Di atas tempat tidur, Damian dan Adelia sedang berbaring. Bedanya, jika wanita itu sudah larut dalam mimpi maka Damian memiliki mata cerah. Sedari tadi, setelah mereka berdua saling bercakap-cakap, Damian terus mengamati wajah Adelia yang mungil.
Akibat kehamilan, terkadang Adelia sering bangun di malam hari. Jadi sebagai seorang suami yang siaga, Damian akan terbangun juga demi memastikan keadaan sang istri.
Selain terdengar suara ringan dari embusan napas Adelia, ruangan itu nampak tenang dan damai.
Damian mengulurkan tangannya ke depan, membelai pipi Adelia penuh kasih sayang. Ia memiliki rasa bersalah karena pengkhianatan yang akan dia lakukan keesokan harinya. Saat tiba waktunya matahari terbit esoknya, dia sudah bukan lagi suami setia yang memiliki Adelia saja di sampingnya. Melainkan, akan ada wanita lain yang berdiri berdampingan bersama dirinya.
Ketika dia mengira bahwa Adelia-lah wanita pertama yang layak mendapatkan posisi penting di hidupnya, kenyataan menampar dirinya dengan kejam. Kenyataannya, wanita yang ia cintai bukanlah orang itu. Tapi wanita lain yang tidak dia sukai. Seorang wanita asing yang dia benci keberadaannya.
Berlama-lama Damian mengelus pipi Adelia yang nyenyak tidur. Ia lalu mengangkat tubuhnya sedikit, kemudian mendekati Adelia dan memberikan kecupan ringan di atas kening. Di penuhi perasaan bersalah, pria itu berbisik, “Maafkan aku.”
Maaf, sudah mengkhianatimu.
Maaf, mengecewakan dirimu, Adelia.
Kau tahu, aku bukan laki-laki baik seperti yang kau katakan padaku. Nyatanya, aku seorang b******n yang tidak berguna untuk menjagamu.
Maafkan aku. Maaf.
Ketika dia di hadapkan pada suatu fakta yang tidak dapat ditangani, ia mengerti betul bahwa tak peduli jalan apa pun yang mau dia lewati, jalan itu hanya mengarah pada satu hal, kehancuran.
Sejujurnya, tak masalah buatnya, apakah itu akan menghancurkan dia menjadi berkeping-keping dengan tidak menyetujui permintaan wanita jahat itu. Tak masalah jika dia lah yang akan menjadi target satu-satunya dari kediktatoran Elena yang sombong itu. Karena ia yakin bisa melewatinya.
Akan tetapi, ketika orang yang ia cintai ikut menjadi target dari keegoisan seseorang, ia tidak dapat bersikap acuh tak acuh dan menutup mata akan hal tersebut.
Elena sudah tepat mengancam dirinya dengan kelemahan yang dia miliki, karena nyatanya terbukti efisien. Ia pada akhirnya tak punya kekuatan untuk melawan atau sekadar menolak dengan membabi buta seperti di awal.
Cahaya remang-remang dari dalam kamar membuat bayangan panjang dari tubuh Damian yang tidur dengan posisi menyamping. Di malam yang dingin itu, ia memiliki banyak pikiran di benaknya hingga tidak bisa tidur sampai keesokan paginya.
***
Elena masuk ke dalam rumahnya yang sepi seakan tanpa penghuni. Waktu menunjukkan pukul delapan malam tatkala wanita itu melangkah jauh ke dalam.
Rumah itu memiliki ruangan luas dan banyak kamar kosong. Ketika satu orang hanya tinggal seorang diri di sana tanpa satu napas manusia lainnya, kedinginan dan kekosongan itu seakan mencekik udara di sekeliling.
Suara ketuk dari sepasang heels menggema sampai ke sudut ruangan. Kebiasaan Elena yang tidak di sadari oleh wanita itu sendiri. Bagi wanita itu, kekosongan semacam ini sudah biasa baginya. Meski awalnya dia tidak terbiasa dan tidak menyukai kekosongan sepi seperti itu, namun banyaknya waktu yang bergulir menempa Elena menjadi orang yang tidak pedulian akan sekitar. Bahkan, sesuatu kebiasaan yang tidak di sukainya, sudah menjadi hal biasa yang berbaur dalam kesehariannya.
Sepertinya, ketika Elena mendapati beberapa lampu tidak di nyalakan oleh para pembantunya yang memiliki kediaman tersendiri di rumah terpisah itu, wanita cantik itu tidak punya niatan untuk membuat terang benderang rumahnya sendiri. Dia hanya terpaku sebentar pada ruang keluarga yang lampu gantungnya menyala. Warna hangat dari lampu kuning di dalamnya, membuat dia tiba-tiba teringat akan kejadian manis yang pernah dia rasakan.
Tapi kenangan manis itu tak bertahan lama. Ia baru saja mencecap apa itu cinta dan kehangatan tangan orang lain, sebelum kemudian dengan kejam dia kehilangannya.
Elena langsung memalingkan muka, bulu mata lentiknya yang tadi turun akibat mengingat seseorang dari masa lalu, berubah menjadi tatapan dingin khasnya yang dibalut ketidakpedulian.
Tangga besar dan panjang yang didominasi warna hitam dari granit terbaik itu memantulkan sosok Elena secara keseluruhan.
Setiap langkah yang di ambil, sepertinya membawa atmosfer kesepian yang menguar dari wanita tersebut. Jika saja ada orang lain yang dapat melihat kerapuhan yang wanita itu tunjukkan jika sedang berada di kediamannya, mungkin pikiran mereka tentang Elena yang dingin dan semena-mena bakal berubah. Namun itu akan menjadi cerita lain nanti.
Ceklek!
Bahkan bunyi pintu di buka pun, memiliki dampak besar di rumah kosong tersebut. Ketika Elena masuk ke kamarnya, lampu otomatis menyala. Pertama-tama, wanita itu pergi ke sofa sampingnya yang ada layar besar untuk menonton film jika dia sedang senggang, duduk di sana sebentar sambil melihat ponsel pribadinya.
Selain terdapat pesan dari sahabatnya, tidak terdapat pesan lainnya yang masuk. Bahkan begitu jari-jari Elena tak sengaja menyentuh log panggilan, hanya ada nama Calista yang tertera.
Elena membuka pesan dari sang sahabat.
‘Pesta yang aku katakan padamu di undur jadwalnya. Albert dan Shea tidak bisa datang. Kami sepakat akan datang berkumpul minggu ketiga bulan ini. Aku hubungi kamu nanti keputusan akhirnya, El.’
Setelah dia selesai membaca isi pesan, Elena tidak langsung membalas. Akan menjadi hal yang aneh bagi Elena dengan sikap yang dia miliki kalau membalas pesan itu. Jadi dia pun dengan kaki telanjang pergi menuruni satu anak tangga yang menjadi pembatas ruangan santai dengan kamar pribadinya sendiri. Sambil jalan, ia melucuti setiap helai setelan kantornya dan pergi ke kamar mandi.
Suara air shower yang menyala terdengar kemudian.
Beberapa menit kemudian, Elena keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. Handuk yang ada di kepalanya lalu ia ambil kemudian di sampirkannya pada gantungan yang ada di samping pintu kamar mandi.
Dengan bertelanjang kaki, ia menapaki lantai kamarnya yang dingin. Ia pun pergi ke nakas yang ada di samping tempat tidur, mengambil remot pengontrol AC. Dia lupa tidak menghidupkannya tadi. Elena mengatur suhu ruangannya hingga pas, lalu dia pun duduk di pinggir ranjang. Kebiasaan Elena yang lupa mengeringkan rambutnya sebelum tidur kembali dilakukannya malam itu.
Meskipun pada akhirnya besok pagi dia akan terbangun dengan sakit kepala dikarenakan tidur dengan rambutnya yang lembab, tak membuat Elena kapok.
Perempuan itu kemudian berbaring di atas ranjangnya yang besar, tangannya memegang ponsel. Setelah dirasa cukup melihat, ia membuka aplikasi yang terhubung pada elektronik di depannya, menyalakan musik instrumen untuk menemani tidurnya malam itu. Melodi lembut dan menenangkan memenuhi seluruh ruangan kamar. Ia meletakkan kembali ponsel itu di atas nakas, lalu menepuk dua kali dan lampu otomatis mati.
Benar-benar hari yang melelahkan, seperti biasa.
***
Keesokan paginya, Adelia terbangun tanpa Damian di sampingnya. Wanita itu mengucek matanya dengan lembut sambil melirik ke kiri dan kanannya. Ia amati dengan sungguh-sungguh keseluruhan ruangan yang sudah bersih dan rapi.
Ia pun turun dari tempat tidur, mencari Damian yang sudah tidak kelihatan begitu dia bangun tidur. Meski Damian yang bangun lebih awal darinya bukanlah hal yang baru, tapi dia tahu sedikit akan kebiasaan laki-laki itu jika sudah demikian.
Jadi dia pun tanpa mencuci muka terlebih dahulu membuka pintu kontrakannya. Pada saat dia tiba di luar kontrakannya yang pintunya ia biarkan terbuka, ia dapati lorong di kiri dan kanannya tampak sepi. Bahkan lingkungannya pun masih kelihatan gelap. Tadi, ketika dia bangun, dia tidak sempat mengecek jam yang ada di dinding. Jadi dia tidak tahu jam berapa sekarang.
Adelia lalu berdiri di dekat pembatas, tatapannya turun ke bawah untuk menemukan keberadaan Damian. Dan tepat di bawahnya, di kursi panjang yang biasa menjadi tempat bersantai, ia melihat sosok laki-laki yang tak asing lagi baginya berada di sana, seorang diri.
“Damian...” Panggil Adelia sedikit mengeraskan suaranya supaya pria yang ia panggil dapat mendengar. “... Apa yang kau lakukan di sana?”
Damian mendongakkan kepalanya ke atas, ia lihat Adelia sedang berdiri sambil memegangi teralis besi dengan alis tertaut kebingungan.