu, dan aksesori yang dipakai gadis-gadis seusia Cika. Semua, sudah Ganda penuhi hingga Cika pun terlepas dari masalah dan bisa kuliah dengan tenang. Pun ibunya, tak dibebaninya. Ganda pun membayar utang mingguan Cika pada Lince, induk semang di Pondok Gasela. Dihelanya napas sesaat. Beberapa teman perempuan, menghampirinya. Lalu mengajaknya ke sebuah kedai. Seketika, apa yang sebelumnya bermain-main di pikiran, lenyap. Ia mengikuti teman-temannya menuju kedai yang berada di luar lingkungan kampus. Sembari menunggu waktu perkuliahan selanjutnya. “Cik, kamu betah di pondokanmu?” tanya Rara, temannya yang bertubuh gemuk. “Betah. Sangat betah,” ucap Cika. Terlebih di pondokan itu, kedatangannya disambut hangat oleh para penghuni cowok. Cika menjadi incaran hampir semua penghuni berjenis kelamin cowok terutama yang tidak punya kekasih. Alias tengah mengalami masa jomlo. Namun, dari satu pun, belum ada yang berhasil menyandang gelar pacar Cika. Cika pun tengah dalam tahap pilih-pilih tapi ia selalu berusaha bersikap manis pada semuanya. Apalagi ia pun mendapat manfaat dari mereka karena acap ditraktir makan. “Syukurlah.” Padahal, kini, Cika mulai merasakan ketidaknyamanan berada di dalam kamarnya setelah peristiwa beberapa malam ke belakang. Melihat kain putih yang tergantung di kapstok belakang pintu kamar. Ia tak tahu kain apa itu. Ketika kain itu bergerak-gerak, matanya mendadak mengantuk dan ia tak tahu kelanjutannya lagi. Lalu saat terbangun dan ruang kamar dinyalakan lampunya, ia sama sekali tak menemukan ada kain putih di belakang pintu. Lalu, ia mencoba tak memikirkannya. *** Semenjak langit dilumati gelap, Cika belum keluar kamar. Tadi sore, ia menelepon Ray dan meminta anak itu menginap di kamar Angga. Namun Ray belum juga muncul, padahal janjinya paling lambat pukul sembilan belas. Cika mengeluh pendek. Jika ada Ray, tentu tak akan gelisah seperti ini. Ray bisa menenangkannya untuk urusan yang berhubungan dengan yang menyeramkan. Semenjak dua malam ke belakang, Cika mendengar suara yang tertawa di kamar mandi sebelah, ia mulai disergap rasa takut. Apalagi ketika dilihatnya ada yang berkibar putih di kapstok bekakang pintu kamar. Bahkan besok malamnya, didengarnya suara aneh di jendela. Serupa garukan kuku. Dimatikannya lampu kamar. Lalu tubuhnya direbahkan. Trek, treeek. Dadanya terperanjat. Suara di jendela. Diliriknya. Gelap. Suara itu menghilang. Ditenangkan hatinya. Di luar kamar, senyap. Ruang TV hening. Dicobanya memejamkan mata namun tak bisa. Tubuhnya berbalik, menghadap jendela. Lalu pintu. Dahinya mengernyit. Menatap saksama yang tergantung. Mukena? Mengapa seperti bergerak? Angin? Tak mungkin. Jendela sudah tertutup rapat sejak tadi. Fentilasi pun tak memungkinkan angin menyelusup. Tatapannya samar. Mukena itu pun kurang jelas terlihat karena ruangan gelap. Itu pun terbantu oleh cahaya lampu dari teras. Kain putih itu kian bergerak. Sedikit berkibar-kibar. Seperti melambai-lambai pada Cika. Bulu kuduk Cika mendadak terangkat. Rasa kantuk menghilang dalam sekejap. Perasaan takut mulai menjamahnya. Tubuhnya gemetaran tak karuan. Ingin dipalingkan kepalanya. Namun terasa susah digerakkan. Matanya pun tak bisa dipejamkan. Untuk sekedar mengalihkan pandangan saja, susahnya luar biasa. Matanya terus terpusat pada kain panjang yang bergerak-gerak lagi. Kian melambai-lambai. Mengapa mukenanya seperti itu tak biasanya. Membuatnya dikepung rasa takut. Padahal bukan kala itu saja mukena tergantung di kapstok? Sebelumnya, tak pernah aneh-aneh. Bahunya bergidik. Ditatapnya kain yang berkibar itu dengan rasa penasaran yang tinggi. Tiba-tiba tersentak. Ia baru ingat, bukankah mukena ada di kamar sebelah, ketika kemarin ada Diandra, sahabatnya yang menumpang solat di kamar kosong itu, lalu meminjam mukenanya? Dan belum dikembalikan. Berarti mukena itu belum ada di kamar ini. Lalu, kain putih apa yang tergantung di belakang pintu dan sekarang tengah bergerak? Apakah sama dengan yang pernah dilihat beberapa malam ke belakang? Keringat dingin mulai bercucuran membasahi wajah, leher dan bagian tubuh lainnya. Berselimut untuk menghindari? Ups, selimut masih terlipat rapi di dekat kakinya dan tangannya tak mungkin menggapai, tak ada kekuatan. Kakinya pun kaku. Ingin berteriak, mulutnya terkunci rapat. Ingin menangis, suara tak keluar juga. Lehernya terasa tercekik. Suara yang hendak keluar tertahan di kerongkongannya. Suasana hening. Di luar, tak ada tanda-tanda