Kronologi Kepulangannya

1004 Kata
Tapi seandainya yang dikatakan Fikri dan apa yang saya pikirkan ini benar ... bagaimana jika berita tentang ini menyebar karena saya periksa ke rumah sakit? Saya masih bingung mencari baju dalam lemari. Sepertinya tidak ada baju saya yang mampu menyamarkan ukuran perut ini. Sementara di luar sana, keluarga saya sedang menunggu. Karena kami semua akan pergi ke rumah Roje untuk memastikan keadaannya. Bagaimana saya harus menjawab jika mereka menanyakan ukuran perutku ini? Sekarang cermin itu justru membuat saya merasa insecure. Pantulan diri saya di sana. Nampak begitu aneh. Proporsi tubuh saya yang biasanya cukup membuat saya sombong, kini nampak begitu salah. Tidak seharusnya begini. Saya laki - laki. Tidak mungkin saya mengalami hal ini. Perut saya benar - benar membesar dan membulat secara nyata. Semakin nampak jelas karena saat ini saya belum mengenakan baju. Hanya celana jeans yang bahkan tak lagi dapat dikaitkan kancingnya. Tanpa sadar saya menyentuh perut. Dan sesuatu di dalam sana kembali bergerak. Suara pintu yang diketuk membuyarkan lamunan saya. "Ramda ... ayo ... kami udah siap. Tinggal nungguin kamu aja ini ." Suara Ibuk. "Iya, Buk, " jawab saya. Saya buru-buru memakai kemeja kebesaran yang saya beli bulan lalu. Untung belum jadi saya berikan ke Ayah. Jadi bisa saya pakai sekarang untuk sedikit menyamarkan ukuran perut. Saya juga memakai park a sebagai oute r. Penampilan saya akan aneh pasti. Tapi lebih baik pakaian aneh dari pada perut buncit saya terlihat jelas. Saya harus jawab apa kalau ada yang bertanya tentang perut ini? Saya kembali memandangi diri saya dalam cermin. Cukup tersamarkan. Saya nampak baik-baik saja meskipun pakaian saya memang bukan pada tempatnya. Ketika keluar kamar, Ibuk, Ayah, Mbak Kinanti, dan Mbak Sakina benar-benar sudah menunggu di ruang keluarga merangkap ruang tamu. Tampang mereka nampak kesal karena harus menunggu lama. "Ngapain aja, sih, Dek? Mbak aja yang pake make - up berlapis - lapis nggak selama kamu dandannya!" Mbak Kinanti muncul tanduk. "Iya, nih. Tahu gitu tadi aku keramas dulu sebelum dandan. Eh, kamu malah santuy banget. Mana sekarang dandannya udah kayak mau jalan-jalan ke Eropa. Pakek parka segala!" Mbak Sakina ikut - ikutan keluar tanduk. "Ya maaf, deh. Ya udah ayo buruan berangkat sekarang! Keburu ketinggalan rombongan. " Saya mendahului mereka berjalan menuju pintu depan. Saya tidak bergurau dengan menyebut rombongan, karena kami memang bersama keluarga besar menuju rumah Roje . Mengingat Roje mengalami kejadian tak menyenangkan saat pergi bersama sepupu - sepupunya termasuk saya . Sebagai informasi, saat ini cara berjalan saya pun mengalami perubahan. Tentu penyebabnya adalah beban baru di dalam perut saya. Sesekali saya meletakkan tangan di pinggang, karena pinggang ini rupanya tak kuasa menahan beban perut saya. Kini saya mengerti kenapa para wanita memerlukan istirahat ekstra ketika mengandung. Saya benci mengatakan ini. Bukan berarti saya mengakui bahwa saya sedang hamil . Hanya menyerupai. Bisa jadi yang di dalam perut saya ini bukan bayi. Iya, kan? Meskipun saya tidak mau peny akitan. Tapi jujur untuk sekarang ini, lebih baik penyakitan daripada mengalami keham ilan. Apa kata dunia nanti? Seorang Ramda hamil ? Ketika saya menoleh, seluruh anggota keluarga saya tengah berjalan membuntut di belakang saya. Sampai pandangan saya tertuju pada Ibuk. Ibuk memandangi saya aneh. Nam ak khawatir, namun seperti tak percayab . Pasti Ibuk sudah menaruh curiga. Buktinya saat ini ia sedang menatap perut saya. Saya buru - buru memeluk area perut, seolah - olah menutupi kehamilan yang tak diinginkan. Eh, bukankah ini memang tidak diinginkan? Bedanya, bisa jadi ini bukan kehamilan. Sesuatu di dalam sana kembali bergerak. Seakan pergerakanku memeluk perut merangsangnya untuk melakukan pergerakan. Sejujurnya saya cukup terharu karena Ibuk yang pertama kali dan begitu cepatnya menyadari keanehan saya. Seorang ibu memang yang paling peka terhadap kondisi putra - putrinya. *** Rumah Roje penuh sesak . Anggota keluarga lain menunggu di luar kamar Roje . Sedangkan Paklik Hidayat, saya, Fikri, Diba, Galih, dan Arsen di dalam kamar bersama Roje . Roje masih linglung. Namun kondisinya sudah lebih baik. Ia juga sudah bisa mengingat kronologi kepulangannya. "Jadi kamu inget bahwa kamu akan bertukar tempat dengan Ramda . Tapi belum sampai kamu naik mobil, ada sesuatu yang menghempaskan kamu sampai jatuh dan pingsan?" Roje mengangguk . "Jin itu kemudian nyamar jadi Roje, Bah. Lalu ikut perjalanan kami ke alas Darmo dengan wujud Roje." Fikri ikut menjelaskan . "Aku sadar-sadar sudah di dalam sebuah truk. Syukurlah supir dan kenek truk itu nolongin aku . Meskipun aku nggak inget apa-apa saat itu. Untungnya aku bawa identitas diri lengkap. Jadilah mereka nganterin aku pulang berbekal KTP aku dan kawan - kawannya ." Roje menjelaskan detailnya . Paklik Hidayat termenung . Seperti ada beban berat dalam dirinya. "Jin itu tergolong kuat dan sangat jail." Paklik Hidayat menatapku. "Kamu baik- baik aja, Ramda? " Cara Paklik Hidayat menatapku membuat saya merinding. Diba, Galih, dan Arsen ikut ketakutan. "Fikri sedikit banyak sudah cerita juga ke Paklik, " lanjutnya. Ia lalu menatap perutku. "Kita harus melakukan rukyah secepatnya. Sebelum bayi jin itu .... " Say a segera berpura - pura menguap lebar. Sengaja untuk menghentikan kata - kata Paklik Hidayat. Di sini yang tahu tentang kehamilan dan bayi jin itu hanya saya, Fikri, dan Paklik Hidayat. Diba, Roje, Arsen, dan Galih masih belum tahu. Sungguh saya belum siap jika lebih banyak orang tahu tentang sesuatu yang kuanggap aib ini. "Bayi jin apa, Pakpuh?" Diba mewakili isi hati anak-anak tengik yang ketakutan. Paklik Hidayat menatapku. Kini beliau paham bahwa saya masih belum mau semua orang tahu. "Pakpuh salah sebut, Ba. Maksudnya jin itu, jin perempuan yang mengganggu Mas Ramda ." "Oalah .. .." Mereka nampak lega. "Karena sekarang semua sudah jelas kronologinya, dan Alhamdulillah Roje juga kembali dengan selamat, Paklik mau keluar kamar dulu. Ada sesuatu yang mau Paklik bicarakan dengan Mas Ramda dan Fikri. Roje silakan istirahat lagi, banyakin dzikir . Diba, Arsen, dan Galih juga banyak dzikir. Kami keluar dulu. Biar anggota keluarga lain yang gantian masuk. " Saya, Paklik Hidayat, dan Fikri benar - benar keluar dari kamar Roje setelahnya . Anggota keluarga lain menatap kami. Paklik Hidayat mempersilakan mereka masuk bergantian menjenguk Roje. Kami kemudian berlalu mencari tempat sepi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN