"Payah banget, mobil-mobil sendiri, ya kali mabok!" Galih meledek saya masih dengan berbaring nyaman.
"Diem lu!" omel saya.
Fikri memelankan laju mobil, menepi, lalu berhenti. Saya segera bertukar posisi dengan Roje. Katanya jika duduk di depan, kita bisa melihat jalan. Sehingga memperkecil kemungkinan mabuk.
"Ada yang bawa obat anti mabok nggak, sih?" gumam saya.
Tak ada yang merespons. Mereka tidak mendengar suara saya yang memang super rendah. Maksud hati ingin bicara dengan sedikit lebih keras. Apa daya, kondisi tidak memungkinkan, Ferguso.
Untung Fikri mendengar ucapan saya. "Heh, ada yang bawa obat anti mabuk, nggak?" Ia menghadap ke belakang sebentar supaya anak-anak tengik itu segera meresponnya.
"Mas Ramda masih mabok, ya?" Arsen malah balik bertanya.
"Aku nggak bawa," sahut Diba. "Habis biasanya kalau kita main nggak ada yang mabok."
"Tumben-tumbennya kamu mabok, Mas," sahut Roje.
"Huum," timpal Arsen.
Galih tidak ikut menjawab. Sibuk mendengkur.
"Aku juga nggak bawa. Tapi aku bawa paracetamol. Lumayan buat ngilangin pusing. Mau?" Fikri menawari.
"Iya, deh, boleh," jawab saya sekenanya.
"Sen, ambilin tas kecil aku di belakang!"
Arsen segera menurut. Ia berdiri, disambut pemandangan Galih yang sukses membuat pulau tanpa nama di jok. "Ebuset, jijik banget si Galih!" Yang lain tertawa, kecuali saya.
Arsen menutup hidung, takut mencium bau iler. Ia mengulurkan tangan mengambil tas kecil Fikri di belakang p****t Galih. Arsen segera kembali duduk, mengobok-obok tas Fikri sampai bertemu paracetamol.
Arsen mengambil satu tablet, mengulurkannya ke depan. "Nih ...."
Fikri yang menerimanya, meletakkan tablet itu di tangan saya. "Air, woy, air!" Ia menyeru lagi pada anak-anak tengik.
"Lho, kamu kunyah?" Fikri kaget setengah mati.
"Ebuset ... Mas Ramda lagi main debus apa?" Diba melotot tak percaya.
"Kamu, sih, kelamaan!" Fikri mengomelinnya.
"Aku udah berusaha cepet, tauk." Diba tak terima.
"Siniin airnya!" Fikri merebut air mineral dari tangan Diba.
Saya merebutnya dari tangan Fikri. Langsung saya minum beberapa teguk. Lumayan, pahitnya berkurang.
"Badan kamu belum fit sepenuhnya, Ram. Makanya jadi mabuk!" Fikri menasihati saya.
Saya diam saja. Tidak berani melawan. Toh saya juga berpikir begitu.
"Kamu tadi bawa obat, nggak?" Fikri bertanya sekali lagi.
Saya hanya menggeleng.
"Ya Allah ... udah tahu habis sakit, ya kali nggak bawa obat."
Lagi-lagi saya hanya diam. Menyesal tidak bawa obat. Padahal obat saya masih banyak. Habisnya saya merasa sudah sehat.
"Kita puter balik aja, ya! Kapan-kapan aja jelajahnya, kalau kamu udah sembuh."
"Duh ... jangan ... nanggung udah sampek sini!" Diba yang menolak pertama.
"Iya, Mas. Aku udah nunggu hari ini sejak lama, lho. Aku udah nyewa kamera, kasur lipet, tenda, kompor. Ya kali nggak jadi!" Arsen malah mengomel panjang lebar.
"Tapi si Ramda sakit. Kalian nggak kasihan?" Fikri tak menyerah.
Galih akhirnya terbangun. Ia duduk sembari menggaruk rambutnya yang mencuat ke mana-mana. "Ada apaan, sih?"
Tak ada yang merelakan diri menjelaskan pada Galih. Sementara Diba dan Arsen masih ngotot berdemo pada Fikri. Roje hanya diam.
"Udah ... lanjut aja," gumam saya kemudian.
Saya tidak enak pada anak-anak tengik. Juga kesal pada diri saya sendiri. Saya tidak mengajak sepupu-sepupu perempuan, takut mereka ribet. Ternyata sekarang justru saya sendiri yang ribet.
"Yakin mau lanjut? Perjalanan masih lumayan jauh, lho. Nanti kita jelajah hutan, inget? Udara di sana pasti dingin. Belum lagi kalau hujan." Fikri berusaha membuat saya berubah pikiran.
Di saat bersamaan, anak-anak tengik protes. Intinya perjalanan harus lanjut. Bahkan Galih yang tak tahu apa-apa ikut berorasi.
"Lanjut aja lanjut!" Telinga saya panas. Demo mereka membuat mabuk darat ini makin parah.
Fikri mentok. Akhirnya ia benar-benar lanjut tancap gas.
"Bangun juga akhirnya Mas Ramda!" Diba menyeletuk.
"Aku pikir tadi Mas Ramda bablas. Habisnya tidur kayak orang mati. Berkali-kali lewat jalan rusak, macet, tikungan ... nggak bangun juga!" Arsen tak mau kalah.
Padahal Galih di belakang masih molor. Tapi mereka lebih tertarik meledek saya. Sial memang. Yah ... namanya juga anak tengik.
Roje juga tertidur. Anak itu kalem sekali hari ini--tepatnya setelah bertukar tempat dengan saya. Tumben sekali. Apa sekesal itu bertukar tempat, sampai-sampai ia ngambek?
Syukurlah, badan saya sudah enteng. Mual itu sudah hilang. Kepala saya juga tidak lagi pusing.
Saya lihat Fikri komat-kamit. Kalau tidak dzikir, ya baca doa supaya kami semua selamat selama menjelajah nanti.
Dengan minimnya jangkauan masyarakat luas, Alas Darmo sangatlah menantang untuk dijelajah.
Mobil kami parkirkan sembarang tempat. Entah mengapa saya berusaha mengingat mimpi saat tidur lagi. Mimpi itu sangat jelas. Tapi begitu bangun saya lupa sama sekali. Saya penasaran ingin mengingatnya.
"Dzikir terus, Ram!" seru Fikri.
Saya menoleh, menatapnya yang juga terus komat-kamit. Kenapa hanya saya yang diperingatkan? Sementara anak-anak tengik itu tidak.
Kami menandai rute perjalanan dengan menalikan pita biru pada pohon-pohon. Tak seperti penjelajah lain yang lebih suka mengiris kulit pohon dengan pisau. Mengingat kami adalah penjelajah yang ramah lingkungan, cinta alam, tak mau merusak.
Saya menurut pada Fikri. Saya berdzikir tiada henti. Tak ada salahnya, justru dapat pahala dan perlindungan dari Allah.
"Woy, dzikir kalian semua! Selalu inget Allah, biar kita semua dilindungi!" teriak saya pada anak-anak tengik yang sudah berjalan duluan. Meninggalkan saya dan Fikri.
"Bawel!" Diba tak mengacuhkan saya. "Nggak usah dikasih tahu juga aku udah dzikir dari tadi."
"Tau, tuh, Mas Ramda," Arsen menimpali. "Kayak baru jelajah sekali aja!"
"Sukurin lu diserang ngalor-ngidul!" Galih menertawai saya.
Sial memang mereka bertiga.
Dan Roje ... masih sangat anteng.
Kami sudah masuk hutan cukup dalam. Semakin lama semakin gelap. Apalagi sekarang sudah sore. Saya tidak bisa membayangkan malam nanti seperti apa gelapnya.
"Pasang tenda di sini?" tanya Arsen. Ia menatap Fikri.
Fikri memperhatikan kondisi sekitar. Jarak pohon cukup berjauhan, sehingga ada celah untuk kami memasang tenda.
Fikri menyapu pandangan ke segala arah. Ia sedang memastikan tak ada 'barang alus' yang terlampau berbahaya di sekitar sini. "Oke, di sini nggak apa-apa."
"Mas Ramda ...."
Lamat-lamat saya mendengar seseorang memanggil. Suara wanita yang sama sekali tak asing.
Saya menggeleng. Pasti hanya perasaan saya, kan? Saya terlalu paranoid, sampai-sampai terngiang suaranya.
"Mas Ramda ...."
Sekali lagi. Saya jadi ragu senang berhalusinasi.
Saya mencoba melihat ke sekitar. Tidak ada.
Saya menatap Fikri yang konsentrasi menyusun kayu bakar.
Ke mana Roje?
"Mas Ramda ...."
Lagi?
"Saya di sini, Mas." Baru saja ada yang menepuk pundak saya.