orang masih melek. Sepi seperti di kuburan. Di dalam kamar, suasana kian mencekam. Cika didera takut yang luar biasa. Membayangkan kain yang berkibar itu akan menelannya. Akhirnya mulut Cika bisa bergerak. Namun suaranya masih belum bisa keluar. Dicoba lagi. Dipaksakan. Mulailah melafalkan doa. Namun masih sulit. Dihelanya napas sepanjang mungkin. Tatapannya belum bisa lepas dari kain putih yang bergerak. Kain itu kian jelas terlihat walau gelap. Tinggi, setinggi tubuh manusia. Terbungkus seperti guling. Cika menatap ke bagian atasnya. Kepala yang di atasnya ada talinya. Tubuhnya tetap bergeming tak bisa digerakkan. Mulutnya terkunci lagi. Rasa takut kian menguasainya. Makhluk yang berbentuk menyerupai guling di balik pintu itu mengawasinya. Menatap Cika yang terbujur kaku seperti mau menelannya. Malam kian merayap. Cika menembus detik demi detik dengan lambat. Terpasung dengan ketakutan yang maha sangat. Hingga akhirnya mulutnya pun terbuka dan ayat-ayat suci Al- Qur’an mulai dilantunkan dengan suara bergetar. Ketika terdengar sayup-sayup dari masjid yang jauh, suara orang Tahrim, makhluk itu pun tiba-tiba menghilang. *** Sampai sore ini, ia tak pernah membicarakan peristiwa di malam itu. Tidak juga pada Ray yang tak jadi datang. Ia khawatir, dengan bercerita pada penghuni pondokan ini, justru membuatnya akan lebih takut. Setelah dua minggu berlalu, dibenamkan kenangan menakutkan itu. Namun sekarang…. Sebenarnya Cika bukan termasuk gadis yang penakut walaupun tak bisa dikatakan pemberani. Kalau hanya untuk tidur, tak perlu ditemani teman. Namun entahlah malam ini, tiba-tiba suasana di dalam kamar terasa mencekam. Ia pun mulai merasakan kehadiran makhluk lain. Pandangannya terpaku pada apa yang ada di belakang pintu. Tak ada pakaian yang tergantung, apalagi mukena. Jam di beker menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh menit. Di ruangan TV, tak ada siapa-siapa. Teman-teman sesama penghuni pondokan lebih memilih mengurung diri di kamarnya, ketimbang berhaha hihi di luar dimana cuaca malam ini begitu menggigit kulit. Angin yang sesekali menyapu, menambah suasana malam Jum’at Kliwon kian mengerikan. Cika mengatupkan bibir. Layar monitor dibiarkan hidup, walau tak berniat main game ataupun mengetik. Sebagai pegusir rasa takut yang mulai lagi mengganggunya. Tiba-tiba ingat Angga. Cowok itu membuat ramai suasana pondokan. Walau Cika jarang meladeni candaannya, namun tak bisa dipungkiri cowok itu menyenangkan. Dua hari Angga tak ada. Mudik. Malam kian merambat. Cika membaringkan tubuhnya setelah sebelumnya mematikan lampu juga komputer. Ketika mau memejamkan mata, matanya menangkap bayangan di balik pintu. Ia terbelalak. Sosok itu… ada lagi! Seperti kain putih yang tergantung. Namun bentuknya lebih menyerupai guling besar. Lalu bergerak perlahan. Bulu kuduk Cika terasa ada yang mengelus. Dingin. Ia gemetar. Keringit bercucuran membasahi wajah, tengkuk dan tubuhnya. Dadanya berdegup keras. Dari luar, terdengar angin begitu kencang. Cika ingin berteriak, memanggil seluruh penghuni agar melepaskannya di kamar dari siksaan takut yang terus menggerogoti. “Anggaaaaaa…” desis Cika, namun suaranya sangat pelan. Bibirnya bergetar. Matanya tak bisa lepas dari sosok itu. Ingin berlari, namun ke mana? Ia tak bisa keluar kamar menghindari sosok itu karena ada di balik pintu. Malam kian menyeramkan. Cika ingin menangis. Namun air matanya tak mau keluar. Tanpa disadar matanya terpejam. Beberapa menit. Ketika matanya kembali terbuka, hatinya lebih tenang. Ia berusaha melantunkan kalimat suci apa saja yang diingatnya. Ketenangan semakin terasa. Dihelanya napas dalam-dalam. Lalu ia pun merenung, seharusnya ia tak boleh takut dengan sosok itu. Ia harus bisa melawannya. Melawan rasa takut. Matanya melirik ke arah pintu, dan hei… ternyata sosok berkain putih itu masih berdiri di sana dan mengawasi Cika. Ia tersentak. Dadanya berdegup lagi. Namun terus dicoba melawan rasa yang hampir menguasainya. Ia harus kuat. Ia tak boleh takut. Ia harus melawannya. Dengan segenap keberanian, tubuh Cika tiba-tiba bangkit dari tempat tidur. Berdiri dan menghampiri sosok berkain putih kumal yang penuh dengan percikan tanah kuburan. Cika memberanikan diri menatap sosok itu. Kepalanya terikat. Wajahnya rusak dan matanya menakutkan. Cika terpelanting jatuh. Ia tak sanggup melawan tatapan makhluk itu yang terasa akan melumatnya habis. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN